BAB 10

3K 71 0
                                    

Arin seperti mimpi, ia benar-benar seperti mimpi. Ini pertama kalinya ia menerima pernyataan laki-laki. Arin tidak tahu kenapa ia bisa menerima laki-laki itu. Padahal ini merupakan hari ketiga pertemuaanya. Sungguh diluar kendalinya, Rafa seperti magnet tersendiri untuknya.

Arin hanya diam, ketika Rafa memberinya handuk, dan disampirkan kepundaknya.

"Kamu pasti kedinginan" ucap Rafa.

Rafa tersenyum, begitu mudahnya ia mendapatkan hati Arin, Arin segelintir wanita yang mudah ia dapatkan. Ia tidak akan mencium wanita itu lagi. Rafa tahu, Arin mungkin masih syhock atas ciuman yang berlangsung beberapa menit yang lalu. Rafa tersenyum, di tatapnya lagi wajah cantik itu.

"Sebaiknya kita segera kembali, saya takut kamu kedinginan".

"Iya" ucap Arin pelan.

Arin mengikuti langkah Rafa, Rafa masih menggengam tangannya. Tangan hangat itu menyentuh jemari-jemarinya. Arin membalas genggaman itu.

Ketika di depan kamar, Rafa membukakan pintu untuknya. "Kamu sebaiknya mandi dan ganti baju".

"Iya".

"Terima kasih telah menerima saya".

Arin tidak berkata-kata lagi, ia lalu masuk ke dalam kamar, dan ditutupnya pintu itu tanpa peduli keberadaanya. Sementara Rafa tersenyum dan tertawa melihat tingkah Arin yang canggung.

******

Celana jins hitam menjadi pilihannya kali ini, serta singlet berwarna senada dipadukan dengan cardigan lembut. Arin mengikat rambutnya seperti ekor kuda. Ia menatap penampilannya di cermin. Ia masih merasakan bibir Rafa dipermukaan bibirnya. Ini merupakan pertama kalinya ia merasakan sentuhan laki-laki, laki-laki itu adalah Rafa. Rafa orang pertama yang berani menciumnya. Arin lalu berjalan mengambil air minum di teko, dan lalu ia tuangkan di gelas. Ia lalu meneguknya hingga tak tersisa. Arin lalu duduk disofa. Ia menenangkan pikirannya.

Diliriknya jam didinding, masih menunjukkan pukul 16.00 sore. Arin melangkah ketempat tidur, sebaiknya ia berbaring saja, dari pada memikirkan Rafa. Arin merebahkan tubuhnya ditempat tidur.

Semenit kemudian, Rafa datang membuka pintu. Rafa begitu tampan, ia mengenakan kemeja hitam serta celana jins hitam. Rafa tanpa canggung lalu ikut menyadarkan tubuhnya di sisi Arin.

Rafa menyentuh kening Arin, ia takut Arin demam karena ulahnya tadi. Rafa merubah posisi tidurnya menyamping menatap Arin. Arin membalas tatapannya.

"Bagaimana nanti malamnya, kita ke sky garden diatas, tempatnya terlihat menarik".

"Iya" ucap Arin.

Arin menyentuh rahang tegas Rafa, "Boleh saya bertanya sesuatu?".

"Iya, tentu saja".

"Kenapa kamu memilih saya?" Tanya Arin, pertanyaan itulah, yang masih berkeliaran dibenaknya.

Rafa mengerutkan dahi, ia mengelus pipi lembut Arin, "Tidak ada alasan, saya tidak memilih kamu. Saya tidak tahu, ini merupakan kebetulan atau tidak. Tapi, hati saya tidak pernah bohong, kamu adalah takdir saya".

Rafa menggenggam tangan Arin, dan di remasnya, ia lalu mengecup punggung tangan itu, "Saya tahu, kamu masih bingung dan masih tidak mengerti. Apakah kamu tidak merasakan apa yang saya rasakan?".

Arin masih diam, ia lalu mendekatkan diri kepada Rafa. Arin menyandarkan kepalanya didada bidang Rafa. "Ya, saya sebenarnya masih bingung dan tidak mengerti atas tindakkan kamu. Hubungan ini masih terlalu dini, bahkan saya bertemu kamu, tiga hari yang lalu".

Rafa mengelus rambut Arin, "bukankah rasa itu, tidak mengenal batas waktu. Tidak peduli beberapa lama ia mengenal, yang pasti rasa itu ada dihati kamu" ucap Rafa, ia mengecup puncak kepala Arin.

"Ya, memang begitu sebenarnya".

Rafa menghela nafas, di tatapnya wajah Arin lekat-lakat, mengelus rambut Arin, "Banyak bertahun-tahun menjalani hubungan, bahkan sudah tujuh tahun, akhirnya menjadi sia-sia. Ada juga baru pertama kali bertemu, akhirnya tidak sia-sia".

Arin hanya diam, Rafa tidak sedang bercanda, dan ia terlihat begitu serius. Arin lalu mengecup pipi Rafa. Hanya sebuah kecupan, kecupan yang menenangkan.

Rafa tersenyum dan ia mengelus punggung Arin. "Tidurlah, semuanya akan baik-baik saja".

******

Menikmati sky garden, yang romantis menjadi pilihan Rafa. Rafa sangat romantis, Arin tersenyum ketika Rafa memeluknya dari belakang. Angin berhembus dipermukaan wajahnya. Dress hitam menjadi pilihan Arin. Arin sangat cantik, ia seperti model profesional. Rafa yakin rumah mode, di Indonesia akan banyak menawarkannya untuk menjadi seorang model.

Padahal dirinya sudah cukup tinggi 185 cm, dan sedangkan Arin sebatas dagunya, di tambah sepatu high hills membuatnya hampir sejajar. Rafa mengecup punggung Arin yang terbuka, menampakkan kulit mulusnya.

"Saya ada sesuatu untuk kamu" bisik Rafa.

Arin memutar tubuhnya, ia menatap wajah tampan Rafa. Arin tidak canggung lagi, memegang rahang tegas itu. Ia kembali menatap mata Rafa, dan Rafa membalas tatapannya.

Rafa mengeluarkan kotak kecil berbahan bludru putih yang berkelas, dibalik saku jasnya. Rafa membuka kotak itu, dan Arin terpana menatap sebuah kalung berlian dengan bentuk simpel dan berkelas. Arun yakini bahwa barang itu tidaklah murah.

Arin menyentuh kalung itu, dilihatnya permata berbentuk hati itu.

"Saya akan memasangkannya" ucap Rafa.

"Iya" Arin tersenyum.

Rafa Lalu memasangkan kalung itu di lehernya. "Cantik" ucapnya.

"Terima kasih" Arin kembali menatap Rafa.

"Kamu cantik sekali hari ini".

"Terima kasih".

Arin merasakan kalung melingkar di lihernya, ia merasakan dengan jemarinya. Arin masih diam ketika Rafa menarik pinggangnya semakin dekat.

"Kamu senang?" Tanya Rafa.

Arin tersenyum, "Tentu saja, saya merasa menjadi wanita paling bahagia didunia ini".

Rafa membalas senyuman Arin, "Saya tahu, jika kamu tahu kebenarannya semua akan berubah dan saya tahu semua berawal dari saya. Ingat jangan pernah membeci saya" gumam Rafa.

Arin mengerutkan dahi, "Maksud kamu" Arin semakin tidak mengerti.

Rafa mengelus wajah Arin, ditatapnya wajah cantik itu, "Seandainya saya bertemu kamu dari awal, seandainya waktu bisa berputar kembali. Kamu adalah pilihan saya".

"Saya ingin menikmati kebersamaan ini" lanjut Rafa. Ia tidak memberi jeda untuk membuat Arin bertanya lagi.

"Saya cinta kamu".

Rafa mendekatkan diri ke wajah Arin, ia mencium kening Arin, di kecupnya dengan segenap hati dan perasaanya. Kecupan itu beralih dibibir Arin. Ia melumat bibir tipis Arin, lumatan-lumatan kecil itu semakin intens. Arin membalas kecupanya. Angin berhembus dan seakan turut bahagia.

SKANDAL ADIK IPAR (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang