Arin mengerjapkan matanya secara perlahan, pandangannya awalnya kabur, lama kelamaan pandangan itu terlihat jelas. Arin menatap pandangannya kesegala penjuru ruangan, ruangan itu luas, didominasi warna abu-abu gelap. Ruangan ini harum dan bersih. Tempat tidur ini begitu nyaman dan luas. Arin menggerakan tubuhnya, kepalanya terasa berat. Arin memegang kepalanya, dan Arin mencoba menegakkan tubuhnya menyandarkan di sisi tempat tidur.
Arin kembali menatap ruangan, tatapannya beralih dinakas, butiran obat sudah tersusun rapi disitu. Arin kembali menatap bed cover abu-abu menutupi sebagian tubuhnya. Ia menatap pakaian yang ia kenakan, kaos berbahan lembut berwarna hitam melekat di tubuhnya, Arin tahu ini bukan pakiannya. Arin menatap gorden abu-abu itu masih tertutup rapat. Arin sadar ia bukan berada diapartemen kakaknya. Arin lalu dengan cepat menegakkan tubuhnya, beranjak dan berdiri.
Arin melangkahkan kakinya menuju pintu satu-satunya yang ia yakini bahwa itulah jalan keluar. Arin merapikan rambutnya dengan jari-jari tangannya. Ia akan segera keluar dari tempat ini. Arin kembali teringat, bahwa ia semalam bertemu Rafael, ia yakin apartemen ini adalah milik laki-laki itu. Terlihat dari ruangan ini begitu dingin dan angkuh. Arin berjalan cepat, ia melangkahkan kakinya menuju pintu utama, tanpa memperdulikan rasa pusing dikepalanya. Ia masih mampu untuk menegakkan tubuhnya dan berjalan.
Seketika pintu itu terbuka, Arin menghentikan langkahnya. Di tatapnya wajah laki-laki itu, betul dugaanya, bahwa ia berada di kekuasaan Rafa. Rafa membalas tatapanya, Rafa melangkah mendekat, tubuh Arin otomatis mundur teratur.
Rafa mencekal tangan Arin, "Kamu masih sakit, istirahatlah terlebih dahulu" ucap Rafa. Rafa menarik tangan Arin, hingga ke tempat tidur.
Arin hanya diam, sungguh kepalanya memang masih pusing. Ia tak kuasa menolak, tubuhnya juga masih lemas untuk memberontak laki-laki itu.
"Saya mau pulang" ucap Arin datar, ia mengalihkan tatapannya. Ia tidak ingin menatap iris mata Rafa.
Rafa menatap Arin, ia mengusap wajah Arin dengan jemarinya. "Ya, kamu boleh pulang, setelah meminum obat itu" tunjuk Rafa.
Arin hanya diam, ketika Rafa melangkahkan kakinya menuju nakas, dan dibawanya obat serta air mineral didelam gelas kaca. Rafa lalu melangkahkan kakinya mendekat kembali. Rafa menatap wajah Arin. Ia lalu menyerahkan obat itu kepada Arin.
"Minumlah, setelah ini kamu boleh pulang".
Arin mengikuti perintah, ia lalu dengan cepat meminum obat yang Rafa berikan. Arin kembali melirik Rafa, lalu menyerahkan gelas itu kembali.
Rafa melangkahkan kakinya menuju lemari, ia mengambil jaket miliknya dan diberikannya kepada Arin. Rafa menyampirkan jaket itu disisi pundak Arin.
"Pakailah ini, saya akan menelfon taxi untuk mengantar kamu pulang" ucap Rafa.
Arin hanya diam, ia lalu menegakkan tubuhnya, ia tidak berkata-kata lalu melangkah menuju pintu utama. Arin setengah berlari, meninggalkan apartemen Rafa. Rafa hanya bisa menatap punggung Arin, menghilang dibalik pintu.
*****
Sepanjang perjalanan Arin hanya diam, ia menyentuh jaket yang Rafa berikan, harum mint dari jaket tercium dihidungnya, ini adalah harum tubuh Rafa. Beberapa menit kemudian, Arin sudah tiba di depan gedung apartemen milik kakaknya.
Setibanya di apartemen, Arin lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Ia berusaha memejamkan mata sejenak, reaksi obat itu mungkin telah bereaksi. Rasa kantuk sudah tak tertahankan.
Beberapa jam kemudian, Arin terbangun, pusing kepalanya sudah hilang. Obat itu bereaksi dengan baik. Arin menatap jam didinding kamar, menunjukkan pukul 02.05 siang. Arin melangkahkan kakinya menuju walk in closed, ia sebaiknya mandi agar tubuhnya kembali segar.
Setelah beberapa menit, Sweater berwarna biru dongker, dan celana jins hitam menjadi pilihannya kali ini. Arin membiarkan rambut ikalnya tergerai. Arin mengambil dompet miliknya, lalu berjalan menuju lantai dasar.
Arin menjatuhkan pilihanya kesalah satu salon. Arin menatap penampilannya, Arin tersenyum menatap wanita muda, menyambutnya dengan ramah. Arin memutuskan untuk merapikan rambutnya, dan mereboding.
Arin memang mencintai rambut ikalnya, rambut ikalnya yang selalu menjadi kebanggaanya dan sekarang ia tidak menginginkanya lagi. Entahlah Arin tidak yakin, ini ada hubunganya dengan Rafa atau tidak, ia hanya ingin mencoba hal baru.
Beberapa jam kemudian, rambut ikalnya sudah berubah menjadi lurus dan kecoklatan. Arin berusaha tersenyum, kepada wanita itu. Hasilnya tidak mengecewakan ia terlihat lebih segar. Arin mengucapkan terima kasih.
Setelah itu Arin berjalan, outlet pizza menjadi pilihannya. Arin memilih duduk disudut ruangan. Arin mengaduk-ngaduk milkshake dan lalu meminumnya, sambil menunggu pesanannya datang.
"Arin".
Arin mengerutkan dahi, ia mengalihkan tatapanya ke arah sumber suara. Ia diam sesaat mencerna kata-kata itu. Ia menatap wajah balsteran, tampan, yang sering menggodanya di kampus.
"David" ucap Arin.
"Hey, kamu disini juga ternyata".
"Iya" ucap Arin.
David lalu menggeser kursi, dan lalu duduk mengahadap Arin. David tidak menyangka bisa bertemu wanita cantik itu. Arin memang pendiam dan sulit sekali meluluhkan hati itu. David bingung, sudah berbagai cara ia berusaha mendapatkan hati Arin tetapi hasilnya nihil. Arin masih sama, seperti yang ia kenal dulu.
David menatap penampilan Arin, rambut ikalnya sudah berganti lurus sebahu, dan sedikit di cat kecoklatan, ia tambah cantik, bahkan lebih cantik dari penampilan pertamanya.
"Sejak kapan kamu ada disini?" Tanya David.
"Beberapa hari yang lalu".
"Bukankah kamu tinggal di Singapore, bukan di Indonesia?" David semakin penasaran.
"Disini rumah kakak saya".
"Owh, oke" David kembali diam, Arin bahkan tidak menanyakan apa-apa tentang dirinya. Padahal diluar sana, wanita-wanita cantik mengantri untuk sekedar mengobrol dengannya.
"Yasudah, saya kesana dulu, Jims dan manager saya sudah menunggu saya".
"Iya" Arin mencoba tersenyum.
"Boleh meminta nomor ponsel kamu?" Tanya David.
Arin tersenyum, lalu menuliskannya di ditisu miliknya.
"Terima kasih" ucap David, lalu meninggalkan Arin. David tersenyum penuh arti.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
SKANDAL ADIK IPAR (SELESAI)
Romance"Rafael" kata itu meluncur dengan sendirinya. "Kamu tidak apa-apa? Apa ada yang terluka?" Tanya Rafa. Ia memperhatikan tubuh Arin, ia memastikan tidak ada terluka sedikitpun ditubuhnya. Rafa mengenal wanita berparas cantik itu. Pertama kali ia lihat...