Langkah Gema membawanya masuk ke dalam rumah, ia berjalan sedikit bungkuk sambil memegang wajahnya yang babak belur akibat ulah Naresh. Sesekali ia menoleh ke sekitar, melihat-lihat keadaan rumahnya yang sangat sepi. Mungkin keluarganya berada di lantai dua.
Kini Gema berjalan menaiki satu-persatu anak tangga, perasaan gugup seketika merasuki dirinya karena pulang dalam keadaan wajah yang penuh bekas tonjokan. Gema jadi memikirkan bagaimana reaksi papanya nanti jika melihat keadaan dirinya yang babak belur, mungkin akan diceramahi habis-habisan.
Gema melirik orang tuanya yang sedang asyik berduaan di depan televisi. Ia pun susah payah menelan ludah, untuk menuju kamar sudah pasti ia harus melewati papa dan mamanya dulu. Wah,sesuatu yang tidak diinginkan mungkin akan terjadi. Mati kutu, batin Gema.
"Gema, baru pulang?"
Itu suara Liana, mamanya Gema. Menatap bingung ke arah anak laki-lakinya yang menunduk sambil memegangi setengah wajahnya.
Arga yang semula fokus pada televisi kini mengikuti arah pandang istrinya. Sama seperti Liana tadi, raut wajah Arga juga tampak bingung.
"Tadi jalanan macet parah, jadi baru sampe rumah jam segini," sahut Gema, dia masih menunduk, tak lupa dengan tangan yang masih setia menutupi sebagian wajahnya.
"Terus, ngapain kamu nunduk gitu?" kini giliran Arga yang angkat suara.
"Anu, Pa. Aku pusing." Tangan Gema beralih memijat pelan kepalanya, berakting seolah benar-benar sedang pusing.
Liana mengerutkan dahi. "Loh? Tumben. Emang abis ngapain sampe pusing begitu?"
"Nghh ..., anu." Gema makin gugup. "Nggak tau juga, Ma. Tiba-tiba pusing."
Arga menyadari gelagat aneh dari anak itu, ia pun bangkit dari posisinya lalu melangkah mendekati Gema untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi pada cowok itu.
"Kamu gak bohong'kan?" Arga meletakkan telapak tangannya ke bahu Gema. Mengintimidasi anak laki-lakinya yang sedari tadi menunduk. Wajah Gema juga nyaris tak terlihat karena dilindungi oleh rambut tebalnya. Hal itu bikin Arga sulit untuk melihat jelas wajah cowok itu.
"Ng-nggak, Pa."
"Gema, Papa mau liat muka kamu," pinta Arga.
"Kan Papa udah sering liat muka aku," jawab Gema santai.
Arga mulai geram pada anak itu, "Gema, Papa nggak bercanda."
"Aku juga nggak bercanda."
"Jangan bikin Papa emosi," tegas Arga. "Angkat muka kamu sekarang."
Gema menggeleng cepat.
"Jangan gitu Gema, nurut aja sama Papa," kata Liana.
"Kamu udah gede, jangan bertingkah kayak anak kecil begini. Kalau ada apa-apa bilang aja sama orang tua." Arga berucap sambil menepuk-nepuk bahu cowok itu.
Gema sadar, apa yang diucapkan papanya barusan memang benar. Tidak seharusnya ia seperti ini, bersikeras menyembunyikan sesuatu dari orang tua. Lagian kalau mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi, Gema juga nggak bakal diusir oleh papanya. Toh, sepenuhnya bukan salah dia. Naresh saja yang salah paham dan tetap ngotot menyalahkannya tentang masalah setahun yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nada & Gema [COMPLETED]
Подростковая литература"Piano itu menggema dan bernada. Kalau kita, Gema dan Nada yang saling mencinta." • • • Awalnya, Gema nggak pernah tertarik akan hal-hal yang berbau soal cinta. Apalagi pacaran, seumur hidup ia belum pernah merasakannya. Namun hingga suatu ketika, k...