Jo memarkir mobilnya di salah basement apartemen taman anggrek. Di sinilah tempat tinggal Ririn, ia tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi pada wanita itu, hingga nekat untuk melakukan bunuh diri.
Jo berlari, menuju pintu lift. Ini merupakan keadaan darurat, ia hanya kasihan dengan wanita itu. Ririn wanita yang baik, cerdas, dan betapa bodohnya ia ingin melakukan bunuh diri seperti ini. Jo tahu betul dimana letak apartemen Ririn, ia dulu sering ke apartemen Ririn.
Beberapa menit kemudian, Jo sudah berada di depan pintu apartemen Ririn. Ia sudah hafal password ini, ia menekan nomor password itu. Seketika pintu terbuka, Jo melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Ia menatap Denada yang berdiri di dekat daun pintu yang tertutup rapat. Denada hanya sendiri disana.
"Jo," ucap Denada,
"Tolong, Ririn di dalam," ucap Denada.
Jo lalu melangkah mendekat, ia juga khawatir kepada Ririn. Jo mengetuk pintu, "Ririn, ini saya Jo," ucap Jo dengan suara mengeras, agar sang pemilik kamar mendengarnya.
"Ririn, ini saya Jo, tolong buka pintu kamar kamu,"
"Ririn, bisakah kita berbicara baik-baik," ucap Jo lagi, ia menggedor pintu itu dengan keras.
Tapi sang pemilik kamar tidak menjawab. Rasa cemas semakin kuat, ia tidak ingin semuanya terlambat, Jo memandang Denada, wanita itu menangis,
"Ririn, jika kamu tidak membuka pintu, saya akan mendobrak pintu ini,"
Lagi-lagi sang pemilik kamar tidak membuka pintu. Jo tidak mempunyai cara lain, selain mendobrak pintu itu. Jo menghitung dalam hati, hitungan ke tiga ia lalu menerjang pintu itu. Pintu itu masih kokoh, dan tidak ada tanda-tanda akan terbuka.
Jo mengerahkan seluruh tenaganya dan menerjang pintu itu sekali lagi. Seketika pintu terbuka, Jo tidak percaya apa yang dilihatnya, ia lalu dengan cepat meraih tubuh Ririn. Ririn baru saja menggantung lehernya, dan kursi itu sudah jatuh ke lantai.
Jo dengan cepat mendekati Ririn, ia lalu melepaskan ikatan yang melilit di leher wanita itu. Wajah Ririn sudah pucat pasi, serta mata itu bengkak. Jo memeluk tubuh ramping itu. Oh Tidak, apa yang sebenarnya terjadi pada wanita ini. Jika Ririn sudah melakukan ini, sudah pasti wanita itu frustasi.
"Oh, Tuhan apa yang terjadi pada kamu" ucap Jo, ia mengelus wajah Ririn.
"Ririn, kamu masih mendengar saya kan," ucap Jo.
Jo tahu bahwa Ririn masih sadar, wanita itu hanya menangis di pelukkanya.
Jo lalu membopong tubuh Ririn dan melangkah menuju ranjang. Denada hanya bisa menangis melihat sang adik seperti ini. Denada lalu keluar, ia tidak tega melihat apa yang terjadi pada Ririn, ia memberikan ruang privacy pada Ririn dan Jo.
Jo mengusap wajah Ririn secara perlahan. "Apa yang sebenarnya terjadi," ucap Jo.
"Jo, maafkan saya," ucap Ririn pelan, ia menangis kembali.
"Jo, dia tidak mencintai saya," isaknya lagi.
"Sudah tenangkan pikiran kamu," ucap Jo, berusaha menenangkan Ririn, dan lalu mengeratkan pelukkanya. Ia hanya ingin menenangkan Ririn.
"Tenang, kamu harus kuat. Saya tidak tahu apa yang terjadi, jika saudara kamu tidak menelfon saya. Kamu tenang oke, saya ada di sini bersama kamu," ucap Jo.
*******
"Saya tidak bisa menjemput kamu. Saya ada urusan mendadak, nanti saya akan cerita kepada kamu,"
Hanum membaca pesan singkat dari Jo, tidak biasanya Jo seperti ini. Hanum menarik nafas dan meneruskan langkahnya menuju lobby hotel. Hanum melirik Daniar, di depan meja counter receptionis. Sepeti biasa temannya itu sedang melayani tamu. Daniar juga memandangnya, wanita itu tersenyum kepadanya. Hanum lalu meneruskan langkahnya keluar dari lobby.
Hanum menghentikan langkahnya, ia memandang sepasang mata tajam. Ini sudah berganti bulan, dan sekarang ia bisa memandang mata tajam itu lagi. Semenjak laki-laki itu menyatakan pergi ke New York, ia tidak pernah berhubungan lagi dengan Tibra. Sekarang ia menemukan laki-laki itu lagi, entahlah ada rasa rindu menyelimuti hatinya. Ada rasa bahagia bertemu laki-laki itu lagi.
Hanya dengan tatapan, ia tahu bahwa laki-laki itu juga merindukannya. Mobil itu bergerak maju, mendekatinya tepat di depan pintu lobby hotel. Hanum memandang laki-laki itu berjalan mendekatinya dan membukakan pintu untuknya.
Hanum tidak tahu akan berbuat apa, yang pasti jantungnya tidak berhenti maraton. Ia tahu bahwa Tibra menyuruhnya masuk.
"Apakah kamu tidak merindukan saya," ucap Tibra, memandang iris mata Hanum.
"Ya, saya merindukan kamu," ucap Hanum, ia lalu masuk ke dalam mobil.
Sedetik kemudian, mobil meninggakan area hotel. Hanum melirik Tibra, jujur ini pertemuan kesekian kalinya, entah itu kebetulan atau tidak, Tibra menjemputnya tepat di mana Jo tidak datang.
Suasana mobil terasa hening, hanya deru nafas terdengar. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tibra melirik Hanum, wanita itu masih tetap cantik, jujur ia sudah merindukan wanita ini.
"Bagaimana keadaan kamu,"
"Baik, dan kamu?" Tanya Hanum.
"Ya, saya baik juga. Maaf kemarin saya baru pulang dari New York, saya sedikit lama di sana, karena ada urusan keluarga dan beberapa pekerjaan. Sekarang saya kembali, karena saya merindukan kamu,"
Hanum bahagia, ketika Tibra mengatakan itu kepadanya. Ia seperti sepasang kekasih yang sudah lama tidak bertemu. Oh Tuhan, ia bukan bermaksud untuk menyeleweng dari Jo, tapi beginilah adanya.
Hanum melirik Tibra, yang fokus dengan setir mobilnya. "Kamu sudah berapa lama menunggu saya disana?" Tanya Hanum.
"Dua jam yang lalu,"
"Kenapa awal sekali kamu menjemput saya,"
"saya hanya tidak ingin di dahului kekasih kamu," ucap Tibra.
Hanum memandang iris mata Tibra dan laki-laki itu membalas tatapannya.
"Saya ingin berdua denganmu," ucap Tibra.
******
KAMU SEDANG MEMBACA
PESONA CINTA CEO (SELESAI)
Romance"Kamu namanya Hanum?" Tanyanya. Hanum mengangguk, suara itu terdengar sexy. "Iya" ucap Hanum. "Saya, Jonatan, panggil saja Jo". Hanum mengerutkan dahi, masalahnya nama itu sedikit berbeda dari nama yang dibilang Sam, itu adalah Beny bukan Jonatan. ...