"Gema harus bangun ...."
Sedari tadi Nada tak berhenti memohon dan melirih di depan ruangan UGD, tampak jelas telihat kedua matanya benar-benar sembab akibat terus-terusan menangis. Lantas gadis itu sekarang mendongak, menatap sendu figur seorang lelaki yang sudah berbaik hati menolong Gema dan membawanya menuju rumah sakit. Walau terbesit emosi yang mendalam di benak lelaki itu setiap kali melihat wajah Gema.
"Telpon keluarga atau siapanya Gema kek, terus kita tinggal pulang dah. Gue ngantuk banget kampret," dengus Naresh.
Nada menghela napas, jemarinya terangkat mengusap hidungnya yang terasa gatal dan memerah. "Aku udah telpon mamanya Gema lewat hape dia, tapi gak aktif ...."
"Telpon papanya," sahut Naresh, suaranya rendah.
"Sama aja, gak aktif juga." Nada cemberut, kini pandangannya terfokuskan pada pintu ruang UGD, ia ingin sekali masuk ke dalam sana dan melihat jelas kondisi Gema yang sebenarnya.
Naresh hendak berucap lagi namun tertahan karena saku celananya tiba-tiba bergetar pertanda ada yang menelpon, dengan sigap ia pun meraih ponsel itu.
"Mama nelpon," kata Naresh setelah melihat layar ponselnya. "Angkat?"
Nada menggeleng cepat. "Jangan!"
Naresh hanya mengernyitkan dahi tanpa menyahut.
"Pokoknya jangan kasih tau sekarang, pas di rumah aja," ucap Nada.
Detik demi detik berlalu. Setelah sekian lama menunggu pintu ruangan tersebut akhirnya terbuka bersamaan dengan seorang dokter yang keluar disusul beberapa suster di belakangnya. Nada yang menyadari itu pun lantas langsung berdiri dan sudah siap menyiapkan pertanyaan kepada sang dokter.
"Gimana keadaan Gema, Pak Dokter?" sambar Nada tanpa basa-basi. "Dia baik-baik aja 'kan?"
"Pasien mengalami pendarahan hebat di bagian kepala serta terdapat luka ringan di sebagian tubuhnya. Tetapi tenang saja, kami akan melakukan penanganan yang terbaik untuk pasien," jelas Dokter tersebut.
Nada hanya menunduk lemah, kedua mata seketika memanas, siap meluncurkan kristal bening lagi dari tempatnya. Namun dengan gesit ia langsung menahan dan kembali mendongak menatap lelaki berjas putih yang ada di hadapan.
"Saya boleh masuk?" ucap Nada penuh harap.
Sang dokter lantas mengangguk dan tersenyum tipis. Kemudian menyahut, "Silakan, kalau begitu kami permisi."
"Makasih, Pak Dokter ...."
Kini, Nada menoleh ke arah Naresh yang duduk anteng sambil memainkan ponselnya seolah tak peduli dengan sekitar.
"Bang Ares, Ayo! Ikut masuk nggak?"
Naresh mendelik. "Dih, males."
"Beneran? Emang Bang Ares gak takut sendirian duduk di sini? Mana udah tengah malem lho. Hati-hati entar ada mbak kunti—"
Naresh langsung membekap mulut gadis itu. "Bacot lo, ho-oh yaudah gue ikut masuk."
• • •
Setibanya di ruangan bernuansa putih dan bau obat yang menyeruak di indra penciuman, dengan tak sabaran Nada pun menghampiri lelaki itu. Lelaki yang beberapa jam lalu membuatnya tertawa bahagia, namun setelahnya membuat Nada menangis histeris bagai kehilangan separuh jiwanya. Sebuah momen yang benar-benar tak disangka.
"Gema ... aku di sini." Nada bergumam seraya menatap sendu wajah pucat cowok itu. Seperti biasa, wajah tampan milik Gema selalu mendamaikan hati Nada. Namun entah kenapa kali ini berbeda, seperti ada sesuatu yang perih di dalam dadanya ketika melihat wajah Gema yang sekarang.
"Kenapa harus kamu, Gema. Kenapa harus kamu yang rebahan di sini. Aku nggak suka kamu lemah kayak gini. Aku mau liat Gema yang kayak biasanya, yang selalu bikin aku senyum, selalu bikin aku ketawa, selalu bikin aku pengen nabok kamu karena sifat kamu yang nyebelin. Tapi ngangenin." Nada menggenggam tangan Gema penuh harap. Lagi-lagi, air mata kembali meluncur membasahi pipinya.
"Aku kangen kamu ... ayo buka mata. Aku tau kamu cuma tidur. Tapi aku mohon, jangan tidur lama-lama ...."
Seketika semua memori tentang cowok itu terlintas di kepala Nada.
"Kamu inget gak, pertama kali kita ketemu kamu ngomel-ngomel karena gamau seduduk sama aku. Terus waktu itu kamu ngelempar bola basket ke arah aku, sampe kena kepala aku. Tapi tiba-tiba aja kamu malah ngasih aku eskrim pas di kantin. Lucu ya ...." Nada tertawa pelan disela-sela isak tangisnya.
Jujur, Naresh tak tega melihat adiknya seperti itu. Berceloteh sendiri dan menangis berkali-kali. Ingin rasanya menegur Nada agar tidak berlebihan menangisi Gema. Namun Naresh juga mikir, kalau ditegur nanti malah bikin gadis itu semakin histeris dan mungkin akan ngomel-ngomel. Jadi ya terpaksa Naresh memilih untuk diam saja.
Drrtt ... drrrtt ....
Ponsel milik Gema tiba-tiba bergetar membuat Nada mengalihkan pandangannya menuju benda pipih itu.
Mama is calling ....
"Akhirnya, mamanya Gema nelpon." Tanpa pikir dua kali, Nada langsung menerima panggilan telepon tersebut dengan tangan yang gemetar.
"Gema, ini udah tengah malem banget. Kamu di mana? Kamu gapapa kan? Entah kenapa perasaan mama nggak enak ...."
Nada menggigit bibir bawahnya, gugup. Ia benar-benar takut mengatakan yang sebenarnya.
"Hm ... maaf, ini saya temennya Gema, Tante," ucap Nada.
"Lho? Terus Gema mana?" Terdengar jelas suara panik Liana dari seberang sana.
Nada menarik napas sejenak, lalu membuangnya pelan. "Rumah sakit ...."
"Rumah sakit? Kenapa? Gema kenapa?!"
Nada sangat gugup, ia takut dan khawatir jika Liana akan menyalahkannya atas kejadian nahas yang menimpa Gema.
"Gema korban tabrak lari, Tante ...."
• • •
Ada yang kangen Gema? :(((
KAMU SEDANG MEMBACA
Nada & Gema [COMPLETED]
Fiksi Remaja"Piano itu menggema dan bernada. Kalau kita, Gema dan Nada yang saling mencinta." • • • Awalnya, Gema nggak pernah tertarik akan hal-hal yang berbau soal cinta. Apalagi pacaran, seumur hidup ia belum pernah merasakannya. Namun hingga suatu ketika, k...