BAB 18

2K 60 0
                                    

"Kakak" ucap Arin.

Arin terpana, menatap Dea berdiri di depan pintu. Arin reflek lalu memeluk tubuh Dea.

Dea tersenyum, ia membalas pelukkan Arin, "Hey, adik kakak yang paling cantik. Kamu apa kabarnya? Kamu makin tinggi saja" ucap Dea, menatap tubuh Arin, yang semakin jenjang.

Arin mengerutkan dahi, Dea tidak sendiri, ia bersama seorang laki-laki. Laki-laki itu lalu masuk membawa koper milik kakaknya.

"Raka, ini adik saya Arin".

"Hay, Arin saya Raka, senang berkenalan denganmu" ucap Raka, ia lalu mengulurkan tangannya, dan Arin membalasnya.

Raka tersenyum, "Saya sepertinya tidak bisa berlama-lama disini, jadwal operasi saya sejam lagi. Kamu tidak apa-apa kan saya tinggal" ucap Rafa.

"Iya, tidak apa-apa. Ini sudah ada Arin, terima kasih. Kamu hati-hati dijalan".

Raka lalu menghilang dari balik pintu. Arin menutup pintu itu kembali. Ia menatap Dea yang sedang duduk di sofa. Arin melangkahkan kakinya mendekati Dea. Kakaknya terlihat bahagia, ia tidak bertanya siapa laki-laki yang bersamanya tadi.

"Saya bawa oleh-oleh buat kamu" ucap Dea, ia lalu membuka koper miliknya, dan ia meraih jaket berwarna merah yang masih berlebel dan menyerahkanya kepada Arin.

"Terima kasih".

"Kamu kapan datang? pasti kamu kesepian. Kemarin mama telfon, bahwa kamu sendiri disini".

"Iya, Arin datang, mama malah balik lagi ke Singapore".

Dea tersenyum menatap Arin, Arin sudah tumbuh besar, tubuhnya bahkan lebih tinggi dari dirinya.

"Bagaimana kuliah kamu, sudah skripsi?".

"Belum, masih ngajukan judul".

"Owh begitu, nanti selesai kuliah mau netap dimana? Jakarta, Singapore, atau Melbourne?" Tanya Dea.

Arin mengedikkan bahu, "Belum tahu, saya masih bingung".

"Tinggal disini saja, sama saya. Kamu sudah makan?" Tanya Dea.

"Sudah, tadi makan mie instant" ucap Arin. Jujur ia merindukan makanan cepat saji itu, baginya mie instant dari Indonesialah yang paling enak.

"Kamu makan mie instant?".

"Iya, Arin tadi beli di minimarket, maklum sudah lama sekali tidak memakan mie instant dari Indonesia".

"Owh begitu, saya mandi dulu ya, sudah gerah".

"Iya"

*******

Malam ini, Arin putuskan untuk tidur bersama Dea. Arin merubah posisi tidurnya mengahadap Dea.

"Saya, boleh tanya sesuatu? Tanya Arin".

"Iya, kamu mau tanya apa?" Ucap Dea.

"Kamu kenapa bisa batal menikah?" Tanya Arin. Itulah yang ingin ia tanyakan dari tadi.

Dea mengerutkan dahi, dan ia mulai berpikir. "Itu keputusan dari pihak laki-laki, saya bisa apa? Selain menerima keputusannya".

Arin kembali diam, ditatapnya wajah Dea, ia terlihat tegar dan berusaha tersenyum.

"Siapa laki-laki itu" tanya Arin lagi, ia sebenarnya ingin mendengar langsung cerita versi Dea.

"Kamu mengenalnya, dia tetangga kita dulu, Rafael".

Arin menarik nafas panjang, ia lalu bertanya kembali, "Bagaimana kamu bisa menjalin hubungan dengan Rafael?" Inilah pertanyaan inti yang ingin ia tanyakan.

Dea menatap Arin, "Awalnya, tidak sengaja bertemu Rafa di supermarket. Jujur saya merindukannya juga, setelah sekian lama tidak bertemu. Kamu tahukan saya dan Rafa sudah akrab dari kecil. Dan terjadilah pertemuan-pertemuan selanjutnya. Rafa dari segala materi tidak perlu di ragukan lagi, segala kemauan saya, ia turuti. Rafa setiap hari memberi buket bunga, sarapan pagi, menulisnya di stick note, hanya untuk mengucapkan selamat pagi, semoga harimau menyenangkan, Rafa laki-laki romantis. Tidak ada alasan saya tidak menerima pernyataan Rafa, dia begitu mempesona, wanita mana yang tidak terposana segala tindakkan Rafa" Ucap Dea.

Arin mengangguk, Rafa telah memperlakukan itu sama seperti ia melakukan terhadap dirinya di Bangkok, bunga, sarapan pagi romantis, sticknote. Oh Tuhan, ia sama seperti wanita lainnya. Rafa benar-benar tidak dapat dipercaya. Rafa benar-benar perayu ulung.

"Terus setelah itu" tanya Arin.

"Sebenarnya ceritanya panjang, saya tidak bisa menceritakanya semuanya kepada kamu. Setelah itu ya saya menerima lamarannya, kebetulan orang tua Rafa sudah mengenal saya, jadi tidak perlu menunggu lama menjalani proses itu. Semua keluarga berkumpul, dan terjadilah lamaran itu. Tentu saja saya senang, WO profesional sudah saya pesan, semua keluarga sudah mengukur baju. Ketika itu Rafa ada kerjaan di Bangkok. Hari pertama, Rafa masih menghubungi saya, setelah beberapa hari komunikasi itu terputus begitu saja, saya masih berpikir positif, bahwa Rafa mungkin sedang sibuk. Setelah selanjutnya hari demi hari, saya hanya menanti, hingga kedua orang tua Rafa datang, mengatakan untuk membatalkan pernikahan itu, dan jelas saja saya masih tidak terima atas tindakkannya, dia benar-benar tidak sopan, memutuskan secara sepihak seperti kepada saya. Jika tidak memcintai saya, kenapa ia bisa menyatakan cinta setiap hari, memperhatikan, merindukan kakak dan parahnya melamar saya. Sekarang saya tahu, kata-kata manis itu hanya dibibirnya saja. Rafa tidak bisa dipercaya".

Air mata Arin tiba-tiba jatuh dengan sendirinya, ia lalu memeluk tubuh Dea. Dea membalas pelukkan Arin, dan diusapnya punggung Arin.

"Sudahlah, saya tidak apa-apa, kami memang tidak berjodoh" ucap Dea menenangkan Arin.

"Mulai sekarang, kamu harus belajar dari pengalaman saya, jangan mudah percaya atas ucapan laki-laki. Jangan pernah terpengaruh semua kata-kata manisnya. Cukup saya saja yang mengalami kegagalan itu".

Arin melepaskan pelukkanya. "Iya" ucap Arin.

Dengan cepat ia mengahapus air matanya, yang jatuh dipermukaan wajahnya. Arin lalu merubah posisi tidurnya, ia menangis dalam diam.

******

SKANDAL ADIK IPAR (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang