BAB 12

2.4K 70 0
                                    

Arin duduk disofa, jins hitam dan kaos navy menjadi pilihanya kali ini rambutnya ia biarkan tergerai. Rafa sudah pergi dari tadi, ia mengatakan bahwa, ia ada urusan kerja sebentar. Rafa memberi petuah, untuk menunggunya hingga ia pulang. Arin tahu, Rafa pekerja keras, terlihat cara ia berbicara, dan bertindak cepat. Ia tidak mungkin mengecewakan kliennya. Pantas saja ia bisa memenangkan kerja sama itu dan meraih kesuksesaan diusianya yang masih muda.

Arin lalu berdiri, berjalan ke arah lemari, ia mengambil kotak handphone. Arin hampir lupa bahwa ia memiliki handphone. Biasa, jika ada handphone baru, ia selalu menjadi autis, tidak memperdulikan hal lainnya. Tapi kali ini tidak, Arin terlalu terpesona dengan Rafa, sehingga melupakan keberadaan handphone itu.

Arin lalu menghidupkan tombol power handphonenya, ia lalu melangkah mendekati koper miliknya, yang letaknya tidak begitu jauh dari lemari, dan lalu dibukanya koper itu. Arin mengambil buku agenda bersampul hitam dengan bahan kulit sintetis. Buku itu sudah usang dan sudah layak dimuseum kan, tapi buku itu sangat penting dan berguna, untuk dalam keadaan darurat seperti ini.

Arin membuka buku itu, ia lalu mencari list pencarian nomor telfon. Arin menemukan nomor telfon yang ia cari. Arin tersenyum, ia harus menghubungi orang tuanya, karena ia yakin mamanya sangat khawatir, karena ia tidak pernah menghubunginya semenjak menginjakkan kakinya di Bangkok.

Arin lalu menekan tombol, angka-angka yang tertera di kertas. Arin menekan tombol hijau, suara sambungan terdengar jelas. Arin masih menunggu, dan akhirnya terdengar, suara yang selalu dirindukannya.

"Halo" suara terdengar dari balik speaker.

"Mama, ini Arin".

"Arin, mama cariin kamu nak, kamu ada dimana? Syukurlah kamu hubungi mama".

"Mama, Arin baik-baik saja. Mama bagaimana kabarnya?".

"Baik nak, sekarang kamu dimana Arin, katanya mau ke Jakarta, mama dan kakak kamu, tunggu-tunggu loh dari kemarin, jarang-jarangkan kita kumpul bersama seperti ini".

"Arin lagi liburan ma sebentar, iya Arin pulang kok. Sudah kangen papa, mama dan kak Dea" Arin masih menatap jendela. Ia tahu moment kebersamaan keluarga itu sangatlah penting.

"Kamu liburan kenapa tidak kasih tahu mama".

"Iya ma, sorry. Mama lagi apa?" Tanya Arin.

"Mama lagi duduk-duduk saja sendiri, papa kamu kerumah temannya".

"Kak Dea dimana ma?".

"Ada, dikamarya, menenangkan diri. Mama baru saja menenangkan kakak kamu, sepertinya dia terpukul sekali".

Arin mengerutkan dahi, ia diam sesaat, lalu melanjutkan kata-katanya. "Kak Dea kenapa ma sebenarnya?".

"Kakak kamu batal menikah".

"Batal!!!" Arin terperangah. Ia memegang ujung sofa.

"Iya batal".

"Kenapa bisa begitu ma? Tega sekali laki-laki membuatnya seperti itu".

"Mama juga kecewa Rin, mama juga benci sekali dengan laki-laki itu. Laki-laki itu menghilang tanpa jejak, ia memutuskan secara sepihak. Dia laki-laki brengsek yang pernah mama temui"

"Ya Tuhan, laki-laki tega sekali ma, masih ada di dunia ini laki-laki seperti itu" Arin semakin geram.

"Iya dia emang brengsek, mama pikir dia laki-laki baik, penuh kasih sayang, tapi apa yang terjadi, dia malah pergi meniggalkan kakak kamu, mama juga tidak sampai hati untuk melihatnya".

"Kasihan sekali kak Dea, ma. Dia pasti merasa kehilangan dan patah hati begitu dalam".

"Iya mama juga kasihan dengan kakak kamu".

"Bagaimana kondisi kak Dea ma".

"Ya begitulah, menangis dari tadi, mama tahu dia kecewa, ia tidak bisa di ajak ngobrol. Mungkin syhock mendengar berita ini, ia lebih mengurung diri dikamar".

Arin menarik nafas, Arin tahu kakaknya pasti sangat frustasi, ia Sebaiknya pulang ke Jakarta. Arin ingin sekali memeluknya, menenangkannya. Ia lebih baik menghiburnya, ini merupakan berita duka, padahal pernikahan itu adalah impian sang kakak. Cobaan kakaknya begitu berat, laki-laki mana yang tega melakukan itu kepadanya. Sungguh ia sangat kecewa, prilaku kurang ajar laki-laki itu. Ia tidak akan memaafkan laki-laki itu, jika bertemu nanti.

"Mama kecewa, pihak laki-laki tidak berani menampakkan wajahnya didepan keluarga, ia hanya mengatakan kepada orang tuanya, agar membatalkan pernikahan itu. Padahal kakak kamu sudah mempersiapakan itu secara matang, wo sudah mengurusnya semua, segala kain aksesoris sudah dipesan langsung jauh jauh dari India. Kini kakak kamu kecewa berat. Ia menangis dari tadi, sepertinya ia akan membuang semua pemberian laki-laki itu".

"Siapa ma, calon kakak? Arin tidak pernah melihatnya, tega sekali dia melakukan itu, laki-laki brengsek dan tidak tahu diri".

"Kamu mengenalnya sayang" ucap Friska.

"Siapa ma?".

Diam sejenak, Arin mendengar kembali suara sang mama.

"Rafael, tetangga kita dulu".

Tubuh Arin langsung lemas, tubuhnya luruh ke lantai, hanya ada satu Rafael disana, yaitu Rafael yang kini bersamanya. Air matanya jatuh dengan sendirinya. Ia menatap langit-langit plafon agar tangisnya tidak tumpah. Arin menggigit bibirnya, agar tangisnya tidak terdengar. Sementara disini ia bersenang-senang bersama laki-laki brengsek itu. Laki-laki itu pembohong besar, ia sangat benci laki-laki itu, di tambah dengan melukai kakaknya sendiri. Oh Tuhan, apa yang harus ia lakukan. Arin menatap layar ponsel itu kembali.

"Ma, kemarin Arin kehilangan paspor, bisakah mama mengirim Arin uang. Arin akan pulang besok".

"Iya, nanti mama kirim sayang, kamu sebenarnya ada dimana?".

"Arin ada di Bangkok" ucap Arin lalu mengakhiri panggilannya.

Arin lalu dengan cepat mengemasi kopernya, ia akan secepatnya pindah dari kamar hotel ini. Ia tidak ingin menatap Rafa lagi. Rasa bencinya sudah di ujung kepala. Laki-laki pembohong itu, tidak bisa ia biarkan begitu saja. Ia benci tubuhnya, ia benci pemberianya, ia benci semua yang ada didiri laki-laki itu.

Arin lalu dengan cepat meninggalkan kamar hotel itu, sebelum Rafa datang. Ia tidak ingin bertemu laki-laki itu, walau terkahir kalinya.

******

SKANDAL ADIK IPAR (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang