BAB 30

3.5K 147 0
                                    

Tibra menghentikan mobilnya tepat di depan gedung halaman gedung asrama Bina Mulya. Gedung itu berlantai tiga, dan cukup besar. Tibra melepas sabuk pengamannya, dan melirik Hanum.

"Apa alasan pihak yayasan, mewajibkan mahasiswanya asrama? Saya pikir adik kamu lebih aman, tinggal bersama kamu, jarak apartemen kamu dan asrama ini tidak terlalu jauh" ucap Tibra.

"Untuk satu tahun pertama memang di wajib kan asrama. Tujuannya tentu mendidik mahasiswanya menjadi perawat sejati, menghayati perannya sebagai perawat yang baik."

"Adanya asrama ini, mempercepat proses adaptasi dengan suasana belajar di perguruan tinggi, khususnya ilmu keperawatan. Serta mahasiswa dekat dengan lingkungan habitat belajarnya, pola hidupnya teratur, dan mampu belajar lebih baik. Saya tidak mengelak itu karena sudah ketentuan berlaku. Saya pikir Linggar cukup pantas di asrama ini, dia harus belajar mandiri,"

"Oke, itu hanya tanggapan kamu. Tidak untuk adik kamu. Saya merasa hidup adik kamu seperti terkurung disini, dan mungkin hilang rasa kebebasannya. Dia sudah tidak tahan lagi, akhirnya melarikan diri," ucap Tibra, ia melirik Hanum.

"Dan kamu, belajarlah tentang segala sesuatu, karena hidup itu seperti romantika yang harus di rangkul. Belajarlah untuk menerima tanggapan orang lain, baik untuk kamu, tapi belum tentu baik untuk dia. Saya yakin sebelumnya, adik kamu pasti mengatakan tidak betah di sini. Itu hanya dugaan saya saja," ucap Tibra, lalu membuka hendel pintu, dan melangkah keluar.

Sementara Hanum, hanya diam, ia mencerna kata-kata Tibra. Kata-kata itu benar adanya. Ada perasaan kesal ketika Tibra mengeluarkan kata-kata pedas untuk dirinya.

Tibra memandang Hanum, wanita itu masih duduk di dalam, sepertinya enggan menatap dirinya.

"Keluarlah, sampai kapan kamu akan berada di dalam," ucap Tibra.

Hanum lalu keluar beranjak dari duduknya. Ia lalu berdiri di samping Tibra.

"Sebaiknya kita segera ke dalam," ucap Tibra, ia meraih pergelangan tangan Hanum. Hanum menyeimbangi langkah Tibra.

Tibra mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan. Ia memandang beberapa wanita yang sedang duduk-duduk di sana. Wanita muda itu menyadari kehadiran Tibra dan Hanum, dan lalu menghampirinya. Tibra mengatakan ia akan bertemu dengan kepala asrama dan staff yang berjaga.

Hanum dan Tibra memilih duduk di ruang tamu, sementara menunggu kepala asrama. Suasana asrama tidak terlalu ramai, karena memang kamar mahasiswa terletak di lantai dua dan tiga, di lantai satu hanya terdapat perpustakaan kecil, lobby dan ruangan staff. Hanum melirik Tibra, laki-laki itu masih setia bersamanya, bahkan pakaian kerja itu masih terpasang sempurna di tubuhnya. Ia tahu Tibra tidak pulang ke rumah. Setidaknya di situasi seperti ini, masih ada yang peduli terhadap dirinya.

Hanum menunduk melihat jemarinya. Karena ia memang tidak sanggup lagi untuk melihat ke depan, ia tidak sanggup untuk berpura-pura tegar, nyatanya hatinya cukup rapuh. Ia kehilangan adik tercintanya, andai saja ia kemarin ia memenuhi permintaan Linggar, agar tidak tinggal di asrama, mungkin kejadiannya tidak seperti ini.

Ia bisa saja mengatakan kepada pihak yayasan, bahwa sang adik tidak bisa tinggal asrama, dengan alasan sakit tidak bisa tinggal dengan teman-teman sekamarnya. Linggar memang sangat mencintai kebersihan, tapi bukan terkena gangguan Obsessive Complusive Disorder (OCD). OCD itu sering berpusat pada suatu motif, misalnya takut kuman, atau kewajiban untuk mengatur benda-benda dalam pola tertentu. Ya, bisa di bilang Linggar mendekati OCD, entahlah adiknya itu memang seperti itu. Sekarang adiknya hilang, dan ia tidak tahu akan berbuat apa, selain meratapi penyesalan.

Tibra melirik Hanum, wanita itu hanya menunduk. Ia tahu wanita ini sedih, atas kehilangan adiknya. Tibra meraih jemari lentik itu, ia genggam agar menguatkan hati wanita ini.

PESONA CINTA CEO (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang