Arin akhirnya memutuskan untuk pulang ke Jakarta. Arin mengeratkan blezer hitamnya, ia sudah tiba dibandara tiga jam lebih awal dari keberangkatannya. Ia tidak ingin bertemu Rafa lagi, ia tidak ingin berhadapan dengan laki-laki itu lagi. Kepalanya hampir gila memikirkan bagaimana hidupnya setelah ini. Arin pagi-pagi sekali sudah tiba di airport. Ia tidak aman jika berada disini bersama Rafa.
Arin kembali meneteskan air matanya. Air matanya, seolah tidak ingin berhenti. Arin mengusap air mata itu dengan punggung tangannya. Arin mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan, ia ingin secepatnya kembali ke Jakarta. Arin menatap para pengunjung berlalu lalang, ia mencoba menenangkan hati dan perasaanya. Arin hanya diam, sambil melirik jam digital di dinding.
Sementara sepasang mata menatap dan mengawasinya dari kejauhan.
*****
Akhirnya Arin tiba di bandara International Soekarno Hatta. Arin melangkahkan kakinya menuju area bandara, mencari keberadaan ibunya. Arin tersenyum, sang ibu melambaikan tangan kepadanya, Arin berjalan cepat dan lalu memeluk sang ibu. Jujur ia merindukan beliau, dipeluknya dengan segenap hati dan perasaanya.
"Arin merindukan mama" ucap Arin.
"Mama juga sayang" ucap Friska.
"Papa dimana ma?".
"Papa lagi nunggu di mobil sayang, kenapa kamu bisa kurus begini" tanya Friska, ia memperhatikan putri bungsunya.
Arin tersenyum, ia tertawa menatap Friska, "Maklum mahasiswa, harus irit ma" ucap Arin. Lalu mengikuti langkah Friska sambil menyeret koper menuju parkiran.
"Arin, mama sudah kirim uang lebih loh kepada kamu, kamu masih kurang?".
"Cukup kok mama sayang, Arin sudah makan banyak sekali, tapi tetap saja kurus seperti ini" Arin merangkul tubuh Friska, dan diciumnya pipi kiri mamanya.
"Kamu ya. Bagaimana kuliah kamu?".
"Baik ma, semua berjalan dengan lancar".
"Syukurlah kalau begitu".
"Kenapa kamu ke Bangkok?".
"Liburan mama sayang, emang mama saja, yang suka liburan" dengus Arin.
Friska tertawa, ia mengelus punggung Arin. Ditatapnya wajah cantik putri bungsunya, dan ia tersenyum.
"Sudah lama ya, kamu tidak pulang ke Jakarta".
"Iya, ma sudah lama sekali".
"Itu papa" tunjuk Friska ke Arah pria separuh baya. Terlihat masih gagah di usia yang tidak muda lagi.
"Hay, sayang. Anak papa semakin cantik saja. Bagaimana kuliah kamu?".
"Baik pa, semua sesuai target".
"Kamu betah di flat baru itu?" Tanya Malik.
"Betah pa" Arin tersenyum.
Malik lalu menghidupkan mesin mobil, dan lalu meninggalkan area bandara. Arin menatap jendela, ia sudah lama sekali tidak pulang ke Jakarta. Ia merindukan kota ini.
Arin memasuki ruang apartemen, ia tidak lagi tinggal di rumah kompleknya dulu. Karena rumah yang dulu sudah di jual, orang tuanya memutuskan pindah ke Singapore. Disini hanya sementara, ini adalah apartemen milik kakaknya Dea.
Jujur ia lebih suka dengan suasana rumah kompleknya dulu. Dari pada apartemen seperti ini. Arin meletakkan kopernya di kamar Dea.
"Kakak kamu ke Budapest, dia lagi liburan beberapa hari".
"Iya ma, kakak sudah seharusnya liburan. Butuh menenangkan hati dan pikirannya".
"Iya sayang, kamu mau makan apa?".
"Arin mau istirahat saja ma, nanti saja makannya" ucap Arin.
"Mama dan papa lusa mau pulang ke Singapore, soalnya papa kamu ada urusan disana. Masih ada kerjaan yang harus diselsaikan, maklum sudah seminggu disini, restoran papa tidak ada yang mantau".
"Iya ma, tidak apa-apa".
Arin merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Ia menatap seluruh ruangan. Ruangan sederhana, hanya tempat tidur, meja, dan sofa menghadap jendela. Arin mencoba memejamkan matanya sejenak. Ia akan melupakan apa yang pernah terjadi pada dirinya.
*******
Sudah dua hari Arin disini, ia menatap ruangan apartemen terlihat sepi. Orang tuanya sudah pulang pagi tadi. Arin memilih duduk di sofa, dan menatap Tv flat itu. Arin melangkahkan kakinya menuju lemari es, ia menatap satu persatu makanan beku. Arin menjatuhkan pilihannya kepada salah satu buah bluberry yang masih terbungkus sterofom. Arin membawa buah itu, dan kembali ke sofa. Arin mulai memasukkan bluberry ke dalam mulutnya.
Arin bersenandung, mengikuti irama musik, karena stasiun Tv itu, memutar salah satu musik favoritnya. Arin berhenti bersenandung, bibirnya kelu tidak bisa terucap, dan terperangah, bluberry yang dipegangnya tiba-tiba jatuh ke lantai, berserakan dilantai.
Arin menatapnya penuh kebencian, ia tidak menyangka laki-laki itu bisa masuk, tanpa suara dan tanpa jejak. Arin mengalihkan tatapannya, mencoba diam, dan kembali menatap pria itu.
"Kenapa kamu bisa masuk?" Tanya Arin datar.
Rahang Rafa mengeras, ia menatap wajah cantik Arin. Ia mengenakan kaos hitam dan jelana jins hitam yang sangat pas ditubuhnya. "Saya selalu bisa masuk, tanpa seijin kamu" ucap Rafa datar.
Langkah Rafa semakin dekat, ia menatap iris itu.
"Dari mana kamu tahu keberadaan saya?".
"Itu tidak penting" ucap Rafa. Ia lalu meraih tangan Arin.
Arin mengelak, dan menepis tangan Rafa. "Jangan pernah berani menyentuh saya, pergi dari hadapan saya" Arin menggeram.
Rahang Rafa kembali mengeras, Rafa menahan emosi. Ia lalu melangkah semakin mendekat, ia tidak peduli Arin membencinya, ia menangkup wajah cantik Arin dengan jemarinya. Arin hanya diam, ketika Rafa melakukannya.
"Saya benci kamu, sangat membenci kamu" suara itu menggeram, wajahnya memanas, walau ia terintimidasi seperti itu.
Rafa tidak memperdulikan ucapan Arin, ia menyudutkan Arin hingga ke meja pantri. Rafa menyatukan tubunnya semakin dekat, Rafa dapat merasakan hembusan nafas Arin di permukaan wajahnya.
"Saya tidak peduli, seberapa besar kamu membenci saya" gumam Rafa.
"Kamu bilis, kamu iblis enyah saja kamu ke neraka".
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
SKANDAL ADIK IPAR (SELESAI)
Romance"Rafael" kata itu meluncur dengan sendirinya. "Kamu tidak apa-apa? Apa ada yang terluka?" Tanya Rafa. Ia memperhatikan tubuh Arin, ia memastikan tidak ada terluka sedikitpun ditubuhnya. Rafa mengenal wanita berparas cantik itu. Pertama kali ia lihat...