BAB 44

3.3K 137 0
                                    

Hanum mengikuti langkah Tibra dari belakang. Ia tidak tahu Tibra akan membawanya kemana malam-malam begini. Hanum terdiam menghentikan langkahnya ketika di depan mobil berwarna hitam itu. Ada yang tidak beres di sini, Hanum melirik Tibra. Ia tidak ingin naik mobil itu, sebelum ada kejelasan darinya.

"Kita akan kemana?" Tanya Hanum.

Tibra membuka hendel pintu, dan menyuruh Hanum masuk ke dalam.

"Masuklah, nanti kamu akan tahu," ucap Tibra.

"Saya tidak akan masuk, sebelum kamu memberitahu, kemana arah tujuan kamu," ucap Hanum.

Masalahnya terlihat jelas laki-laki itu akan bertindak yang tidak ia inginkan.

"Saya bilang masuk Hanum, !" ucap Tibra keras.

"Apakah kamu pikir saya wanita bodoh. Kamu membawa saya malam-malam begini, dengan tujuan yang tidak jelas. Jangan harap saya mau mengikuti mau kamu," ucap Hanum, ia lalu memutar tubuhnya dan akan kembali ke apartemennya. Ia tidak ingin berlama-lama, dengan laki-laki menyeramkan itu.

Tibra dengan cepat melangkah mendekati Hanum. Ia tidak peduli wanita itu memberontak dan marah. Ia mencekal lengan Hanum, dan ia membawa wanita itu masuk ke dalam mobilnya.

Betapa terkejutnya Hanum, ketika tangan Tibra, mencekal tangannya dengan erat. Menyeretnya kembali menuju mobil, Hanum berusaha melepas cekalan tangan itu, tapi melihat rahang itu mengeras, ia lalu masuk ke dalam begitu saja. Laki-laki itu sangat menyeramkan.

Hanum menarik nafas dalam-dalam, ia hanya bisa menggeram dalam hati. Sedetik kemudian, Tibra meninggalkan area gedung apartemen. Hanum mengibas rambutnya, ia semakin gila melihat ini. Ia tidak suka prilaku Tibra yang seolah-olah dirinya berkuasa. Hanum menyandarkan punggungnya, dan melirik Tibra. Laki-laki itu masih fokus dengan setir mobilnya.

Hanum mencoba tenang, ia meraba saku celana jinsnya. Tadi ia diam-diam, menyelipkan ponsel di saku jinsnya. Hanum merasa lega, karena sewaktu-waktu jika nyawanya terancam, maka ia bisa menghubungi salah satu temannya. Ia hanya mengikuti instingnya, sekarang ia merasa tidak aman.

Beberapa menit kemudian, ia telah tiba di gedung apartemen Dharmawangsa. Tibra memarkir mobilnya di parkiran itu. Hanum teringat, dulu ia pernah mengantar laki-laki ini ke sini, ketika ia menyelematkan laki-laki itu di Bar.

"Ngapain kita disini," ucap Hanum, ia melepas sabuk pengamannya.

Tibra tidak menjawab pertanyaanya, ia malah keluar dari mobil. Lihatlah laki-laki itu tidak menjawab pertanyaanya, malah keluar begitu saja. Laki-laki itu benar-benar tuli.

Hanum keluar sebelum sang pemilik mobil, menariknya paksa seperti tadi. Tibra mendekati Hanum, ia meraih jemari itu. Ia tidak ingin Hanum mencoba kabur seperti tadi. Ia menarik erat tangan itu, masuk ke gedung apartemennya.

Hanum menyeimbangi langkah Tibra, tanpa bertanya apapun. Percuma ia bertanya kepada laki-laki sinting ini. Laki-laki ini pasti tidak akan menjawabnya. Ketika di lift tadi, ia ingin sekali melepaskan cekatan tangan itu, tapi apa daya. Tibra semakin mengeratkan cekalannya.

Tibra membuka pintu untuknya, dan menyuruhnya masuk. Hanum dengan terpaksa masuk ke dalam ruangan itu. Hanum mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan. Ruangan itu di dominasi warna abu-abu gelap. Henum melirik Tibra, laki-laki itu sedang mengunci pintu.

"Kenapa saya ada di sini," ucap Hanum.

Tibra membuka jasnya, ia letakkan begitu saja di sofa. "Istirahat lah,"

"Tibra, saya tidak mengerti tindakkan kamu seperti ini. Apa yang akan kamu lakukan sebenarnya," ucap Hanum.

"Apakah kamu ingin tahu apa yang akan saya lakukan," ucap Tibra, ia melangkah mendekati Hanum.

Hanum bergedik ngeri, Tibra melangkah mendekatinya. Wajah itu tanpa senyum, dan oke, laki-laki itu mendekat seakan ingin membunuhnya. Otomatis tubuhnya melangkah ke belakang, menghindari Tibra. Sialnya, terhalang oleh dinding, laki-laki itu malah mengurungnya.

"Untuk apa kamu membawa saya ke sini," tanya Hanum sekali lagi, ia menghindari tatapan mata itu.

"Kamu akan tahu nanti," ucap Tibra.

Jantung Hanum berdegup kencang, karena posisi Tibra begitu dekat dengannya. Padahal ini sudah kesekian kalinya, laki-laki itu seperti ini. Tapi entahlah perasaan ini begitu berbeda, karena ia begitu takut.

Tangan kiri Tibra lalu meraba paha kiri Hanum. Ia dengan cepat mengambil ponsel wanita itu. Ia tidak percaya Tibra begitu jeli, bahwa dirinya membawa ponsel. Ponsel itu sudah beralih di tangan Tibra.

"Kembalikan ponsel saya," ucap Hanum.

Ini sudah keterlaluan, ponsel itu miliknya, dan dirinya punya hak atas ponselnya sendiri.

Tibra melangkah menjauhi Hanum, ia berjalan menuju meja, ia mulai memeriksa ponsel itu, ia dengan cepat meng up grede, ponsel berukuran 5 inchi itu.

Hanum tidak percaya apa yang dilakukan Tibra. Oh Tuhan, apa yang di lakukan dengan laki-laki gila ini. Ini sudah tidak bisa ia biarkan, laki-laki itu begitu licik.

Setelah semuanya selesai, Tibra lalu melangkah menuju kamar pribadinya. Hanum dengan cepat mengambil ponselnya di meja, ia memeriksa apa yang terjadi pada ponselnya. Hanum hampir gila melihat apa yang di lakukan laki-laki sinting itu terhadap ponselnya. Ponselnya memang tidak terjadi apa-apa, tapi lihatlah laki-laki itu membuat ponselnya bersih seperti ia membeli baru lagi.

Hanum mengibas rambutnya, ia bahkan sulit percaya apa yang laki-laki itu lakukan, suasana menjadi gerah. Ia melihat Tibra keluar dari kamar, laki-laki itu sudah berganti baju, jaket kulit itu terpasang sempurna di tubuhnya.

"Saya akan keluar, jaga diri kamu baik-baik," ucap Tibra, laki-laki itu melangkah melewati Hanum.

Hanum masih sulit mengerti, laki-laki itu membawanya ke sini, setelah itu memformat ponselnya, dan laki-laki itu akan pergi meninggalkannya begitu saja.

"Kamu benar-benar sinting, apa yang kamu lakukan dengan ponsel saya, Hah, !" teriak Hanum, berjalan mendekati Tibra yang sudah ada di ambang pintu.

Tibra menghentikan langkahnya dan melirik Hanum. "Agar kamu tidak bisa menghubungi siapapun di sana,"

"Oh Tuhan, kamu benar-benar gila, kamu mengurung saya di sini. Sementara kamu pergi begitu saja meninggalkan saya," ucap Hanum.

"Besok saya akan kembali lagi," ucap Tibra, ia lalu melangkah meninggalkan Hanum begitu saja.

Hanum melihat pintu itu tertutup rapat. Hanum lalu dengan cepat membuka hendel pintu. Tapi apa yang terjadi, ternyata Tibra menguncinya. Sial, ia malah terkurung di sini, Hanum dengan kesal memukul pintu dengan emosi ia menendang daun pintu. Tapi percuma, kusen pintu itu berdiri kokoh, tidak memungkinkan ia bisa membuka pintu itu begitu saja.

"Brengsek !" Timpal Hanum kesal.

Hanum mengibas rambutnya, ia harus mencari cara agar bisa keluar dari apartemen ini. Hanum lalu membuka jaket yang ia kenakan, ia letakkan begitu saja di sisi sofa.

Hanum mengambil ponselnya di meja, ia lalu duduk di sofa. Tibra benar-benar membuatnya menderita di sini. Apa yang sebenarnya laki-laki itu inginkan. Hanum menatap layar ponsel, ia melihat apa yang terjadi. Oh sial, kartu GSM nya ternyata di ambil oleh laki-laki brengsek itu. Ponsel pintar itu sudah seperti barang yang tidak berguna.

Hanum melirik jam yang menggantung di dinding, menunjukkan pukul 23.30 menit. Hanum menegakkan tubuhnya mencari cara agar bisa keluar dari tempat ini.

Hanum berjalan menuju pantri, ia membuka satu persatu lemari kabinet. Tidak ada yang aneh di sana, ia hanya melihat beberapa gelas dan piring yang tersusun rapi. Hanum membuka chiller, ia memandang apa isi dalam lemari es tersebut. Ia melihat beberapa makanan kaleng, buah segar, susu kemasan dan, serta beberapa botol bir. Setidaknya ia disini tidak mati kelaparan.

Hanum melirik pisau lipat yang menggantung di dekat lemari kabinet. Ia mengerutkan dahi, ia mengambil pisau itu dan ia membuka lipatannya Hanya sebuah pisau kecil dan ia merasa pisau itu bisa berguna nantinya.

Hanum berjalan menyelusuri, setiap bagian sudut apartemen Tibra. Hanum menyibak gorden yang tertutup rapat. Ia memandang kota Jakarta dari ketinggian seperti ini. Hanum lalu duduk di sofa, pisau itu ia selipkan di bawah bantal, suatu saat inilah senjata pertahanannya.

********

PESONA CINTA CEO (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang