BAB 19

2K 62 0
                                    

"Saya ingin bertemu kamu"

Arin menatap layar handphone miliknya, sebuah pesan singkat dari Rafa. Arin lalu dengan cepat membalas pesan singkat itu.

"Kasi tahu saya alamatnya dimana".

Tidak butuh menunggu waktu lama, pesan singkat itu kembali masuk.

"Saya akan jemput kamu ditempat biasa".

"Tidak bisa, ada kakak saya".

"Saya akan jemput, didekat halte gedung apartemen kamu".

Arin lalu beranjak dari sofa, ia mengambil jaket kulitnya yang menggantung di lemari. Arin menatap penampilannya, akhir-akhir ini ia memang tidak pernah lagi memakai dress, ia lebih suka memakai celana jins hitam dan sepatu boot itu. Agar ia lebih leluasa melangkah dan berlari.

"Arin, kamu mau kemana?" Tanya Dea.

Arin tersenyum, "Mau ketempat teman" ucap Arin.

"Teman kamu yang mana?" Tanya Dea penasaran, masalahnya Arin adalah orang yang sulit bersoasialisasi. Dea kembali menatap Arin, lalu ia melirik jam yang tergantung di dinding, 15.06.

"Teman SD saya, sekalian jalan-jalan sebentar" ucap Arin sekenanya.

"Iya, hati-hati. Jangan pulang malam-malam. Kalau ada apa-apa hubungi saya".

"Iya".

Arin melangkahkan kakinya menuju pintu utama. Arin masuk kedalam lift, menuju lantai dasar. Beberapa detik kemudian, lift terbuka. Arin berjalan menuju halte didepan gedung apartemennya. Arin menyebrangi halte, dan menatap mobil SUV hitam yang sudah menepi dipinggir jalan.

Arin tidak tahu apa yang ia pikirkannya saat ini. Arin masih saja menemui Rafa. Hatinya tidak bisa dibohongi, ia tidak bisa melupakan Rafa begitu saja. Rasa bencinya, memang tidak bisa dihilangkan begitu saja, tetapi entahlah ia ingin mengikuti kata hatinya saat ini, menemui Rafa.

Arin memang bodoh, ia akui itu. Arin masih memberi kesempatan kepada Rafa, yang sudah jelas-jelas membohonginya dan mengkhianati saudaranya sendiri. Tapi hatinya lah yang membuatnya seperti ini, hati dan pikirannya saling bertentangan. Tapi hati itu, lebih dominasi dari pada pikirannya.

Arin menatap Rafa, laki-laki itu duduk dibalik kemudinya. Jas hitam itu, sangat pas ditubuh bidangnya. Bulu-bulu halus dipermukaan rahangnya terlihat rapi, mungkin Rafa telah merapikanya. Rafa memang tampan, ia menyukai rahang tegas itu. Arin lalu membuka hendel pintu, dan lalu duduk.

Arin hanya diam, ketika Rafa menjalankan mesin mobilnya, meninggalkan halte. Arin membuka tas miliknya, dan ia menatap layar handphone. Arin melirik Rafa, Rafa masih fokus dengan setirnya.

"Ini handphone milik kamu" ucap Arin, lalu menyerahkan handphone itu kepada Rafa.

Rafa diam, ia sekilas menatap Arin. Arin menyerahkan handphone itu kepadanya. Ada perasaan tidak terima, Arin melakukan itu kepadanya, sudah cukup kalung, dan jam tangan, wanita itu kembalikan, membuatnya sakit hati. Satu-satunya hanya handphone menjadi penghubung antara dia dan Arin dan sekarang wanita itu mengembalikannya begitu saja.

"Saya tidak memerlukannya lagi, terima kasih atas handphonenya" ucap Arin lagi.

"Tidak bisakah kamu menyimpannya saja?" ucap Rafa.

"Saya tidak bisa, saya tidak ingin barang-barang kamu ada didiri saya, terima kasih" Arin lalu meletakkan handphone itu begitu saja disaku jas Rafa.

Rafa lalu mencekal tangan Arin, tatapnya wajah Arin, ia ingin marah, tapi keadaan tidak memungkinkan, ia sedang menyetir mobil. "Apakah sehina itu, kamu tidak ingin menerima pemberian saya?".

Arin hanya diam, menatap Rafa. Rahang itu mengeras, digenggamnya jemarinya, lalu dikecupnya berkali-kali punggung tangannya.

"Maaf tapi saya tidak bisa" ucap Arin. Arin mengalihkan tatapanya ke jendela.

"Kita akan kemana?" Tanya Arin. Arin berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Rafa. Tapi Rafa mencegahnya, ia meremas jemari-jemari lembut Arin.

"Nanti kamu akan tahu".

Arin kembali diam, ia mengikuti apa maunya Rafa. Rafa memasuki gerbang perumahan dikawasan elit. Arin tidak asing dengan tempat itu. Arin teringat, ini adalah lokasi tempat tinggalnya dulu.

"Kenapa kita kesini?" Tanya Arin.

"Kerumah orang tua saya" ucap Rafa.

"Untuk apa kamu, mengajak saya ketempat orang tua kamu?".

"Untuk menunjukkan bahwa, kamu adalah alasan saya membatalkan pernikahan itu".

Kepala Arin tiba-tiba berdenyut, ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. "Stop, turunin saya disini!!!".

"Tidak, saya tidak akan menurunin kamu begitu saja".

"Saya tidak ingin terlibat dengan kamu, apalagi berurusan dengan keluarga kamu".

Rafa masih fokus dengan kemudinya, ia tidak memperdulikan ucapan Arin.

"Jika tidak berhenti, saya akan lompat dari mobil kamu".

"Kamu tidak mungkin bisa melompat begitu saja Arin".

Arin menggeram, "Sial".

Rafa menghentikan mobilnya tepat di depan rumah bercat putih, berpagar tinggi itu. Inilah rumah orang tuanya, tinggal selangkah lagi ia akan membawa Arin menemui orang tuanya.

Arin masih enggan menatap Rafa, ia benci dengan sifat liciknya Rafa. Arin bersenyukur mobil itu hanya berhenti ditepi jalan, tidak masuk kehalaman rumah itu.

Arin dengan cepat melapas sabuk pengamannya, ia lalu dengan cepat keluar dari mobil SUV milik Rafa. Arin benci dengan sifat Rafa seperti ini. Arin berjalan cepat, sedikit berlari meninggalkan mobil Rafa begitu saja.

Sedangkan Rafa menggeram, memukul setir mobilnya. Rafa menatap tubuh Arin, Arin setengah berlari menjauhi mobilnya. Rafa dengan cepat memutar mobilnya kembali. Rafa menghentikan mobilnya ditepi, dan lalu keluar. Rafa mengejar Arin. Percuma saja Arin berlari, langkah itu dengan begitu mudahnya ia tempuh. Jika ingin bermain kejar-kejaran seperti ini, Arin harus berlatih maraton selama sebulan penuh di gedung olah raga.

Rafa lalu meraih tangan Arin, Arin tersentak ia menatap Rafa sudah berada di hadapannya.

"Lepaskan tangan saya".

Rafa lalu menarik pinggang Arin mendekat. Rafa lalu melumat bibir Arin, ia tidak peduli orang berlalu lalang menatapnya dan berkata apa.

******

SKANDAL ADIK IPAR (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang