BAB 49

3.8K 150 1
                                    

"Saya telah menikah, dan ini istri saya," ucap Tibra.

Hanum lalu menoleh ke arah Tibra, ia tidak percaya bahwa Tibra berbicara cukup tenang seperti itu kepada ke dua orang tuanya.

Tibra memandang ke dua orang tuanya, ia juga dengan berani memandang iris mata ayah. Ayahnya lah yang menentang pernikahan ini. Beliau tidak bisa mempunyai pilihan lain selain menerima apa yang telah ia lakukan.

Tibra mengeluarkan sesuatu dari dibalik saku jasnya. Tibra memperlihatkan buku berukuran persegi, dengan gambar hologram berbentuk lingkaran berlambang garuda, ia letakkan di atas meja. Ia melakukan itu agar orang tuanya tahu bahwa dirinya telah resmi menikah di atas hukum dan agama.

Terlihat jelas wajah ketegangan ke dua orang tua Tibra. Sang ayah, tidak percaya apa yang di lakukan putra sulungnya, dengan berani menikah tanpa restu dirinya. Begitu juga sang ibu, beliau hanya bisa memijit kepalanya. Ada perasaan kecewa, melihat semua ini. Ibu memandang wanita di samping Tibra, begitu besarkah anaknya mencintai wanita itu. Hingga memutuskan menikah tanpa restu orang tua yang telah mendidikanya. Ia tahu bahwa Tibra hanya anak angkat, putra sulungnya ini bisa melakukan pernikahan ini dengan wali hakim. Tapi dirinyalah yang membesarkan Tibra, ia sudah menganggap Tibra anak kandungnya sendiri.

"Saya sudah menikah tanggal sembilan kemarin, tepat jam 12.00 siang. Pernikahan kami sangat sederhana. Saya melakukan ini, karena saya hanya ingin menikah dengan wanita yang saya cintai,"

Tibra menarik nafas, ia dan kembali memandang ke dua orang tuanya dengan tenang. Ia harus meminta restu secara baik-baik, bagaimanapun ke dua orang tuanya adalah orang yang paling ia sayangi di dunia ini. Ia tahu, bahwa menikah diam diam seperti ini, secara tidak langsung sudah melukai hati orang tuanya. Jadi sekarang, ia akan mengungkapkan semua apa yang ada di hatinya. Ia akan curahkan semua, bagi dirinya ke dua orang tuanya orang yang paling berjasa di dunia ini. Tibra menggenggam erat tangan Hanum, agar menguatkan hatinya.

"Hari ini saya duduk di hadapan orang yang paling berharga dalam hidup saya,"

"Saya ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya, atas pengrobanan ke dua orang tua saya,"

"Bagi saya ayah dan mama adalah orang tua terhebat yang pernah ada di dunia ini,"

"Saya meminta maaf kepada ayah, karena tidak bisa membalas semua jasanya,"

"Maaf, telah menyakiti hati ayah dan mama. Karena saya telah melakukan ini,"

"Saya juga minta maaf, jika ada kata-kata kasar yang telah melukai ayah dan mama. Maafkan saya atas apa yang telah saya lakukan,"

"Kemarin adalah pernikahan kami, ini adalah keputusan besar yang saya buat. Karena saya sudah tidak tahan lagi, saya tidak menikah di bawah tangan orang tua yang telah membesarkan saya. Saya minta maaf,"

"Saya tahu, secara tidak langsung, saya telah menyakiti hati ke dua orang tua, yang saya cintai di dunia ini,"

"Maafkan saya, ayah," ucap Tibra lirih.

"Perasaan baru kemarin saya masih diajarkan memakai sepeda oleh ayah, dan saya dijemput sekolah oleh mama. Saya juga teringat, ketika saya di gendong oleh ayah, kita berlibur ke pantai. Teringat jelas bagaimana ayah memeluk saya, mama mencium saya. Hingga beranjak remaja, tingkah laku saya yang menjengkelkan, tapi ayah dan mama tidak pernah sekalipun memarahi kenakalan saya. Justru ayah selalu menyemangati saya, agar terus melangkah maju. Membela saya di depan teman-teman saya, hingga keperluan saya semua terpenuhi," ucap Tibra parau, ia tidak kuasa menahan isak tangisnya.

"Ayah dan mama, begitu sabar, begitu tegar merawat saya. Mungkin ayah dan mama tidak bisa tidur nyenyak, ketika saya sakit, mengkhawatirkan saya,"

"Di saat saya sakit lemah tak berdaya, ayah dan mama menjaga saya dengan penuh cemas dan harap. Bahkan tidak rela, seekor nyamuk pun hinggap di tubuh saya,"

"Terima kasih telah merawat saya dengan penuh kasih sayang, telah di berikan pendidikan yang baik, memberikan fasilitas yang terbaik, terima kasih telah mencintai saya. Semua kasih sayang tulus, ikhlas dan hingga saat ini. Saya merasakan hangatnya kasih sayang yang begitu besar dari ayah dan mama,"

"Hingga saat ini saya tidak tahu lagi, seberapa besar pengorbanan ayah dan mama, terhadap saya,"

"Ayah ampunkanlah kesalahan saya, sayangi saya bagaimana menyayangi saya sewaktu kecil,"

"Saat ini saya hanya meminta restu kepada ayah dan mama. Saya akan menjalani kehidupan baru dengan wanita yang saya cintai,"

"Apakah ayah dan mama tahu, saya selalu berdoa kepada Tuhan, agar kedua orang tua saya, di limpahkan kesehatan dan membahagiakannya,"

"Ayah dan mama tercinta, pada hari ini saya ingin mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya. Ijinkan saya mengarungi bahtera rumah tangga saya dengan wanita yang saya cintai,"

"Semoga kesediaan ayah dan mama, memaafkan saya. Karena ayah dan mama adalah sumber kebahagian saya. Saya hanyalah seorang anak yang nakal, yang sering khilaf dan berbuat salah. Ini merupakan untaian kata yang mampu menguatkan jiwa saya,"

"Bahkan kata-kata saya tidak cukup untuk mengungkapkan hati saya seperti apa. Mohon bimbing saya menjalani hidup ini,"

"Saya tidak minta apa-apa dari ayah dan mama. Saya di sini hanya minta restu, dari ke dua orang tua saya yang saya kasihi," ucap Tibra, ia lalu mengusap air matanya dengan jemarinya.

Hanum tidak kuasa menahan isak tangis. Begitu juga dengan sang ibu, ibu menangis mendengar kata-kata tulus putra sulungnya. Tidak ada yang lebih bahagia mendengar penuturan anak seperti ini. Ia merasa bangga telah mendengar semua isi hati putra sulungnya. Ke dua putra kandungnya, tidak pernah sekalipun berkata seperti itu terhadap dirinya. Ibu tidak kuasa lagi menahan air matanya.

Beliau lalu melangkah mendekati putra sulungnya, ia duduk di samping Tibra dan ia peluk putra sulungnya ini. Tibra membalas pelukkan sang ibu, ia menangis dalam diam.

"Mama bangga memiliki anak seperti kamu. Tidak ada yang lebih bahagia, melihat putranya menikah dengan wanita yang ia cintai," ibu melonggarkan pelukkanya, ia memandang iris mata itu.

"Jika kamu bahagia, ibu juga ikut bahagia sayang,"

"Kamu sudah dewasa, kamu tahu yang terbaik buat kamu," ucap ibu.

"Mama merestui kamu," ucap ibu.

Sementara ayah, menahan tangisnya. Ia bahagia mendengar penuturan tulus putranya. Ia tidak sia-sia memiliki anak seperti Tibra. Tibra anak yang ia banggakan, dan menjadikan dirinya orang tua terhebat. Sungguh ia terhenyuh mendengar isi hati putranya. Tidak ada orang tua yang tega, menghancurkan kebahagian seorang anak. Sang ayah hanya melihat, ibu dan anak, berbicara dari hati ke hati. Beliau juga melirik wanita di samping putra nya, wanita sederhana inilah yang di cintai Tibra. Ia tidak mungkin membiarkan putranya menderita, dan tentu saja ia merestui hubungan ini.

*********

PESONA CINTA CEO (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang