"Saya, benci kamu".
Rafa melonggarkan pelukannya, ditatapnya wajah cantik itu.
"Hey, Dengarkan saya!" Ucap Rafa suaranya mengeras, menahan amarah.
Arin terdiam, sepertinya ia harus mendengarkan Rafa. Arin menatap wajah tampan Rafa, wajah itu tidak berubah, masih tampan sejak pertama kali bertemu. Arin menelan ludah, Rafa menatapnya intens. Rafa terlihat menahan emosi, sudah cukup vas bunga itu menjadi sasaran kemarahannya.
"Dengarkan saya! kamu tidak benar-benar membenci saya. Kamu justru sangat mencintai saya. Seharusnya kamu tidak perlu menahannya seperti ini".
"Jika kamu menahannya, justru kamu sakit. Jika kamu tidak mencintai saya, kamu tidak mungkin tidur sama saya".
Wajah Arin memanas, ia ingin menangis. Ya Rafa benar, sudah dua minggu ia masih belum bisa melupakan Rafa begitu saja. Rafa masih menepati posisi pertama di hatinya. Ia selalu menangis setiap mengingat Rafa.
Rafa menarik nafas, jemarinya beralih ke perut Arin, "Saya berharap, disini tumbuh benih-benih cinta kita. Saya sangat mengharapkannya, hanya dengan ini. Hubungan kita tidak dapat dipisahkan".
Arin mengusap air matanya yang jatuh dengan sendirinya. Tubuh Arin luruh kelantai, Arin kembali menangis, ia tak kuasa menahan air matanya. Arin memukul tubuh Rafa, di pukulnya dada itu. Rafa tidak memebrontak, ia membiarkan Arin memukul dada bidangnya.
"Kamu jahat, kamu jahat. Kenapa saya bisa bertemu kamu. Seharusnya saya tidak bertemu kamu".
"Seharusnya saya tidak membiarkan kamu masuk dikehidupan saya, saharusnya kita tidak bertemu waktu itu. Oh Tuhan, bagaimana hidup saya sekarang. Apa yang harus saya lakukan".
Rafa melonggarkan pekukkanya, ia menatap Arin terisak, "Hidup kamu sama saya, yang harus kita lakukan sekarang adalah segera memberi tahu kedua orang tua kamu. Saya akan memeberitahu secepatnya".
"Tidak bisa Raf, orang tua saya membenci kamu. Beliau tidak mengijinkan kita bersama".
"Kita belum tahu, karena kita belum mencobanya. Apapun itu harus saya hadapi. Saya akan tetap memperjuangkanmu".
Arin kembali menatap Rafa, Arin meraih tangan kokoh itu, lalu dikecupnya telapak tangan itu. "Saya tidak bisa, besok saya harus pulang ke Melbourne. Saya kesini hanya menghadiri pernikahan saudara saya".
Rafa diam sejenak, ia menegakkan tubuhnya dan lalu duduk di sofa. Rafa melipat tangannya di dada. "Kamu tidak bisa pulang begitu saja".
Arin melangkah mendekat, dan lalu duduk disamping Rafa. "Orang tua saya, mengurus penerbangan saya. Saya tidak dijinkan berlama-lama disini. Karena beliau tidak ingin saya bertemu kamu lagi".
Rafa menggeram, ditatapnya wajah Arin, mata itu sembab, dan ia terlihat sangat rapuh. Rafa menegakkan tubuhnya dan berjalan menuju lemari. Rafa melepaskan kaos hitam yang ia kenakan. Ia memilih kemeja hitam yang menggantung.
Semenit kemudian, ia telah rapi. Jas yang ia kenakan sangat pas ditubuhnya. Arin melangkah mendekati Rada.
"Kamu mau kemana?".
"Ke acara pernikahan itu, saya ingin bertemu orang tua kamu" .
Arin nyaris syhock mendengar penuturan Rafa, "Kamu gila, itu tidak bisa dibiarkan".
"Apalagi yang tidak bisa dibiarkan?".
"Saya tidak ingin, kamu mengacaukan pernikahan saudara saya".
"Saya hanya ingin bertemu orang tua kamu, bukan untuk adu tinju kepadanya".
Kepala Arin berdenyut hebat, Rafa benar-benar nekat. Apa yang akan dilakukannya sekarang. "Tolong kamu jangan lakukan hal gila seperti itu".
"Saya ingin menunjukkan kepada orang tua kamu. Kamu adalah wanita yang saya cintai".
"Walau kamu berkata seperti itu, mereka tidak mungkin percaya. Kamu sudah pernah berkata seperti itu sebelumnya, kepada saudara saya. Dan sekarang mereka tidak mungkin percaya lagi".
Rafa menarik nafas, "Hanya kamu, hanya kamu, membuat mereka percaya kepada saya".
Arin lalu mengambil tasnya di meja, "kamu tidak bisa dikasi tahu, percuma saya menjelaskannya berkali-kali" ucap Arin, dengan cepat mengusap air matanya, lalu melangkahkan kakinya menuju pintu utama.
"Jangan pernah datang kepernikahan itu, saya tidak ingin kamu mengacaukan hari bahagia saudara saya, mengerti".
Rafa membiarkan Arin keluar begitu saja. Rafa memandang tubuh Arin menghilang dibalik pintu. Rafa menggerang, ia emosi, rahangnya mengeras, dan Rafa triak tidak terima.
********
Rafa melirik jam yang melingkar di tangannya, sudah menunjukkan pukul 22.30 menit. Seharusnya Arin sudah pulang, ia yakini acara itu telah selesai sejam yang lalu. Rafa membatalkan untuk pergi keacara pernikahan itu. Rafa memilih menunggu Arin di tampat biasanya. Hari ini ia harus, menyelesaikan masalahnya. Di pikirannya saat ini adalah menemui Arin dan kedua orang tuanya.
Rafa menatap layar ponsel miliknya, Daniel masih belum memberi kabar selanjutnya. Saat ini hanya Daniel yang bisa memberi informasi itu. Daniel memang dapat di andalkan dalam keadaan mendesak seperti ini. Walaupun ia tidak terlalu akrab dengan laki-laki itu. Rafa tersadar, sebuah notifikasi masuk.
"Sebentar lagi kami sampai".
Rafa memasukan ponsel itu kembali kedalam saku celananya. Rafa kembali, menghidupkan mesin mobil itu menuju besment. Rafa melangkahkan kakinya menuju gedung apartemen itu.
Rafa berusaha tenang, dan ia tahu apa yang akan ia lakukan nanti, untuk menghadapi kedua orang tua Arin. Rafa menunggunya didepan pintu, dan masih sabar menunggu.
Beberapa menit kemudian, iris mata itu bertemu. Semua langkah itu terhenti menatap Rafa. Semua tatapan itu penuh kebencian. Rafa menatap wajah cantik kekasihnya, wajah itu pucat pasi atas kehadirannya. Rafa kembali menatap Malik dan Friska.
********
KAMU SEDANG MEMBACA
SKANDAL ADIK IPAR (SELESAI)
Romance"Rafael" kata itu meluncur dengan sendirinya. "Kamu tidak apa-apa? Apa ada yang terluka?" Tanya Rafa. Ia memperhatikan tubuh Arin, ia memastikan tidak ada terluka sedikitpun ditubuhnya. Rafa mengenal wanita berparas cantik itu. Pertama kali ia lihat...