BAB 43

3.2K 131 0
                                    

"Saya, tidak bisa menerima pertunangan ini," ucap Tibra.

Ke dua orang tuanya seketika menghentikan langkah. Mereka lalu menoleh ke arah Tibra. Terlihat jelas ke dua orang tuanya, tidak suka mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Tibra.

"Tibra, !" Ucap ayah.

"Saya tidak bisa bersama Helena," ucap Tibra lagi, ia membalas tatapan sang ayah.

Sang ibu lalu mendekati Tibra, ia tidak ingin ada perdebatan antara Tibra dan suaminya,

"Nak, bukankah tadi kamu sendiri yang menyetujui itu, kenapa kamu tiba-tiba, merubah keputusan kamu," ucap ibu.

"Saya hanya tidak nyaman berkata tidak, kepada beliau," ucap Tibra lagi, ia memandang iris mata ibunya.

Ayah melangkah mendekati Tibra, "Tibra dengarkan ayah, jika kamu menikah dengan Helena, merupakan kebanggan tersendiri bagi ayah. Lihatlah, mereka pejabat tertinggi di negeri ini. Mereka menyukai kamu, mereka ingin kamu bagian dari mereka,".

"Tapi saya tidak bisa ayah,"

"Ayah tidak akan merestui hubungan kamu, dengan wanita lain, selain Helena, ingat itu !," timpal ayah.

Tibra pernah berjanji tidak akan berkata kasar terhadap orang tuanya. Sepanjang makan malam tadi, ia hanya diam. Jujur ia hanya ingin makan malam itu segera berkahir.

Ia telah menduga ayahnya akan berkata seperti itu kepadanya. Ia hanya diam, dan tidak akan membantah. Sungguh ia tidak ingin menjadi anak yang durhaka.

"Nak dengar mama, lihat mama. Helena adalah satu-satunya wanita yang tidak pernah kamu sakiti hatinya. Apakah kamu tega menyakiti wanita sebaik Helena. Kamu pernah mengatakan kepada mama, bahwa Helena memiliki jiwa sosial yang tinggi, dewasa, dan dia teman yang baik. Kamu menyukainya juga, bukankah begitu pertemuan kalian. Mama menyukai wanita itu, begitu juga dangan ayah,"

Pernyataam ibunya memang benar adanya, Helena memang seperti itu. Itu hanya dari segi sudut pandangnya saja. Tapi tidak untuk hati dan perasaanya.

"Maaf, saya tidak bisa," ucap Tibra, ia memandang iris sang ibu, agar memohon pengertiaanya.

Ayah mendengar itu lalu naik pitam, ia bertolak pinggang kepada Tibra.

"Tibra, kamu merupakan salah satu anak yang paling beruntung di dunia ini Tibra. Masa depan kamu cerah, dan sekarang kamu akan bertunangan dengan anak salah satu petinggi di negeri ini. Kurang bersyukur apalagi hidup kamu. Keberuntungan kamu di depan mata, lihat adik-adik kamu, mereka tidak seberuntungan kamu. Dengan menikahi Helena, usaha kamu akan semakin berjaya, kamu bisa menguasai perekonomian di negeri ini," ucap ayah, ia ingin menyadarkan putra sulungnya.

"Jika kamu tidak menikahi Helena, kamu benar-benar tidak tahu diri,"

Ibu lalu menoleh ke arah ayah, dengan berkata seperti itu. Suaminya akan menyakiti hati Tibra.

"Ayah ...!" Ucap ibu.

Ibu memperingatkan suaminya, jangan berbicara seperti itu kepada Tibra. Baginya pembicaraan itu sangat sensitif terhadap Tibra.

Tibra menarik nafas, ia memandang ayahnya. Jujur ia sebagai anak menghormati ke dua orang tuanya. Bahkan jutaan terima kasih kepada mereka tidak cukup, untuk membalas pengorbanannya.

Selama ini mencoba membahagiakan kedua orang. Ayah sangat berjasa dalam kehidupannya, ayah telah memberinya banyak tenaga dan pikirannya agar dirinya menjadi anak yang sukses. Jujur ia memang tidak bisa melepaskan ke dua orang tuanya begitu saja. Kelemahannya adalah ke dua orang tuanya.

Masih teringat jelas di ingatannya, atas kesabaran ayahnya, ayah selalu menjawab semua keingitahuannya, ayah mengantarkannya ke sekolah setiap hari, ayah mengajarkannya berbagai sesama, dan masih banyak pengorbanan luar biasa yang ayah berikan kepadanya. Pengorbanan ayah untuk dirinya, tidak cukup ia sebutkan satu per satu. Ia berjanji kepada dirinya sendiri, akan membahagiakan ke dua orang tuanya hingga akhir hayat nanti.

PESONA CINTA CEO (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang