Arin sudah bersiap-siap untuk pulang, diraihnya jaket yang telah ia siapkan. Arin mendekati Friska, Friska menyiapkan roti yang sudah diolesi coklat. Arin lalu duduk, dalam diam. Suasana ruang makan terasa hening, hanya dentingan sendok dan garpu terdengar jelas.
"Kuliahlah sungguh-sungguh, jangan pikirkan pria itu".
"Sudahlah, pa jangan bahas itu lagi. Mama yakin Arin tidak menghubungi laki-laki itu" ucap Friska.
"Tapi ma, papa masih tidak suka sama dia. Papa tidak suka, dia mempermainkan kedua putri kita, secara bersamaan".
"Iya, pa. Sudah jangan dibahas lagi".
Malik menatap Arin, "Taxi kamu sudah menunggu dibawah. Sebaiknya segera berangkat, dua jam lagi keberangkatan kamu".
Arin mengangguk, dan ia meneguk air mineral yang sudah tersedia di gelas. Arin menegakkan tubuh dan ia mengambil koper. Arin mendekati Friska dan lalu memeluk tubuh itu. Sedetik kemudia, ia sudah berpindah memeluk Malik.
"Papa sayang kamu. Jaga diri kamu baik-baik. Papa dan mama menunggu kamu di Singapore".
"Iya, terima kasih ya pa, Arin pergi dulu" ucap Arin.
Arin lalu melangkahkan kakinya menuju pintu utama, dan ia tersenyum meninggalkan kedua orang tuanya. Ia sangat mencintai kedua orang tuanya, lebih dari apapun di dunia ini.
Semenit kemudian ia sudah berada didalam taxi. Taxi sudah meninggalkan gedung apartemen, Sementara Arin menatap kearah jendela, ia tidak bersuara. Arin menyandarkan tubuhnya di kursi. Arin tersenyum getir, ia tidak menyangka kisah cintanya berakhir seperti ini. Happy ending yang sering ia baca di novel, hanyalah fiktif belaka, nyatanya adalah ia hanya terbelenggu dalam angan-angan.
Hanya segelintir manusia yang mendapatkan kisah cinta, tentang manisnya hidup. Padahal awal pacaran, diisi dengan penuh cinta dan kasih sayang. Banyak sekali di dunia ini, sudah memilik pasangan hidup yang sempurna, kekayaan yang berlimpah, tampan, cantik, dan anak yang lucu.
Bukankah itu sudah sempurna?. Tapi kenapa masih banyak yang memutuskan untuk mengakhirinya, sehingga anak menjadi korban. Kenapa semua berubah dengan seiringnya waktu?. Apa yang mendasari mereka seperti itu. Kejenuhan, tuntutan keluarga, bosan dan tidak adanya ikatan emosi lagi. Sepertinya semuanya masuk akal. Syukur-syukur masih ada yang kuat, dan mencoba menikmatinya hitam putih rumah tangga. Kenapa saya berbicara tentang rumah tangga, nyatanya saya belum menikah. Oh Tuhan, bahkan percintaanya masih belum seumur jagung, ia sudah memikirkan peliknya masalah rumah tangga yang sering ia lihat di infotainment. Sekarang ia sudah lebih baik, lupakan cinta, lupakan Rafa.
Melupakan Rafa? Arin ingin tertawa, itu hanya bisa terlontar di mulut saja. Mudah sekali mengatakan melupakan?. Melupakan tidak sesepele itu. Melupakan, tidak seindah kata-kata bijak Motivator.
Sangat mustahil baginya untuk melupakan Rafa begitu saja. Laki-laki itu sudah mengobrak-abrik isi hatinya. Ah, sudahlah lebih baik mengurus diri sendiri. Arin memegang kepalanya yang berdenyut hebat.
Beberapa menit kemudia, Arin sudah tiba diarea bandara. Arin melangkahkan kakinya menuju airport. Arin menatap jam digital di dinding, dan ia masih menunggu beberapa saat. Arin kembali melangkahkan kakinya masuk menunggu giliran diperiksa oleh petugas avsec. Arin masuk dan tiba-tiba pandangnnya berkunang-kunang. Arin memegang tumpuan koper miliknya, dan pandangannya gelap.
*******
Arin mengerang, ia membuka matanya secara perlahan. Ia menatap selang infus terpasang di tangan kirinya. Arin kembali menatap ruangan, ruangan itu didominasi warna putih. Arin yakini ia berada di rumah sakit. Arin mendengar suara pintu terbuka, Arin tertegun menatap Rafa. Rafa berjalan mendekatinya, ini sudah kesekian kali laki-laki itu menyelamatkannya.
"Kamu sudah bangun?".
Arin tidak menanggapi ucapan Rafa, "Saya ada dimana?".
"Dirumah sakit" ucap Rafa.
Arin kembali diam, lalu berucap "kenapa saya bisa berada di rumah sakit?".
Rafa mengerutkan dahi, "Kamu berada disini, ya karena kamu sakit. Namanya saja rumah sakit, tempatnya orang-orang sakit".
"Saya tidak sakit, tadi saya sehat-sehat saja".
"Kalau kamu sehat, berarti namanya Rumah sehat dong".
"Enggak lucu" sungut Arin.
Rada mengelus puncak kepala Arin, dan lalu dikecupnya kening itu. Rafa tersenyum bahagia. Jemari Rafa beralih di perut Arin, "You'r pregnant honey".
Arin nyaris pingsan mendengar ucapan Rafa. Arin tidak percaya Rafa berkata seperti itu kepadanya. Oh, Tuhan ia masih tidak percaya, bisakah ia hamil hanya melakukan sekali. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Rafa pasti berbohong kepadanya. Rafa pasti bohong terhadap dirinya. Mengingat laki-laki itu sangat ahli bersilat lidah.
"Pembohong".
Rafa menaikkan alis sebelah, "Bohong? Kenapa saya harus berbohong, atas kehamilan wanita yang saya cintai".
"Saya tidak mungkin hamil, karena melakukan itu hanya sekali. Itu sangat tidak mungkin".
"Tidak ada yang tidak mungkin, tubuh saya sehat, dan kamu dalam keadaan masa subur. Sperma saya sehat dan indung telur kamu sudah matang, yang telah siap untuk dibuahi. Kemungkinan besar itu bisa terjadi, dalam satu kali melakukannya. Bukankah begitu kronologisnya".
Arin nyaris menganga mendengar penuturan Rafa. Bagaimana Rafa tahu, proses pembuahan seperti itu. Proses pembuahan itu hanya ia dapat dibangku Menengah atas, itupun ia sudah lupa.
"Saya masih tidak percaya" elak Arin. Arin merubah posisi tidurnya menyamping. Ia tidak ingin menatap Rafa.
"Saya, bahagia mendengar berita ini".
"Dan itu berita duka untuk saya" timpal Arin.
Tawa Rafa nyaris meledak, mendengar ucapan Arin. Rafa mengecup puncak kepala Arin. "Kamu sangat menggemaskan jika seperti ini, Istirahatlah".
******
KAMU SEDANG MEMBACA
SKANDAL ADIK IPAR (SELESAI)
Romance"Rafael" kata itu meluncur dengan sendirinya. "Kamu tidak apa-apa? Apa ada yang terluka?" Tanya Rafa. Ia memperhatikan tubuh Arin, ia memastikan tidak ada terluka sedikitpun ditubuhnya. Rafa mengenal wanita berparas cantik itu. Pertama kali ia lihat...