14.Who you

3.3K 396 38
                                    

Kedua insan yang sepanjang jalan membuat lelucon yang terbilang aneh itu tak sadar jika sudah sampai di depan salah satu pintu apartemen, yang tak lain adalah milik salah satunya di antara dua itu. Keduanya saling memandang satu sama lain, dengan senyuman yang terkembang pada sang pria.

"Masuklah lalu beristirahat."

Taehyung yang sedari tadi tersenyum menunjuk pintu dengan rahangnya. Bukan berniat memamerkan rahangnya yang terpahat sempurna tapi ingin menunjuk pada pintu. Walau tetap saja bagi Irene terlihat seperti ingin memamerkan bagaimana sempurnanya rahang itu terbentuk.

"Eum, kalau begitu aku masuk dulu." Irene segera menekan sebuah kode yang menjadi password apartemennya. Membuka pintu dan melangkah masuk, tapi bukannya segera masuk dan kembali menutup pintu, Irene malah berhenti. Berbalik dan melihat pada Taehyung yang sudah menaikan salah satu alisnya, seakan bertanya kenapa wanita itu malah berhenti dan tidak langsung masuk ke dalam. "Tae, M—mau minum teh dulu? Ah tidak, maksudku bisa temani aku?"

Entah siapa yang memulai, kedua orang itu sudah saling memagut di dalam ruangan tidur milik Irene. Awalnya Irene sama sekali tak bermaksud membuat mereka berakhir seperti ini, saling menyentuh memberikan kenikmatan. Niat awalnya hanya sekedar ingin ada teman bicara, dan Irene merasa Taehyung adalah orang yang tepat. Selalu bisa membuatnya melupakan masalah walaupun dengan candaan konyol yang tak masuk akal. Bahasan juga pembicaraan yang seperti berasal dari planet lain.

Namun entah bagaimana, keduanya malah berakhir seperti ini. Dengan decakan juga erangan yang terdengar di telinga, diiringi dengan suara penyatuan mereka di bawah sana. Mengantarkan mereka pada hal yang sering diibaratkan dengan surga dunia. Kenikmatan di dunia yang selalu dianggap setara dengan surga di atas sana.

***

Hingga malam berlalu dan berubah menjadi pagi, semuanya tetap sama sekali tak terasa indah bagi Seulgi. Malamnya pertama yang begitu dia idam-idamkan, selalu membayangkan dengan suasana romantis penuh perasaan harus dia relakan tidak pernah terjadi. Park Jimin yang kini menyandang status sebagai suaminya itu sudah mengambil pertamanya semalam, tentu tidak dengan hal indah yang selalu Seulgi bayangkan. Berbeda. Semuanya jelas berbeda dan berbanding terbalik dengan yang Seulgi harapkan, Jimin mau menyentuhnya saja dia sudah bersyukur. Setidaknya dia tidak merasakan kepedihan Danashiri mantan permaisuri dinasti yuan yang diabaikan sang kaisar pada malam pertamanya. Walaupun ia tahu sentuhan yang Jimin berikan semalam hanyalah sebagai pelampiasan kekesalan Jimin akan pernikahan yang mereka jalani.

"Jimin, mau kemana? Aku sudah siapkan sarapan." Seulgi membuka apron yang melingkar pada pinggang rampingnya, melihat pada Jimin yang sudah berpakaian rapi berjalan mengambil minum di dalam kulkas.

"Pergi. Ada urusan," jawab Jimin sebelum meneguk air di dalam botol yang baru saja ia keluarkan dari dalam kulkas.

"Sarapan dulu kalau begitu." Seulgi nampak berusaha memyembunyikan kesedihannya. Dia tahu jelas jika Jimin tengah cuti untuk beberapa hari ke depan, dan lagipula ini adalah akhir pekan tidak mungkin ini menyangkut dengan pekerjaannya. Mungkin memang urusan penting, urusan dengan wanita yang berada di hati pria itu. Siapa lagi kalau bukan Irene.

"Tidak usah. Makan saja sendiri, aku buru-buru."

Jimin mengembalikan botol yang sudah tersisa setengah ke dalam kulkas. Menutupnya dan berjalan mengambil kunci mobil yang berada di meja raung tamu ini.

"Jimin!" Seulgi mengikuti Jimin, berharap bisa menahan suaminya itu untuk tidak pergi. Namun, bukannya berhenti, Jimin malah tak menghiraukan Seulgi sama sekali.

Sebenarnya Jimin bukan benci pada gadis bermata kucing itu, hanya saja dia merasa tak enak setelah apa yang terjadi semalam. Menjadikan gadis itu pelampiasan hingga menyentuhnya dengan kasar di saat itu adalah yang pertama bagi gadis yang dinikahinya itu.

STIGMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang