2.More than Friend

4.9K 479 42
                                    

Irene kini sudah berada di dalam mobil Jimin. Diam menatap lurus ke depan, tidak menghiraukan Jimin yang beberapa kali menoleh kearahnya.
"Jadi, kenapa tiba-tiba minta diantarkan olehku?"

"Ya kebetulan kau datang disaat yang tepat," jawab Irene. Irene membenarkan kursinya untuk bisa menyandar dengan nyaman, dia memejamkan matanya. "Jangan tanya apapun dulu. Kepalaku pening, aku butuh tidur sebentar," lanjutnya.

"Kau minum? Sudah kubilang jangan sentuh alkohol. Tidak masalah jika toleransi alkoholmu tinggi sepertiku, sedangkan kau baru mencium baunya saja sudah pusing. Kau ini tidak pernah mendengarkanku, ya." Jimin menoleh ke arah Irene, beberapa kali, dengan bibirnya yang terus menerus berbicara dengan cepat.

"Hanya satu tegukan saja. Jimin, jangan mengomel. Aku butuh tidur." Irene menolehkan kepalanya ke samping, dan kembali memejamkan matanya.
Berusaha menghindari Jimin yang pastinya akan semakin meracau dengan omelannya. 

Jimin melihat Irene yang memejamkan matanya, memilih untuk membiarkan gadis Bae itu beristirahat. Dia sudah begitu mengenal Irene sejak lama, bahkan dirinya yang merekomendasikan Irene pada Ayahnya untuk menjadi sekertaris. Ya, ayahnya itu si pria tua Park. Jimin bahkan sudah merasa hapal bagaimana Irene. Mungkin, segalanya?

Mobil Jimin melaju sedikit lambat, sengaja agar Irene bisa terlelap sedikit lebih lama untuk memulihkan kepalanya yang pusing. Dan benar saja, Irene sepertinya memang benar-benar terlelap sampai Jimin memanggil namanya berkali-kali pun tetap tidak merespon sama sekali. Jimin kembali memanggil Irene, ingin memberi tahu jika mereka sudah sampai di tempat Irene.

Dan untuk yang kesekian kalinya, akhirnya Irene merespon Jimin. Dia membuka matanya dan menatap Jimin. "Mengantuk sekali. Gendong aku." Irene merentangkan tangannya dan kembali memejamkan matanya yang terasa berat.

"kau ini. Memangnya kau pikir kau tidak berat, ha?" Jimin menggerutu namun justru dia menuruti Irene. Segera turun dari mobil dan menghampiri pintu Irene untuk menggendongnya. Sudah biasa memang jika Irene bertingkah seperti itu padanya, dibalik sikap datar dan juga sifat cueknya, Irene memang kadang seperti ini. Manja. Apalagi jika sudah bersama Jimin.

Jimin menggendong Irene menuju apartemen milik Irene yang berada di lantai atas. Hampir paling atas, apartemen dengan harga yang cukup mahal karena memang bisa terbilang mewah. Jika mengumpulkan gajinya saja mungkin dia harus menabung bertahun-tahun untuk membelinya. Namun jelas tidak perlu seperti itu, ada Jimin yang malah memaksa ayahnya yang juga pemilik gedung apartemen itu untuk memberikan satu unit apartemen untuk Irene. Dengan alasan, agar tidak terlalu jauh dari kantor dan juga imbalan untuk usaha Irene selama ini. Dan Irene? Bagaimana dia bisa menolak jika diberi keuntungan seperti itu.

"Turunkan aku di sofa saja," ujar Irene yang sudah kembali membuka matanya ketika sudah masuk ke dalam apartemennya.

"Kenapa tidak langsung kekamar saja?" Jimin menurunkan Irene dari gendongannya ke sofa. Irene terduduk di sana, meregangkan badannya dan menguap.

Sedangkan Jimin berjalan menuju dapur dan mengambil sekaleng bir di dalam sana. Irene tidak menyimpannya untuk dirinya sendiri karena memang dia tidak menyukainya. Dia menyimpan benerapa kaleng bir memang untuk Jimin yang sering datang kemari bahkan saat Irene tidak ada. Ya, mereka sudah sedekat itu, saling mengunjungi rumah masing-masing dan bahkan lebih dekat dari itu.

"Jadi, Taehyung berpacarqn dengan temanmu itu?" Tanya Jimin yang kembali menghampiri Irene dengan kaleng bir ditm tangannya.

Irene memgangguk. "Iya."

"Pantas saja. Pintar juga dia mencari wanita." Jimin duduk di samping Irene yang sedang memijat pangkal hidungnya. Jimin yang melihatnya segera meletakkan kaleng birnya di meja dan menggantikan tangan Irene untuk membantu memijat kepalanya. "Lain kali jangan minum lagi. Kau membuatku khawatir. Untung saja kau juga bersama Taehyung, bagaimana kalau ada pria yang berniat jahat padamu."

"Kau kenal Taehyung?" Irene memejamkan matanya merasakan pijatan Jimin di kepalanya.

"Ya, teman dekatku waktu Sekolah. Dia juga bisa ada di sana karena aku undang." Jimin meraih kalengnya lagi dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya masih memijat kepala irene dengan perlahan, lembut.
"Ah benar, kau bahkan juga ada di sana. Jennie yang mengajakmu pasti." Jimin meneguk minuman di tangannya.

"Kau yang mengundang? maksudmu?" Irene menyingkirkan tangan Jimin. Duduk dan melihat ke arah Jimin.

Jimin mengangguk dan kembali meneguk bir di tangannya sampai habis. "Ah, Iya. Benar juga aku belum memberitahumu. Hotel itu baru dibeli ayahku, dan dia mengijinkanku mengadakan party di sana."

"Oke, tidak memberitahuku. Jadi begitu?" Mata Irene memicing menatap Jimin.

"B-bukan begitu. Ya, kau kan tidak suka party begitu. Jadi ak-"

"Terus kenapa meninggalkan acaranya? Sana, kembali lagi saja kesana." Irene bangkit dari duduknya, mengikat rambutnya keatas dan berjalan menuju dapur. Jimin segera mengekor di belakang Irene.

"Tidak mau. Aku merindukanmu." Jimin dengan cepat memeluk Irene dari belakang. Menunduk dan Menyandarkan dagunya pada bahu Irene. Irene tidak memperdulikannya dan mengambil botol minum. Meminumnya sebelum menyimpannya kembali pada kulkas.

Ini bukan hal aneh lagi bagi keduanya, status mereka memang berteman dekat. Sangat dekat sampai bisa sejauh itu.
"Kau tidak merindukanku hm? Kau sibuk terus dengan pekerjaanmu, sepertinya aku harus protes pada Ayah." Jimin mengeratkan pelukannya pada perut Irene. Wajahnya mendekati leher Irene, menghirup wangi tubuh Irene yang dia rindukan.

"Sok sekali bilang merindukanku. Padahal selama ini bermain dengan wanita-wanita lain." Irene memukul lengan Jimin yang berada di perutnya.

"Haha. Kau kan berbeda. Lagipula aku tidak bermain dengan siapapun. Aku menunggumu." Bibir Jimin bergerak mengecupi leher Irene.
"Rene?" Suara Jimin melembut, memanggil nama Irene di sela-sela kecupannya.

"Hm? Kenapa?" Irene melepaskan tangan Jimin yang melingkar di perutnya. Berbalik dan menghadap Jimin, hapal sekali jika Jimin sudah seperti itu ada hal yang ingin Jimin sampaikan.

"Kau tidak lelah?"

"Sangat lelah. Sepulang kerja harus kesana karena jennie memaksaku Da-"

"Bukan itu maksudku. Kau tidak lelah dengan kita yang seperti ini? Kita berteman tapi kita sudah terlalu jauh kalau hanya dibilang teman. Aku lelah, Aku ingin lebih. Aku ingin kau menjadi milikku. Jadi Bae, bagaimana kalau kau menjadi kekasihku dan kita menikah nanti?" Jimin menatap Irene lekat. Tangannya menggenggam tangan Irene. Wajahnya begitu penuh dengan keseriusan.

Irene sedikit terkejut dengan apa yang dikatakan Jimin. Tidak pernah terpikirkan jika Jimin mengatakannya. Irene memang hanya menganggap mereka berteman, tidak lebih. Walaupun yang mereka lakukan bukan hal yang wajar dilakukan oleh teman. Hanya saja, dia memang benar-benar menganggap mereka teman dan semua yang dilakukan hanya untuk saling menyenangkan. Anggap saja hubungan yang saling menguntungkan.

"Jika kau sedang bercanda, katakan sekarang juga kalau kau bercanda. Dan kalau kau serius, berikan aku waktu untuk memikirkannya. Aku tidak bisa menjawabnya sekarang karena itu memang terlalu rumit untuk kujawab secepatnya. Menikah, itu sulit."

"Aku serius. Aku tidak bercanda. Baiklah pikirkan baik-baik." Jimin mengecup dahi Irene."Aku juga tidak memaksamu. Tenang saja dan pikirkan baik-baik " Jimin memeluk Irene. Sebuah pelukan yang berganti dengan ciuman yang menuntun mereka untuk kembali berakhir diatas kasur.
.
.
.

Tenang tenang. Hehe
Jadi disini aku mau bikin mereka nakal nakalan. Biar gak lemah lemah(?) terus haha.

Gimana menurut kalian? Akankah masih tertarik buat dilanjut?

STIGMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang