BAB 39

3.5K 147 0
                                    

Hanum tahu Tibra menghormatinya, jika dirinya mengatakan tidak, laki-laki itu tidak akan melakukannya. Laki-laki itu hanya menggodanya. Sialnya, laki-laki itu selalu membahas tentang urusan ranjang, yang sama sekali tidak ada faedahnya. Pikirannya kotor Tibra, tidak ia tutup-tutupi, bahkan mengatakan posisi paling nyaman dan disukainya. Ia tidak tahu, ingin berkata apa dengan laki-laki bajingan ini.

Tibra mengajak ke rumahnya, hanya untuk makan malam bersama, itu saja tidak lebih, dan tidak melakukan tindakkan kriminal. Laki-laki itu masih menjaga hasratnya untuk tetap tenang. Tibra bermain aman, dan hanya sekedar mencium dan memeluknya, seperti yang sering ia lakukan sebelumnya.

Jika ada yang bilang setelah patah hati, dan sulit melupakan mantan, itu salah besar. Buktinya dirinya ia tidak terlalu memikirkan Jo. Jo seolah hilang begitu saja, ia bersyukur bahwa Tibra kini mendominasi hatinya. Mungkin di saat ia patah hati, ada seseorang yang kini masuk dalam hatinya, sehingga ia tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Laki-laki seperti Tibra, memang tidak pernah menyatakan cinta, tapi entahlah walau Tibra tidak pernah mengungkapkan cinta, tapi hatinya seakan milik laki-laki itu. Kini ia telah memikirkan Tibra.

Ia akui bahwa dirinya memang sudah jatuh cinta kepada laki-laki brengsek itu. Tibra sungguh hebat, bisa menaklukkan hatinya begitu cepat. Dibalik sifat dingin Tibra, ternyata menyimpan sejuta kesan hangat yang mendalam. Kadang ia merindukan pelukkan hangat laki-laki itu, dan kata-katanya yang tegas. Oke, sekarang ia sudah menjadi salah satu wanita yang sudah terperangkap pesonanya. Ia sudah mirip dengan Ririn dan Bianca. Ia menginginkan laki-laki brengsek ini.

Jujur ia tidak bisa tidur memikirkan laki-laki itu. Bayang-bayang laki-laki itu selalu ada, ia teringat bagaimana Tibra menyadarkan adiknya yang pembangkang. Entahlah ia tidak tahu cara untuk membalas budi laki-laki itu. Ia tidak mungkin membalas budi dengan uang ataupun materi, karena Tibra telah memiliki segalanya.

Hanum menyandarkan punggungnya di sisi tempat tidur. Ia melihat jam yang menggantung di dinding kamar menunjukkan pukul 22.30 menit. Ia hampir gila memikirkan Tibra. Ada rasa rindu ingin bertemu dengan laki-laki itu saat ini.

Hanum meraih ponselnya di nakas, ada perasaan resah dan gelisah di hatinya, sebelum menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan dengan laki-laki itu. Hanum mempertimbangkan apa yang harus ia lakukan. Ini adalah keputusannya, Hanum menekan tombol pada layar, ia mencari kontak Tibra. Setelah menemukan apa yang ia cari, ia menekan tombol hijau. Ia letakkan ponsel itu di telinga kirinya. Ia menunggu hingga sang pemilik ponsel mengangkat panggilannya.

Sedetik kemudian, sambungan itu terangkat.

"Iya, Han,"

Ia tahu betul siapa pemilik suara berat itu. Hanum menarik nafas, sebelum melanjutkan kata-katanya. Jujur ini merupakan hal yang tidak pantas ia lakukan sebagai seorang wanita. Seorang wanita harus menjaga kehormatannya, tapi ia sudah tidak bisa menahan lagi. Ia menginginkan laki-laki, ia tidak peduli orang menganggapnya wanita binal, dan ia tidak peduli orang mengatakan dirinya jalang. Tapi sungguh ia tidak bisa berdiam diri seperti ini, ia ingin melakukan dengan laki-laki itu. Ia wanita dewasa, dan ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ia akan bertanggung jawab, semua yang ia lakukan. Ia wanita tegar, dan tidak peduli, suatu saat ia akan di campakkan seperti Ririn dan Bianca.

"Han ..."

Ia masih mendengar suara berat itu, menyebut namanya dengan panggilan Han. Oh tidak, apa yang harus ia lakukan, Hanum meremas jemarinya, dan ia menatap langit-langit plafon.

"Datanglah, saya menginginkan kamu," ucap Hanum pada akhirnya.

Lama terdiam, satu sama lain. Tibra mendengar suara lembut, mengatakan menginginkannya. Sungguh ia sulit percaya apa yang di katakan Hanum. Ia tahu maksud arah tujuan perkataan itu mengarah kemana. Ia tidak akan mengulur waktu, ia tidak ingin wanita itu akan merubah pikirannya. Dirinya juga menginginkan wanita itu dari awal.

"Kamu ada dimana?" Ucapanya tenang.

"Di apartemen,"

"Tunggulah setengah jam lagi saya akan kesana," ucap Tibra.

Sambungan ponsel seketika terputus. Jantung Hanum seketika maraton. Ia menatap penampilannya di cermin. Hanum tidak tahu apa yang harus ia lakukan, apakah ia perlu berpakaian seksi, atau ia bersikap biasa-biasa saja. Hanum merapikan rambutnya sedikit berantakkan, dan memoles bibirnya dengan lip blam, agar tidak terlalu pucat. Oke, ia akan bersikap biasa-biasa saja, ia tidak ingin bersikap berlebihan kepada laki-laki itu.

Hanum menahan debaran jantungnya, ia masih mengenakan pakaian tidur. Hanya celana pendek dan tang top bertali spaghetti berwarna hitam. Ia menunggu kehadiran Tibra, waktu seakan cepat berlalu, padahal hatinya masih berdegup kencang.

Beberapa menit kemudian, suara bell terdengar dari balik pintu. Hanum dengan cepat melangkah ke pintu utama. Hanum membuka hendel pintu, dan ia terpana menatap Tibra yang kini di hadapannya. Laki-laki itu mengenakan celana pendek adidas dan jaket hitam parasut, dengan list putih di lengannya. Sepertinya laki-laki itu terburu-buru.

Tibra memandang wajah cantik Hanum, ia tadi tidak percaya bahwa wanita ini menelfonnya. Ia sudah mengatakan kepada wanita cantik ini, bahwa ia tidak akan melakukannya, jika dia tidak menginginkannya juga. Ia akan melakukannya atas suka sama suka, tanpa paksaan apapun. Wanita itu mengatakan menginginkannya. Menginginkan yang ia maksud bukan jenis menginginkan sesuatu benda atau materi. Tapi ini adalah menginginkan yang dilakukan oleh dua orang dewasa. Mereka sama-sama dewasa, dan rasa ketertarikan itu semakin kuat, ketika ia bersama.

Ia tadi menerobos beberapa lampu merah, dan melajukan kecepatan mobilnya, agar segera sampai di apartemen wanita ini. Sekarang wanita ini kini di hadapannya. Wanita itu seakan menunggu kehadirannya.

Hanum memperlebar daun pintu untuk Tibra. Sama-sama tidak saling berucap, hanya dengan tatapan mereka berbicara. Hanum menutup pintu itu kembali, ketika Tibra melangkah masuk.

Tibra mendekati Hanum dan memandang wajah cantik itu, Hanum membalas tatapannya. Tibra menyentuh rambut lurus itu, dan mengelus wajah cantik itu.

"Saya tidak ingin mendengar, kamu merubah keputusan," ucap Tibra, ia memandang iris mata bening itu.

Hanum mengelus rahang tegas Tibra, ini merupakan pertama kalinya ia menyentuh rahang Tibra. "Saya tidak merubah keputusan saya," ucap Hanum pelan, jantungnya semakin maraton.

Tibra menarik pinggang Hanum, merapat ke tubuhnya. Ia dapat mencium harum mawar putih dari tubuh Hanum. Harum mawar putih ini lah yang selalu ia rindukan.

"Apa yang membuat kamu merubah keputusan ini," ucap Tibra pelan, nyaris berbisik.

Hanum memandang iris mata tajam itu dan ia meraih jemari Tibra. Ia elus punggung tangan itu, "Saya hanya ingin kamu yang melakukannya," ucap Hanum.

"Apa alasannya?" Ucap Tibra penasaran.

"Kamu adalah alasannya,"

"Kenapa harus saya? Bukankah ini yang pertama kali untuk kamu,"

"Ya, ini pertama kalinya untuk saya. Kamu adalah orang yang pantas melakukannya. Karena kamu telah membuat saya tidak berhenti memikirkannya," ucap Hanum.

Tibra tersenyum dan ia mengecup kening Hanum dengan sepenuh hatinya. Sedetik kemudian, ia lepas kecupan itu, "Kamu milik saya," ucap Tibra.

Jantung Hanum kembali maraton, dan ia mengalungkan tangannya di leher Tibra. Tibra semakin merapatkan tubuhnya, dan ia mulai mencium punggung Hanum, secara perlahan.

"Saya akan melakukannya dengan hati-hati," bisik Tibra, di sela-sela kecupannya.

*********

PESONA CINTA CEO (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang