Rafa melangkahkan kakinya menuju kamar hotel, Rafa menatap sekali lagi buket bunga, berisikan mawar putih, yang ia pilih secara cermat di toko bunga tadi. Rafa tersenyum, Arin pasti menyukai bunga ini.
Rafa membuka hendel pintu, lalu mengedarkan pandanganya ke segala penjuru ruangan. Ia melangkah semakin dekat, ditatapnya satu persatu ruangan itu, mencari keberadaan Arin. Perasaanya mulai tidak tenang ketika menatap sepatu sneaker di sudut ruangan. Rafa terdiam sesaat, Rafa mengerutkan dahi, ia menatap lemari satu-satunya mengetahui keberadaan Arin. Langkah itu semakin dekat, dan dibukanya pintu lemari itu, pakaian itu telah tiada. Rafa terdiam, dan rahangnya mengeras, ia lalu melempar buket bunga itu hingga terpental ke dinding, kelopak bunga itu berserakan di lantai.
Rafa lalu mengeluarkan ponsel miliknya, ia lalu menatap layar ponsel, mencari keberadaan Arin. Rafa menatap GPS di layar ponselnya, dan untung saja masih tersambung. Ia lalu memasukkan kembali ponselnya di saku jasnya.
******
Arin terdiam menatap bangunan hotel bertingkat tiga dihadapannya. Hotel kecil itu menjadi pilihannya sementara. Untuk menghindari keberadaan Rafa, hatinya sakit, mengingat Rafa. Ia masih tidak percaya apa yang dilakukan Rafa kepadanya. Sudah cukup kakak kandungnya yang ia sakiti, dan ia khianati. Ia tidak akan memaafkan laki-laki pembohong itu. Laki-laki itu pembohong besar, pandai sekali ia besilat lidah, pandai sekali ia berakting seolah-olah semua baik-baik saja. Tidak memiliki pacar? Menyatakan cinta kepadanya, itu merupakan akal-akalannya saja.
Arin mengelap bibirnya, laki-laki itu telah lancang mencium bibirnya berulang kali, membiarkan ia bersenang-senang dalam pelukkanya. Oh Tuhan, ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri. Ia sangat merasa bersalah atas apa yang ia lakukan. Seharusnya ia tidak percaya ucapan Rafa. Laki-laki itu seperti iblis berwujud malaikat.
Arin membuka pintu kamar itu, ia menyeret kopernya masuk kedalam. Ia menatap kamar sederhana itu, sangat jauh berbeda dari kamar hotel sebelumnya. Arin lalu menutup pintunya kembali. Ia masuk dan lalu melangkahkan kakinya menuju tempat tidur. Arin meringkuk seperi bayi, tangisnya pecah. Air matanya tumpah tak tertahankan. Ingatannya masih jelas, bagaimana Rafa memperlakukannya, bagaimana laki-laki itu memanjakannya, memeluknya. Kenapa ia harus bertemu dengan laki-laki brengsek seperti Rafa. Hatinya begitu sakit, sangat sakit. Arin kembali menangis, air matanya tidak bisa dibendung lagi. Ia menangis sejadi-jadinya, menghilangkan rasa bersalahnya.
Beberapa jam kemudian, Arin sadar, sebuah hentakkan pintu kamarnya terbuka. Arin terkejut dan terperangah, jantungnya berdegup kencang.
Arin menatap wajah itu penuh kebencian. Ia benci laki-laki itu. Sangat membencinya, ia iblis yang tidak bisa dimaafkan. Arin menegakkan tubuhnya, ia diam ketika Rafa melangkah mendekat.
Rafa terdiam, dan ditatapnya wajah Arin, mata itu sembab. Rafa pastikan Arin telah menangis berjam-jam lamanya. Arin menatapnya penuh kebencian. Rafa tahu, Arin telah mengetahui siapa dirinya sebenarnya.
"Untuk apa kamu kesini" ucap Arin, suara itu terdengar bergetar, manahan emosi.
Rafa hanya diam, berusaha tenang. Ditatapnya wajah Arin, ia ingin sekali memeluk tubuh itu menenangkannya.
"Jangan pernah muncul di hadapan saya lagi" Arin kembali berucap.
Tatapan itu penuh kebencian. Rafa hanya diam, membiarkan Arin meluapkan emosinya. Arin dengan cepat membuka kalung dan jam tangan pemberiannya, lalu menyerahkan kedua benda. Arin menyelipkan kedua benda itu ditangan Rafa.
"Saya tidak butuh barang-barang kamu, pergi dari hadapan saya" Arin menunjuk pintu utama, agar laki-laki itu tahu, ia tidak menerima kehadirannya.
"Kamu adalah iblis, iblis berwujud malaikat".
Rafa menatap Arin, ia juga tidak suka dengan situasi seperti ini, ia menggeram, menahan emosi. Di tatapnya wajah Arin dengan intens.
"Pergi dari hadapan saya" ucap Arin. Arin lalu melangkah mendekati pintu. Di bukanya pintu itu, agar Rafa tahu, ia tidak menyukai kehadirannya
Arin membuka pintu itu untuk Rafa, ia mengelap air matanya, dengan punggung tangannya.
Rafa memutar tubuhnya, ia menatap Arin. Rahangnya mengeras, memasukkan benda itu kedalam saku jasnya. Ia melangkahkan kakinya menuju pintu utama, ia menghentikan langkahnya tepat dihadapan Arin. Ia menatap wajah Arin. Wajah itu begitu sempurna.
"Jangan pernah kembali lagi" ucap Arin penuh kebencian.
"Kamu adalah kesalahan terbesar dalam hidup saya" suara Arin semakin meninggi.
Rafa hanya diam, dengan cepat Rafa menyambar bibir tipis Arin. Ia menyudutkan tubuh Arin kedinding, dan tangan kiri Rafa, menutup pintu itu kembali. Ia tidak peduli Arin meronta-ronta memukul tubuhnya. Benturan dinding dan tubuh Arin terdengar jelas. Rafa melumat bibir itu dengan seganap hati dan jiwanya. Ia tidak memberi jeda sedikitpun kepada Arin untuk bernafas.
Sedetik kemudian, Rafa melepas kecupannya, ia mengatur nafanya kembali, begitu juga Arin. Arin kembali menangis, dan Rafa terdiam, membiarkan Arin menangis tersedu-sedu, tubuhnya luruh kelantai. Rafa lalu melangkahkan kakinya, lalu keluar dari kamar itu. Meninggalkan Arin begitu saja, tanpa kata. Membiarkan dengan pikiran masing-masing.
Rafa masih yakin, Arin tidak sepenuh membencinya. Rafa menggeram, ia hanya bisa memukul setir mobilnya berkali-kali.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
SKANDAL ADIK IPAR (SELESAI)
Romantik"Rafael" kata itu meluncur dengan sendirinya. "Kamu tidak apa-apa? Apa ada yang terluka?" Tanya Rafa. Ia memperhatikan tubuh Arin, ia memastikan tidak ada terluka sedikitpun ditubuhnya. Rafa mengenal wanita berparas cantik itu. Pertama kali ia lihat...