BAB 12

4.3K 165 3
                                    

"Jika ingin menemui saya, carilah alasan yang tepat," ucap Hanum.

Tibra menegakkan tubuhnya mendekati Hanum. Ia tidak suka ada wanita yang meremehkannya seperti ini.

Jantung Hanum maraton ketika Tibra sudah berada di hadapannya, dengan posisi setengah membungkuk, kaki kirinya di tekuk di sofa. Hembusan nafas Tibra terasa di permukaan wajahnya. Hanum lalu beringsut di sofa, menjauhi diri dari Tibra.

"Apa yang kamu lakukan," ucap Hanum.

"Menyingkirlah, saya tidak ingin security datang jika kamu masih di posisi seperti ini," ucap Hanum emosi.

"Itu tujuan saya,"

Hanum lalu mendorong tubuh Tibra, agar menyingkir dari hadapannya. Tibra menegakkan lalu menyingkir, ia melirik Hanum, wanita itu berdiri menjauhinya.

"Jangan pernah menemui saya lagi," ucap Hanum.

Tibra dengan cepat meraih tangan Hanum. Ia tidak bisa membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Hanum merasakan tangan hangat dan kasar itu menarik tangannya dengan erat.

"Saya belum selesai bicara," ucap Tibra, memandang iris mata Hanum.

"Apalagi yang harus kita bicarakan, hah," Hanum dengan sekuat tenaga memberontak tangan Tibra, tapi tangan itu begitu kuat.

Tibra menyentak tangan Hanum, mendekat ke arahnya, Hanum memandang iris mata tajam Tibra. Hanum menelan air liur, keringat dingin jatuh di pelipisnya. Sungguh ia takut berhadapan dengan laki-laki ini.

"saya sudah mengatakan kepada kamu, bahwa saya akan mengganti uang itu," ucap Tibra, ia tidak suka ada seseorang yang mengabaikannya.

"Transfer saja, kalau begitu," ucap Hanum pelan, ia menahan debaran jantungnya.

"Mari ikut saya," ucap Tibra lalu menarik tangan Hanum, menjauhi lobby.

"Kemana," tanya Hanum lagi.

"Ke ATM depan," ucap Tibra.

Hanum menarik nafas, ia mengikuti langkah Tibra, keluar dari lobby hotel. Tibra membuka pintu mesin ATM, Ia memberi isyarat agar Hanum masuk ke dalam. Hanum nelangsa dalam hati, ia lalu mengikuti perintah Tibra. Tibra menutup pintu itu kembali, ketika Hanum masuk ke dalam. Hanum melirik Tibra kini sudah berada tepat di belakangnya.

Tibra membuka dompet dan ia lalu mengambil kartu ATM berwarna Gold itu dari dompetnya. Ia letakkan lagi dompet itu di saku celananya.

"Berapa tagihannya," ucap Tibra, ia memasukkan kartu ATM pada mesin.

"Enam ratus delapan puluh," ucap Hanum.

Tibra masih sibuk memencet pada layar persegi itu. Ia melirik Hanum, sekilas melihat leher jenjang wanita itu. Leher jenjang itu begitu mulus, sangat menarik untuk di dicicipi.

"Nomor rekening kamu berapa," ucap Tibra.

"Saya lupa membawa ponsel dan dompet. Saya juga lupa nomor rekening saya sendiri. Tunai saja kalau begitu," ucap Hanum, ia memandang layar persegi itu.

Hanum sengaja melirik saldo rekening Tibra pada layar. Jumlahnya fantastis, melebihi digit nomor ponsel miliknya. Oh Tuhan, 10 tahun ia bekerja disini, tidak mungkin cukup memiliki angka seperti itu.

Sedetik kemudian, Tibra mengambil uang yang keluar dari mesin ATM. Ia memasukkan kembali kartu ATM itu di saku jasnya. Tibra memandang Hanum, wanita itu masih diam tepat di hadapannya.

Tibra menggenggam uang itu dan ia serahkan uang itu kepada Hanum.

"Ini uang kamu,"

Tibra menyelipkan uang itu, di saku jas Hanum, "saya tahu, kamu perlu uang," gumam Tibra.

"Hemm, ya terima kasih" ucap Hanum, Hanum tidak munafik, atas pemberian uang dari Tibra. Jujur ia butuh uang untuk keperluan hidupnya, di tambah beban hidup sang adik kelak. Sudah seharusnya laki-laki itu membayar kamar itu.

Tibra lalu mengurung Hanum dengan ke dua tangannya, di tatapnya wajah simetris itu. "Saya ingin mengajak kamu makan malam,"

"Makan malam,"

"Ya, apakah kamu bisa,"

"Maaf tidak bisa," ucap Hanum, hembusan nafas Tibra terasa di permukaan wajahnya.

Hanum hanya tidak ingin terlalu dekat dengan Tibra, dan ia juga tidak mempunyai keinginan bersama laki-laki menyeramkan ini. Hanum lebih baik makan malam bersama Sam atau Jo, dari pada Tibra. Entahlah ada rasa takut yang berlebihan, dan ia juga merasa tidak aman di dekat Tibra.

"Apakah kamu sudah punya janji dengan kekasihmu itu,"

"Ya," dusta Hanum.

"Oke, kapan kamu bisa," ucap Tibra, karena posisi ini sudah begitu dekat dengan wajah cantik Hanum.

"Saya tidak ingin makan malam bersama laki-laki lain, demi menjaga perasaan kekasih saya," ucap Hanum.

"Begitu ternyata," Tibra melepaskan tangannya, ia lalu membuka pintu ATM dan melangkah menjauhi Hanum. Ia bukan jenis laki-laki yang memaksa terhadap wanita. Ia hanya ingin bersama wanita yang mau bersamanya, bukan dengan paksaan.

Hanum menatap punggung Tibra dari belakang. Ini sudah kesekian kalinya Tibra seperti ini. Oh Tuhan, apakah laki-laki itu seperti itu selalu meninggalkan dirinya seperti ini. Padahal jika Tibra sedikit lebih memaksa, mengajaknya makan malam. Mungkin ia akan mempertimbangkannya.

Adegan seperti itu, sering ia lihat di drama korea, dan novel romance favoritnya, rasanya begitu romantis menurutnya. Sialnya, ia tidak bisa berharap adegan itu bersama Tibra.

*********

Hanum kembali duduk di meja kerjanya. Ia menatap layar monitor, ia lalu mengeluarkan uang dari saku jasnya. Hanum mengerutkan dahi, uang di saku jasnya begitu banyak, dengan lembaran uang merah. Hanum lalu menghitung uang itu dalam diam. Hanum tidak percaya bahwa Tibra memberinya uang yang tidak sedikit. Ada tiga puluh lembar di sana.

"Banyak banget uangnya," ucap Ajeng.

Hanum lalu dengan cepat memasukan uang itu kembali, dan ia akan mengambil hak nya saja. Ia harus mengembalikan uang itu lagi, ketika ia bertemu Tibra nanti.

"Sayangnya bukan uang saya," ucap Hanum.

Ajeng tidak menanyakan prihal uang itu lagi. Ajeng memperhatikan Hanum, dan ia lalu berpikri,

"Nanti malam ke Skye yuk," ucap Ajeng.

Hanum lalu menoleh ke arah Ajeng, ia pernah ke Skye sebelumnya, bersama teman kantornya dulu. Rooftop paling keren yang pernah ia lihat. Memandang indahnya view kota Jakarta dari ketinggian, sambil menikmati angin malam.

"Berdua saja," ucap Hanum.

"Ya, sama siapa lagi,"

"Ajak satu lagi, siapa gitu, enggak enak dong, cuman kita berdua,"

"Ajak Daniar saja, dia kan masuk pagi,"

"Daniar Receptionis itu," ucap Hanum.

"Ya, Daniar siapa lagi,"

"Oke, yaudah ajak saja, siapa tau dia mau,"

Ajeng lalu memencet tombol interkom menghubungi Daniar. Beberapa menit kemudian, Ajeng menyudahi panggilannya.

"Daniar mau, katanya jemput saja nanti di kost,"

"Kamu tahu kostnya dimana?" Tanya Hanum.

"Tau kok,".

"Oke,"

**********

PESONA CINTA CEO (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang