BAB 23

1.8K 57 0
                                    

Sudah dua hari, Arin tidak menemui Rafa. Arin menatap layar handphone digenggamnya. Arin sengaja tidak memberi suara pada handphone itu, puluhan pesan singkat dari Rafa, belum ia baca. Arin menatap layar handphone nya kembali, "Rafael calling". Sudah puluhan kali, laki-laki itu menelfonya. Arin mengabaikannya begitu saja.

Arin menggeser layar merah itu. Ia tidak berniat untuk mengangkatnya. Arin duduk disisi tempat tidur, dan menompang bantal dibahunya. Saat ini dipikirannya hanya ada Rafa. Jujur ia mencintai laki-laki itu. Ini untuk pertama kalinya ia mencintai seorang laki-laki, bahkan melebihi rasa di hatinya. Semakin ingin melepas, semakin kuat rasa cinta itu berkembang. Arin tidak tahu berbuat apa, ia hanya bisa mengeluarkan air mata.

Cukup mamanya saja yang tahu masalah ini, tidak untuk Dea. Arin tidak ingin Dea tahu masalah yang ia hadapi saat ini. Ini akan menjadi cerita tersendiri untuknya. Dea tidak boleh tahu, dan jangan sampai tahu masalah ini.

Semenjak kejadian itu, Friska selalu mengawasinya. Arin lebih memilih mengurung diri apartemen. Arin tidak bisa berbuat banyak, ia juga tidak ingin manambah masalah lagi. Rafa benar-benar membuat hati dan perasaanya sakit seperti ini. Ia akan membuang jauh-jauh rasa cintanya. Walau cinta yang ia rasakan cukup dalam.

Arin tersadar, suara gedoran pintu terdengar jelas.

"Arin, Laras datang nak".

Arin mendengar jelas, suara Friska dari balik pintu. Arin lalu menegakkan tubunya, melangkahkan kakinya kearah pintu kamar, dan dibukanya pintu. Arin menatap Friska, dan Friska tersenyum.

"Laras datang, ingin menemui kamu" ucap Friska.

"Iya" ucap Arin pelan.

Arin teringat, bahwa ia mempunyai saudara sepupu yaitu Laras. Laras masih keluarga dekat, anak dari saudara Friska. Semenjak pindah ia tidak pernah bertemu Laras. Arin tidak menyangka bahwa Laras ingat terhadapnya dan ingin menemuinya.

Arin berjalan menuju ruang utama, Arin tersenyum, menatap wanita cantik, duduk menghadap TV. Iris mata itu bertemu, Laras tersenyum dan berjalan mendekatinya.

"Hey, Arin. Masih ingat saya?".

"Tentu saja, Laras kan. Wah kamu sudah tumbuh cantik gini" ucap Arin, lalu memeluk tubuh Laras.

"Kamu juga cantik sekali Arin, kamu bagaimana kabarnya?" Tanya Laras.

"Baik, kamu?".

"Tentu saja baik".

Arin dan Laras lalu duduk di sofa, sementara Friska menyiapkan minum untuk Laras.

"Laras, disaigner terkenal loh Rin" ucap Friska.

"Yang benar?".

"Tentu saja, coba kamu tanya dia, butiknya sudah menyebar di seluruh Indonesia" Friska memotong brownies dan menyiapkan di meja.

"Hebat sekali kamu, masih cantik, muda, disaigner lagi. Saya saja, tidak tahu mau jadi apa nanti".

Laras tertawa, lalu berbisik, "Kamu jadi model saya saja".

Arin tersenyum, "Saya belum berpengalaman jadi model".

"Tidak apa-apa, nanti ada yang mengajari kamu".

"Ada bayarannya kan" timpal Arin.

"Tentu saja, kamu juga akan menjadi model terkenal".

Laras dan Arin tertawa, di awal pertemuannya, sepertinya ia sudah kelihatan bersahabat. Padahal ia bertemu saat masih sangat kecil, itupun sudah lupa kapan ia bertemu.

"Ayo kita pergi, saya akan mengajak kamu jalan-jalan. Kamu jarang-jarang kan ke Jakarta" ucap Laras.

"Iya, jika ingin mengajak saya keluar, sebaiknya kamu minta ijin dulu kepada mama".

"Oke" Laras menepuk punggung Arin, dan melangkah ke dapur.

******

Laras benar-benar mengajaknya keluar. Arin melirik jam yang melingkar di tangannya, masih menunjukkan pukul 03.20. Awalnya Arin pikir Friska melarangnya keluar, tapi sekarang Arin bersyukur, bahwa Laras datang membawanya keluar bersama. Setidaknya ia tidak terkurung di dalam apartemen.

"Kita akan kemana?" Tanya Arin.

"Kita ngemall saja, disini ya hanya mall yang bisa di kunjungi".

Arin tersenyum, "iya".

Laras masih fokus dengan kemudinya, ia menatap kaca spion. Laras mengerutkan dahi, "Sepertinya, mobil itu ngikutin kita terus deh" ucap Laras.

"Mobil yang mana?".

"Itu yang hitam" tunjuk Laras.

Arin menatap mobil hitam yang di maksud Laras. Arin tahu siapa pemilik mobil hitam itu. Arin hanya diam, ya itu adalah Rafa. Rafa mengikutinya ternyata.

"Sebaiknya, saya harus hubungi pacar saya. Agar kita lebih aman, perasaan saya sudah tidak enak, jika di ikuti dari tadi".

Laras dengan cepat menghubungi pacarnya. Arin hanya bisa menatap kekhawatiran Laras, Ya sebaiknya ia meminta bantuan orang lain. Arin juga takut jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mengingat, ia sudah mengabaikan laki-laki itu dua hari.

"Saya sudah menghubungi pacar saya, sebentar lagi dia akan menyusul kita" ucap Laras, ia menyimpan handphonenya di dasbor.

Laras membelokkan mobilnya di salah satu mall mewah. Laras memarkir mobilnya di bestment.

"Kamu tenang saja, pacar saya menunggu saya di besment sini" ucap Laras.

Bestment tampak sepi, terasa lembab dan gelap. Arin dan Laras tidak berani keluar dari mobil. Karena memang mobil itu mengikutinya hingga ke besment, dan sialnya kenapa Laras memilih parkir di tempat yang sepi seperti ini.

Arin menatap laki-laki berjalan kearah mobil. Arin tahu, siapa sosok laki-laki berkaos hitam itu. Arin sangat mengenalnya, bahkan sangat merindukannya. Sementara Laras menahan takut.

"Jangan pernah membukakan pintu kepadanya".

"Iya" ucap Arin.

Arin melirik Laras, ia sibuk dengan handphonenya lagi. Arin memilih diam, ia menatap Rafa, sudah berada didekatnya, hanya kaca jendela itu menjadi pembatasnya. Arin ingin meneteskan air mata, dan ingin memeluk laki-laki itu.

"Itu Daniel, pacar saya sudah datang" tunjuk Laras. Laras tersenyum dengan kehadiran sang pacar.

Laras lalu membuka pintu mobilnya, dan sementara Arin masih diam didalam mobil. Laras berlari lalu memeluk sang pacar, yang tidak jauh dari mobil miliknya.

Arin menatap mata tajam itu, agar menyuruhnya keluar. Arin hanya diam sejenak dan lalu membuka hendel pintu.

"Rafa" ucap Arin pelan.

*****

SKANDAL ADIK IPAR (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang