BAB 33

3.2K 133 0
                                    

"Benarkah?"

"Kamu sudah menemukannya," ucap Hanum, dan mencoba memastikan lagi ucapan Tibra.

"Ya tentu saja,"

Hanum melangkah mendekat dan lalu tersenyum memandang Tibra. Ia memeluk tubuh Tibra, di peluknya dengan suka cita. Ia tidak bisa memungkiri, tidak ada yang lebih bahagia mendengar adiknya telah ditemukan. Tibra membalas pelukan Hanum, di berinya kecupan di puncak kepala itu. Sedetik kemudian Hanum melepas pelukkannya. Di lihatnya iris mata Hanum.

"Di mana Linggar berada?" Tanya Hanum.

Tibra mengusap rambut lurus Hanun, "Dia ada di New York," ucap Tibra.

Hanum mengerutkan dahi, "New York?"

"Ya,"

Hanum tidak percaya bahwa adiknya melarikan diri sejauh itu. Apakah adiknya gila, pergi sejauh itu seorang diri. Ia masih sulit percaya, dari mana adiknya bisa pergi sejauh itu, bukankah adiknya harus membuat visa, paspor, dan dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu untuk pergi ke New York. Itu sama sekali tidak mungkin, menurutnya.

"Dari mana kamu tahu?" Tanya Hanum, lalu melepaskan pelukannya.

"Kamu tidak perlu tahu, dari mana saya menemukannya, yang pasti dia ada di New York, bersama laki-lakinya yang bernama Darka," ucap Tibra.

Hanum menghela nafas panjang, ia lalu memilih duduk di sofa. Ia mencoba mempercayai ucapan Tibra. Ia tahu bahwa Tibra mendapatkan informasi itu dengan mudah. Adiknya ini sungguh keterlaluan dan ia masih sulit percaya atas tindakkan Linggar, memilih melarikan diri seperti itu, terlebih laki-laki yang baru di kenalnya.

Tibra melihat Hanum, terlihat jelas wajah cantik itu cemas yang teramat sangat. Tibra memilih duduk di samping Hanum.

"Kamu masih mengkhawatirkannya," Tanya Tibra, ia memegang pundak Hanum.

"Ya, tentu saja. Bagaimana jika Darka bukan orang baik?"

"Saya pikir dia laki-laki baik, apakah kamu tahu, laki-laki yang bernama Darka itu adalah salah satu mantan artis ternama, yaitu Jenar,"

"Oh ya !,"

"Ya, tapi saya tidak tahu pasti, itu hanya informasi yang saya dapat. Apa yang kamu pikirkan, adik kamu sudah saya temukan,"

Hanum memandang Tibra, dan mengibas rambutnya, "Bagaimana saya bisa tenang sementara Linggar masih polos seperti itu, untuk pergi ke New York seorang diri. Siapa yang dia kenal di sana. Jelaskan kepada saya, bagaimana kita bisa mencarinya? bagaimana jika Linggar tidak ada di sana?".

Tibra memegang dagu Hanum, ia memandang iris mata itu,

"Jangan berpikiran seperti itu, yakin sama saya, adik kamu yang nakal itu, pasti bersama laki-laki bernama Darka,"

"Bagaimana kita bisa mencari Darka di sana?,"

"Sudahlah, kamu jangan bertanya seperti itu lagi. Saya terlalu lelah menjawabnya, kita bisa ke KBRI di New York, saya yakin staff KBRI mengenal Darka, karena laki-laki itu cukup lama tinggal di New York, pasti dia sering bolak balik mengurus dokumen-dokumennya di sana, dan kita bisa saja ke tempat kerja laki-laki itu, itu sangat mudah. Saat ini, yakinkan kamu, akan ke New York atau tidak,"

Hanum mengangguk dan memahami ucapan Tibra, ia memang tidak berpikir sejauh itu, karena ia terlalu panik, "Ya, saya akan ke sana, saya pikir tabungan saya masih ada, dari penjualan mobil saya kemarin," ucap Hanum.

Dalam keadaan seperti ini, Hanum masih memikirkan status keuangannya, padahal biaya perjalanan itu, semua dia yang menanggung. Hanum memang bukan jenis wanita tergantung dengan orang lain.

"Saya tidak ada visa. Jujur saya sama sekali tidak tahu, cara membuatnya seperti apa," ucap Hanum.

Tibra mengelus wajah cantik Hanum. Inilah yang ia harapkan, pergi berdua dengan wanita pilihannya.

"Apakah kamu ada paspor?"

"Ada," ucap Hanum.

"Oke, besok kita mengurus visa ke kedutaan Amrika,"

Hanum memandang iris mata tajam itu, bersama Tibra semua terasa begitu mudah. Laki-laki itu seakan tahu apa yang harus ia lakukan.

"Terima kasih, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, jika tidak ada kamu," ucap Hanum, ia mengucapkan terima kasih kepada laki-laki ini dengan tulus.

"Sudah seharusnya saya menolong kamu,"

Hanum melirik boneka kecil dan bunga di meja, "kamu membawakan bunga dan boneka untuk saya," ucap Hanum.

"Ya, tadi saya menyuruh Dian membelikannya. Itu memang untuk kamu, agar kamu tidak terus-terusan bersedih atas kehilangan adik kamu,"

Hanum tersenyum, dan ia mengambil boneka kecil itu, bulu-bulu halus boneka itu begitu lembut,

"terima kasih saya suka, atas usaha kamu untuk menghibur saya,"

Tibra menoel hidup Hanum dan ia tersenyum, ia bahagia melihat senyum cantik itu.

"Berapa lama kita akan di New York?" Tanya Hanum, ia lalu mengalungkan tangannya di leher Tibra.

"Sampai kita menemukan adik kamu,"

"Bagaimana dengan kerjaan saya?"

"Resign dan kerja di tempat saya, mungkin,"

Hanum kembali tertawa, ia senang mendengar tawaran itu, "posisi apa yang ingin tawarkan terhadap saya,"

"Saat ini saya mencari asisten pribadi, yang bertugas mengurusi keperluan saya sehari-hari, memasakkan untuk saya, dan menemani saya tidur,"

"Saya pikir itu bukan tugas asisten pribadi, melainkan mencari Istri,"

Tibra tersenyum, dan lalu tertawa, ia kembali mengelus rambut lurus itu, "Saya hanya bercanda,"

Tibra senang sekali bisa sedekat ini dengan Hanum, ia bahagia wanita itu memeluknya seperti ini. Tidak ada yang lebih bahagia, walau hanya sekedar berbicara berdua, baginya ini sangat menyenangkan.

"Apakah kamu sudah makan?" Tanya Hanum.

"Belum,"

"Saya akan memasakkan untuk kamu, kalau begitu,"

"Jangan,"

"Apakah masakan saya tidak enak," ucap Hanum.

"Bukan begitu, saat ini saya ingin mengajak kamu nonton bioskop, dan kita makan di luar saja,"

"Kamu mengajak saya berkencan?"

"Ya, bisa di bilang begitu. Saya akan mengajak kamu bersenang-senang malam ini,"

Hanum tertawa dan ia lalu mengecup pipi kiri Tibra, dan sedetik kemudian ia lepas lagi kecupan itu. "Saya tidak menolak ajakkan kamu,"

Tibra merasakan bibir lembut Hanum mendarat di pipinya, hanya sebuah kecupan yang menyenangkan. Tibra juga mengecup bibir Hanum, karena ini masih terlalu sore untuk mengecup bibir itu dengan kecupan yang panjang. Ia pasti akan melakukan itu setelah bersenang-senang dan mungkin ia akan melakukannya di bioskop nanti. Ia tidak ingin wanita itu akan berpikiran yang tidak-tidak jika ia melakukan itu saat ini juga.

Tibra melepaskan kecupan itu, ia tersenyum dan meraih jemari lentik Hanum. "Mari kita pergi,"

"Iya,"

********

PESONA CINTA CEO (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang