12. Let me alone

3.4K 398 17
                                    

Mereka telah kembali ke villa, berkumpul di ruang tengah tanpa terkecuali. Suara detakan jarum jam sempat terdengar di telinga, karena begitu heningnya suasana di sana. Mendadak tiba-tiba berkumpul tanpa alasan yang jelas membuat suasana menjadi agak canggung. Tak ada satu pun yang berani memulai pembicaraan saat ini. 

"Kalau hanya berdiam seperti ini lebih baik aku tidur." Yunki berani angkat bicara, sudah terlalu tidak nyaman dengan suasana yang tercipta di sana. Sedikit menyesal mengikuti mereka sampai di sini. Padahal, lebih baik dia diam di hotel dan tidur dengan nyaman di sana.

"A—aku ingin mengatakan sesuatu." Jimin menghela nafasnya berat, menautkan kedua tangannya dan menunduk. Berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang selama ini dia sembunyikan, walaupun semuanya memang terasa berat. Sangat.

"Aku dan Jimin akan menikah!" Seulgi berbicara mendahului Jimin yang mencoba menghentikan pembicaraannya. Menatap pada Irene yang tengah bersandar duduk di hadapannya.

"Irene. Aku bisa jelaskan!" Jimin menoleh pada Irene yang berada di sampingnya. Berusaha menggenggam tangan Irene walaupun Irene dengan cepat telah menepisnya.

"Tidak perlu." Irene menyunggingkan senyumnya. "Aku sudah tahu semuanya, Jim."

Hampir semua yang ada di sana membelalak kaget. Terkejut dengan jawaban Irene yang mengaku sudah mengetahui semuanya. Padahal, mereka sudah mencoba menyembunyikannya. Membantu Jimin, setidaknya hanya selama liburan ini.

"Tunggu dulu. Aku tidak mengerti di sini, Jimin dan Seulgi akan menikah? Kalau itu aku mengucapkan selamat untuk kalian. Tapi kenapa Jimin bilang harus menjelaskannya pada Irene?" Yunki yang paling merasa kebingungan di sini. Tidak mengetahui apapun membuatnya seperti satu-satunya orang bodoh yang berada di sana. Tidak mengerti apapun tentang yang terjadi. Sedangkan yang lain hanya menunduk, tak berani menjelaskan.

"Begini Yunki, aku dan Jimin berteman dekat. Dekat sekali. Dan Jimin dijodohkan oleh orangtuanya dengan Seulgi, lalu mereka semua ini malah membohongiku dengan mengatakan kalau Seulgi ini sepupu Taehyung padahal tidak begitu. Mereka pikir bisa membodohi ku, dari awal saja sudah jelas kalau mereka menyembunyikan sesuatu. Apalagi melihat Seulgi yang begitu tak suka melihatku dengan Jimin. Dan aku bahkan mendengar pembicaraan mereka." Irene mengangkat kedua bahunya, dan kembali tersenyum. "Ah, kalau sudah selesai aku akan ke kamar. Membereskan pakaianku. Yun, kau pulang sore ini bukan? Aku ikut bersamamu." Irene bangkit dari duduknya menunjuk kearah Yunki sebelum akhirnya berjalan memasuki kamarnya.

Jimin hendak bangun dan mengikuti Irene, namun Taehyung dengan cepat menahannya. "Biarkan dia sendiri dulu. Dan lebih baik kita pulang saja bersama."

***

Irene kembali ke apartemennya, mengabaikan semua panggilan yang masuk pada ponselnya sejak berpisah dari yang lain di bandara. Tubuhnya dia baringkan setelah sampai di kamarnya. Matanya sudah berkaca-kaca, namun kembali ia tahan sebelum air matanya keluar.
"Tidak, jangan menangis, Irene! Jangan lemah." Irene menggigit pipi dalamnya. Mengepalkan tangan dengan kuat berusaha menahan kesedihannya.

Ponselnya kembali berbunyi, tapi bukan nama Jennie, Taehyung, Jimin ataupun Yunki yang sedari tadi menelponnya. Kali ini nomor berbeda yang menghubunginya. Tak berniat sama sekali mengangkatnya namun tangannya malah melakukan kesalahan hingga panggilan itu menjadi terjawab. Membuatnya dengan terpaksa mendekatkan ponselnya ke telinga.

"Siapa ini?" tanya Irene.

"Pergi tinggalkan Seoul. Sebelum kau hancur!" Suara di sebrang telpon terdengar dengan sengaja dirubah, tidak terdengar seperti suara aslinya. Seperti dengan sengaja menyembunyikan suaranya.

"Jangan menjadi pengecut. Tunjukan dirimu, brengsek. Jangan menghubungiku jika kau menjadi pengecut seperti itu, hanya berani bersembunyi." Irene mematikan telponnya setelah berbicara.

Melempar ponselnya ke kasur dengan kasar. Di saat seperti ini, orang seperti itu malah semakin menghancurkan mood-nya.
Jika membunuh orang lain itu diperbolehkan, rasanya ingin sekali membunuh orang-orang mengesalkan. Tapi sayang sekali, hatinya tidak sampai jika harus melakukan hal sekejam itu. Bahkan jika harus membunuh, dirinya sendiri lah yang harus mati di sini. Tak pantas untuk hidup setelah semua yang telah terjadi selama ini.

Kedua tangannya ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Berusaha memejamkan mata dan berharap jika saat dia terbangun dia akan melupakan masalahnya. Bahkan Amnesia jika perlu. Namun sialnya, bukannya bisa tertidur justru kekesalan yang muncul dalam benaknya. Ketika melihat sosok pria yang sudah berdiri di pintu kamarnya.

"Irene, kumohon. Maafkan aku." Jimin menghampiri Irene dan duduk di sisi ranjang. Menatap Irene yang sudah menatapnya tak suka.
"Jika kau ingin, aku bisa membatalkan pernikahanku. Kita pergi saja dari sini, pergi jauh dan kita menikah."

"jimin. Berheti berbicara omong kosong.  Bagaimana pun aku akan tetap di sini, jika kau ingin pergi, maka pergi saja sendiri. Aku tidak ingin menikah, dan kau tahu itu. Dan sepertinya Seulgi wanita baik, sangat pas untukmu!"

"Tidak, aku hanya ingin kau." Jimin menghenggam tangan Irene. Matanya sudah memerah menahan kesedihannya.

"Tapi aku tidak. Jadi, jika kau masih ingin melihatku, Maka menikahlah. Atau aku akan membencimu, berhenti dari pekerjaanku dan tak akan pernah menghubungimu lagi. Setidaknya jika kau tidak memaksaku dan tetap menikah dengan Seulgi, aku akan tetap menjadi temanmu. Tentu dalam artian teman yang sebenarnya." Irene bangun dan duduk di samping Jimin. Melepaskan genggaman Jimin pada tangannya. "Lagipula, sepertinya aku menyukai pria lain."

Bagaikan sebuah kaca yang terkena lemparan batu besar, Hati Jimin terasa hancur mendengar penuturan dari Irene. Merasa perasaannya selama ini tak berguna sama sekali, hanya bisa menyisakan luka. Mempertahankan Irene untuk berada di sisinya selama ini, menaruh harapan besar untuknya bisa bersama.

Namun, memudar dengan rencana orangtuanya yang menghadirkan Seulgi, dan kini menjadi hancur dengan pengakuan Irene yang terdengar langsung melalui telinganya. Ingin sekali rasanya memprotes pada Tuhan karena menyediakan skenario buruk seperti ini pada dirinya. Lebih buruk daripada akhir menyedihkan sebuah drama ataupun film.

"Siapa orangnya?" tanya Jimin setelah berdiam diri sejenak, menahan hatinya untuk tak terlalu bersikap menyedihkan.

"Kau tidak perlu tahu."

"Baiklah kalau begitu. Kuharap kau datang kepernikahanku. Dan bawa dia, pria yang kau sukai. Buktikan padaku atau aku akan tetap mengejarmu. Sampai kau mau menikah denganku!" Jimin bangkit, berlalu meninggalkan Irene yang sudah menutup muka dengan kedua tangannya. Mengusap kasar wajahnya dan kembali membanting tubuhnya ke atas ranjang. Kembali berusaha menahan airmatanya untuk tidak mengalir.

Bohong jika dia mengatakan dia menyukai pria lain. Walaupun memang tidak berbohong sepenuhnya. Perasaannya masih tabu, tidak bisa dipastikan, tapi malah berharap lebih baik jika dia tetap tidak bisa mengetahuinya. Karena jika saja perasaannya terlihat jelas, justru malah membawanya ke dalam masalah lain. Ke dalam masalah yang tak akan berbeda jauh dengan masalahnya saat ini bersama Jimin. Mencintai lalu ditinggalkan, akhir yang selalu sama dalam hidupnya. 

Di sini bukan hanya Jimin yang membuatnya merasa akan kehilangan. Choi Taehyung, pria itu juga mampu membuatnya merasa takut akan kehilangan. Pria yang membuatnya berani berkata pada Jimin jika dia menyukai pria lain. Walaupun perasaannya saja dia tidak tahu seperti apa. Setelah pertama kali mengetahui tentang pernikahan Jimin, membuatnya semakin berharap banyak pada Taehyung.

Namun tak bisa dipungkiri rasa bersalahnya pada Jennie semakin memuncak, dan rasa takut akan kembali dikecewakan membuatnya lebih memilih untuk meninggalkan Taehyung juga. Mungkin ini memang jalan yang terbaik, setidaknya mungkin semua akan baik-baik saja jika dia memilih pilihan ini. Dia berharap seperti itu.

Maka untuk saat ini, hidup sendiri tanpa bayang-bayang pria adalah pilihan Irene. Lupakan soal dicintai atau mencintai. Mencintai dirinya sendiri saat ini adalah hal yang paling Irene butuhkan. Tidak akan lagi terlihat mudah untuk orang lain.
Menghilangkan semua perasaannya jika perlu, agar tidak bisa lagi merasakan hal-hal yang akan membuatnya kembali menyesal. 
.
.
.

STIGMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang