BAB 40

3.6K 145 0
                                    

Hanum merukir sejarah dalam hidupnya. Ia telah melakukannya dengan laki-laki yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengan dirinya. Jika suatu saat hubungan ini berakhir seperti Bianca dan Ririn, ia harus siap menghadapi kenyataan. Jujur ia tidak tahu kehidupan Tibra seperti apa. Karena dirinya memang tidak pernah mencari tahu, ia hanya tahu bahwa Tibra adalah mantan atasannya dan membaca buku biografinya itu saja. Ia juga tidak pernah bertanya hubungan status dirinya kepada laki-laki itu.

Hanum memanggang roti dengan saus coklat di dalamnya. Ia menyiapkan sarapan untuk laki-laki itu. Hanum meletakkan roti itu di piring. Ia terpana menatap Tibra di sana. Laki-laki itu mengenakan handuk miliknya. Walaupun handuk itu berwarna merah muda, tapi tidak ada kesan feminim yang terlihat. Oke, kali ini tidak hanya berbagai urusan handuk, tapi juga berbagi urusan ranjang dan perlengkapan mandi. Rambut laki-laki itu terlihat basah, dan berjalan mendekatinya.

"Kamu ingin pergi kerja?" Ucap Tibra, ia menatap penampilan Hanum, Wanita itu mengenakan kemeja putih dan rok span di atas lutut.

"Iya, saya harus kerja," ucap Hanum.

"Jangan bekerja saja kalau begitu," gumam Tibra, ia melirik Hanum, ia meraih cangkir di hadapannya. Ia merasakan aroma teh melati yang menyegarkan, ia menyesap teh melati itu secara perlahan.

"Saya kemarin telah cuti terlalu lama, dan saya harus kerja" ucap Hanum.

Tibra meletakan cangkir itu, dan memandang Hanum dengan serius, "Bisakah kamu mengikuti apa mau saya," ucap Tibra.

Hanum mengerutkan dahi, yang benar saja jika dirinya tidak bekerja. Ia tidak ingin di pecat oleh atasannya, hanya masalah seperti ini. Ia tidak suka dengan tindakkan Tibra seperti itu. Tibra juga tidak berhak atas dirinya, toh Tibra bukan suaminya.

"Saya masih ingin kerja," ucap Hanum.

"Sudah ada saya, kenapa harus bekerja,"

"Jika saya bisa melakukannya sendiri, kenapa saya harus menjadi benalu," timpal Hanum.

Tibra mengerti maksud arah pembicaraan Hanum, ia mantap iris mata bening itu. Ia tidak ingin berdebat terlalu panjang dengan wanita ini, terlebih ini masih terlalu pagi.

"Keras kepala sekali," gumam Tibra, ia memakan roti buatan Hanum.

Jujur ia tidak suka Hanum bekerja, dan ia bisa memenuhi semua keinginan wanita itu. Ia bisa membeli segalanya, asal Hanum bisa bersama dirinya.

"Bagaimana jika kita tinggal bersama,"

Hanum memandang Tibra, alisnya terangkat penuh dengan tanya,

"Tinggal bersama?"

"Ya, saya ingin kita tinggal bersama,"

"Nanti akan saya pikirkan," ucap Hanum.

Ia tidak ingin terlalu memikirkan itu terlalu jauh. Ia tidak ingin masuk ke dalam kehidupan Tibra terlalu dalam. Jika suatu saat dirinya berpisah, ia tidak akan patah hati berkepanjangan. Ia sudah tahu akhir cerita ini seperti apa, yang pasti ia akan bernasib sama seperti Ririn dan Bianca. Ia hanya tidak ingin ketergantungan dengan laki-laki tampan di hadapannya ini.

Tibra menyudahi makannya, ia berjalan mendekati Hanum.

"Saya antar kalau begitu, tunggulah sebentar" ucap Tibra, ia lalu melangkah menjauhi Hanum.

*********

Sepanjang perjalanan Tibra dan Hanum hanya diam. Tidak ada yang saling memulai percakapan. Padahal dirinya dan Tibra telah melakukan itu, seharusnya dirinya dan Tibra berbahagia. Hanum mengucapkan terima kasih kepada Tibra, yang telah mengantarnya. Tibra mengecup bibirnya, laki-laki itu mengatakan, akan menjemputnya nanti sore.

PESONA CINTA CEO (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang