Hanum membuka matanya secara perlahan. Ia melihat cahaya menerpa wajahnya. Hanum lalu merenggangkan ototnya. Hanum sadar ternyata dirinya telah tidur di sofa. Ia tahu bahwa dirinya masih di apartemen Tibra. Hanum menegakkan tubuhnya, ia lalu berjalan menuju kamar mandi, ia perlu mencuci wajahnya.
Setelah dari kamar mandi, Hanum mencoba mencari air mineral. Jujur tenggorokannya kering, Hanum berjalan menuju pantri, ia mengambil botol air mineral di sana. Di ambilnya gelas di lemari kabinet. Hanum menuangkan air mineral itu di dalam gelas. Ia teguk air mineral itu hingga habis tak tersisa.
Hanum kembali berpikir, ia harus mencari cara agar keluar dari apartemen ini. Hanum lalu melangkah mengambil poselnya di sofa. Ia yakin ponselnya akan berguna. Apartemen ini begitu mewah, sangat mustahil jika Tibra tidak memasang wifi, Hanum, harus mencari laptop, komputer, ipad, milik laki-laki itu.
Hanum lalu berjalan menuju kamar utama. Ia yakin Tibra menyimpannya di sana. Laki-laki sekelas Tibra, tidak mungkin memiliki benda sepenting itu. Hanum berjalan menuju kamar utama, ia yakin kamar ini adalah kamar Tibra.
Hanum mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan. Ruangan ini tidak lebih dari ruang utama tadi, kamar ini di dominasi warna abu-abu gelap. Kamar ini begitu luas menurutnya, karena hanya terdapat tempat tidur dan sofa. Tidak ada tanda-tanda laki-laki itu menyimpan benda sejenis itu di kamar ini, selain Tv flat itu.
Hanum menutup pintu itu kembali, ia akan mencari ruang kerja laki-laki. Ia yakin laki-laki itu menyimpannya di sana. Hanum menyisiri satu persatu, ruangan. Hanum membuka ruangan yang letaknya sedikit jauh dari ruang utama. Ia yakin ruangan itu adalah ruang kerja Tibra.
Hanum membuka hendel pintu itu, dan ia terpana. Benar dugaannya ternyata di sinilah ruang kerja Tibra. Ia tersenyum memandang sebuah komputer, yang ada di sana. Hanum dengan cepat menghidupkan power CPU, ia duduk di kursi itu. Ia bersyukur bahwa ia menemukan benda ini. Jika tidak bisa menelfon, setidaknya ia bisa mengirim email pada Sam. Ia tahu, bahwa Sam selalu mengecek email nya setiap hari, karena laki-laki itu selalu mendapat laporan dari instansi pemerintah, kepengurusan izin perusahaan, dan asuransi kesehatan. Hanum menatap layar komputer, ia tersenyum, ternyata Tibra tidak mengunci komputer itu.
Hanum dengan cepat membuka google crome, ia mengklik layanan Gmail. Ia lalu masuk ke dalam akun, ia hafal alamat emailnya. Ia tidak bisa menunda waktu lagi, ia membutuhkan pertolongan Sam sekarang. Ia mulai mengetik.
"Sam, tolong jemput saya. Saya berada di apartemen Dharmawangsa, nomor 2505. Saya butuh pertolongan kamu. Ponsel saya hilang, dan saya ingin keluar dari apartemen ini, jangan tanya kenapa saya bisa berada di sini"
Setelah mengirim email itu, Hanum dengan cepat mematikan komputer. Ia tidak ingin sang pemilik apartemen mengetahui, jika laki-laki itu tahu, habis sudah riwayatnya disini.
Beberapa menit kemudian, ia lalu duduk di dekat estalase kaca. Ia bersandar, sambil memakan buah apel. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan seorang diri disini. Ia sama sekali tidak berminat menonton Tv. Hanum melirik jam menggantung di dinding, menunjukkan pukul 10.30 menit. Hanum mendengar suara pintu terbuka, ia dengan cepat berjalan mendekati pintu.
Hanum menelan ludah, ia memandang Tibra. Ternyata laki-laki itulah yang datang. Laki-laki itu mengenakan kemeja hitam serta celana jins berwarna senada. Laki-laki itu membawa paper bag, berwarna putih di tangannya. Laki-laki itu masih tetap sama, tidak ada tanda-tanda laki-laki itu akan mencair. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, selain mematung di tempat. Rasa takutnya semakin jadi, ia mencengkeram erat sudut bajunya, agar menenangkan hatinya.
"Apakah kamu menunggu seseorang," ucap Tibra dingin. Ia memicingkan matanya dan mulai mencurigai wanita di hadapannya.
Hanum hanya diam, keringat dingin keluar dari pelipisnya. Sedetik kemudian, suara bell terdengar. Tibra lalu menoleh ke arah pintu. Hanum memejamkan mata, ia berdoa agar yang menekan bell itu bukanlah Sam. Ia tidak ingin Sam terluka jika berhadapan dengan Tibra.
Tanpa keraguan Tibra membuka hendel pintu, ia mengerutkan dahi. Ia memandang laki-laki itu di hadapannya. Ia lalu menoleh ke arah Hanum. Ia tahu bahwa wanitanya menghubungi salah satu temannya.
Sam tidak kalah terkejutnya, ternyata yang membukakan pintu itu adalah atasannya. Tadi ia menerima email dari Hanum, bahwa sahabatnya itu meminta bantuannya, untuk menjemputnya di apartemen ini. Setibanya di kantor, ia menuju kesini. Betapa terkejutnya ternyata, Ia mendapati atasannya tepat di hadapannya.
"Saya, mencari Hanum," ucap Sam pelan, jujur ia juga takut berhadapan dengan atasannya ini.
"Sam, " ucap Hanum, ia berjalan mendekati daun pintu.
"Jangan berharap kamu bisa keluar," ucap Tibra geram.
Rahang Tibra mengeras, dengan cepat mencekal lengan Hanum dan mendorongnya ke belakang. Tibra mengepalkan tangannya, dan melayangkan tinjuan di wajah Sam.
"Buk"
Terdengar jelas suara tinjuan maut dari tangan kokoh Tibra. Tubuh Sam tersungkur. Tibra berjalan mendekati tubuh Sam, ia akan memeberi peringatan untuk karyawannya ini.
"Jika kamu mencampuri urusan saya dan Hanum. Saya tidak segan-segan memecat kamu," ucap Tibra.
Tibra menegakkan tubuhnya, membiarkan Sam yang meringis kesakitan. Ia tidak peduli bahwa wanita ini terluka. Tibra menutup pintu apartemennya dan kembali memandang Hanum.
"Kamu menghubungi teman kamu itu," ucap Tibra.
"Bagaimana kamu bisa menghubunginya, bukankah ponsel kamu sudah tidak berguna lagi," ucap Tibra.
Tibra melirik ke sudut ruangan. Ia lalu menyunggingkan bibir, ia tahu dari mana wanita menghubungi sahabatnya.
"Bisakah kamu bisa menunggu sebentar saja, saya mengurusi semua keperluan saya dan kamu. Ternyata kamu masih tidak mengikuti perintah saya," ucap Tibra geram.
Hanum bergerak mundur, terlihat jelas, laki-laki itu marah atas tindakkanya. Tibra semakin dekat ke arahnya. Hanum dengan cepat menghindar dan ia lalu berjalan menuju sofa. Tibra mencekal tangannya, terlihat jelas wajah itu begitu emosi atas tindakkanya menghubungi Sam.
"Saya tidak segan-segan untuk memecat teman kamu, ingat itu,"
"Tolong jangan lakukan itu, sayalah yang bersalah. Saya hanya ingin keluar dari tempat ini," ucap Hanum, bibirnya bergetar, karena rasa takut yang berlebihan terhadap laki-laki itu.
"Apa yang akan kamu lakukan terhadap saya. Lepaskan saya, saya tidak bisa bersama kamu," ucap Hanum.
"Kamu tidak bisa lepas dari saya," ucap Tibra semakin mendekat, ia memegang wajah Hanum.
Hanum dengan cepat mengambil pisau lipat yang ia selipkan di dekat bantal. Ia mengambil dengan tangan kirinya. Ia lalu menyodorkan pisau itu di tubuh Tibra.
"Lepaskan tangan kamu," ucap Hanum, ia memperlihatkan pisau itu di hadapan Tibra.
Tibra memandang pisau itu di tangan Hanum. Tibra meraih tangan Hanum, dan ia letakkan pisau itu di dada kirinya.
"Jika kamu ingin membunuh saya, bunuh saya di sini," ucap Tibra, mengeras. Ia semakin mendekatkan belati itu di dada kirinya.
Ia memang sudah tidak tahan dengan hatinya. Wanita inilah yang menyebabkannya seperti ini. Ia sudah lelah memikirkan ini semua.
"Kamu ingin menusuk saya disini,!" Ucap Tibra keras.
Tangan Hanum bergetar. Ia tidak bisa melakukan ini, ia tidak bisa seperti ini. Air matanya tiba-tiba jatuh dengan sendirnya.
"Kenapa kamu masih tidak melakukannya," ucap Tibra.
Hanum dengan cepat melepaskan pisau itu dari genggamannya. Pisau lipat itu, ia lemparkan begitu saja di lantai. Hanum berusaha melepaskan diri dari cengkraman Tibra. Nyatanya ia tidak berani untuk melukai laki-laki di hadapannya ini. Ia lalu memeluk Tibra, ia manangis di pelukkan laki-laki menyeramkan ini. Tangisnya semakin jadi ketika Tibra membalas pelukkanya.
********
KAMU SEDANG MEMBACA
PESONA CINTA CEO (SELESAI)
Romance"Kamu namanya Hanum?" Tanyanya. Hanum mengangguk, suara itu terdengar sexy. "Iya" ucap Hanum. "Saya, Jonatan, panggil saja Jo". Hanum mengerutkan dahi, masalahnya nama itu sedikit berbeda dari nama yang dibilang Sam, itu adalah Beny bukan Jonatan. ...