Arin hampir tidak percaya, apa yang di lakukan Rafa kepadanya. Rafa menciumnya dipinggir jalan seperti ini. Rafa benar-benar menciumnya dengan intens. Beberapa detik kemudian, Rafa melepas ciumannya. Rafa manatap bibir bengkak Arin.
"Bersikaplah kooperatif terhadap saya" ucap Rafa.
Rafa menarik tangan Arin, melangkahkan kakinya menuju mobil SUV miliknya.
Arin menunduk, menahan malu, sementara para pengunjung jalan menatapnya penuh suka cita. Menatap adegan, romantis sepasang dua insan dimabuk cinta.
"Sudah baikkan ya mas?" tanya wanita separuh baya yang sedang menatapnya dari tadi.
"Iya sudah" ucap Rafa, dan mencoba tersenyum.
"Kenapa mas?" Tanya wanita separuh baya lainnya.
"Biasa, ngambek" jawab Rafa.
"Walah, nduk, jangan suka ngambek gitu. Mbak nya ngambek kenapa mas?" tanya ibu-ibu memakai kerudung hitam.
"Biasa, diajak nikah malah kabur begini" ucap Rafa sambil berjalan kembali diliriknya Arin tengah menunduk, menahan malu.
"Nduk, kenapa tidak mau. Masnya ganteng begini, kalau jodoh jangan pilih-pilih, syukur-syukur ada yang mau. Terima saja, apa yang ada".
"Iya, masnya ganteng, keren lagi. Mas kalau embaknya tidak mau, sama anak saya saja, bagaimana?" Ucap ibu berkerudung itu lagi.
"Ah, ibu bisa saja. Sayangnya saya masih cinta sama pacar saya, yang suka ngambek gini".
"Iya deh kalau begitu".
Rafa menahan tawa, tawanya hampir meledak, "Iya bu, sekarang calon saya sepertinya sudah mau, permisi".
"Syukurlah kalau gitu" sahut ibu ibu itu lagi.
"Embaknya sih modus mas, minta cium tu" sahut security, penjaga komplek diselingi tawa yang lainnya.
"Iya, sepertinya gitu" sahut seseorang dari belakang.
"Jadi embaknya, dicium dulu baru mau. Walah mas, kalau ada apa-apa ya cium saja, biar embaknya enggak kabur-kabur lagi" sahut pria separuh baya, memakai helm berwarna hitam itu.
Rafa menyeringai, dan tersenyum. Senyum itu penuh kemenangaan. Sementara Arin tersudutkan begitu saja kepada seluruh pengguna jalan. Rafa memeluk tubuh Arin di kecupnya puncak kepala itu. Rafa sudah seperti pahlawan diantara pengunjung jalan.
"Terima kasih, atas dukungannya. Semoga saya secepatnya menikahi pacar saya".
"Selamat ya mas, semoga cepat menikah" sahut seseorang dari belakang.
"Iya terima kasih atas doanya, semoga bulan depan saya segera menikah" Rafa melambaikan tangan kepada orang-orang yang mendukungnya tadi.
Rafa menggengam jemari Arin, dibukanya pintu mobil dan disuruhnya Arin masuk kedalam mobil. Arin lalu duduk, sementara Rafa lalu menyalakan mesin mobilnya kembali.
Bibir Arin maju satu senti, ia sudah malu setengah mati sekaligus kesal terhadap Rafa. Rafa benar-benar tidak tahu malu, menciumnya di depan umum seperti itu. Jika di Bangkok menciumnya di depan umum, Arin tidak mempermasalahkanya, toh ia orang asing disana, tidak ada yang mengenalnya.
"Kamu lebih cantik jika patuh seperti ini, dari pada adegan kabur-kaburan tadi" ucap Rafa.
Rafa memutar mobilnya, lalu menuju rumah berpagar tinggi itu. Arin menghela nafas, ia ingin perotes. Ketika Rafa menghentikan mobilnya di halaman rumah miliknya.
Rafa memutar tubuhnya mengahadap Arin. Di kecupnya kening Arin.
"Saya ingin pertemukan kamu dengan papa. Bukankah kamu dan papa sangat akrab sekali. Papa selalu mengajak kamu pergi, walaupun itu hanya sekedar membeli es krim".
"Tapi itu sudah lama sekali, lagian saya sudah lupa-lupa ingat" sungut Arin.
Rafa mengerutkan dahi, ia manatap Arin, "Ya, mungkin saja, maklum kamu waktu itu masih kecil sekali. Yakinlah papa saya merindukan kamu".
"Iya".
"Ya sudah, ayo kita keluar" Rafa lalu membuka pintu mobil.
Arin lalu membuka mobil itu, ia kembali menatap Rafa. Rafa menarik tanganya, menuju pintu utama. Arin hanya diam, ia sebenarnya tidak enak hati berada disini bersama Rafa. Arin takut tiba-tiba Rafa menyatakan hal yang tidak ia inginkan. Masalahnya Rafa adalah tipe pria yang penuh kejutan.
Rafa membuka kusen pintu berbahan kayu jati itu. Arin mensejajarkan langkahnya, ia kembali menatap Rafa. Rafa membawanya ke ruang utama. Arin terdiam sesaat, menatap pria separuh baya, membaca buku. Arin mengerutkan dahi, buku itu berjudul Statistika. Ia tidak bisa membayangkan, pria separuh baya itu masih membaca buku itu, super sekali. Statistika adalah mata kuliah yang selalu ia hindari di kampus, baginya itu sudah membuatnya pusing tujuh keliling.
"Papa" ucap Rafa.
Pria separuh baya itu lalu menoleh. Pria itu tersenyum, lalu meletakkan buku itu dimeja begitu saja.
"Hayo tebak, siapa yang ada di samping Rafa".
Bekti mengerutkan dahi, "Sepertinya papa kenal, siapa ya?" Bekti melangkah semakin dekat.
"Arin papa".
Bekti teringat dan lalu tersenyum, Arin membalas senyum itu. Bekti lalu memeluk Arin. "Anak papa sudah besar, cantik sekali kamu nak".
"Iya, pa. Arin memang cantik" sahut Rada.
"Kamu bertemu dimana? Sudah lama sekali papa tidak bertemu kamu. Mama kamu dimana Raf?" Tanya Bekti.
Rafa mengedikkan bahu, "tidak tahu, mungkin kerumah temannya, atau Arisan".
Rafa lalu duduk disofa, diikuti Arin dan Bekti. "Katanya kamu kuliah ya".
"Iya pa, di Melbourne University".
"Hebat sekali bisa masuk sana".
"Papa bagaimana kabarnya?" Tanya Arin.
"Baik, papa masih sehat nak".
"Papa, masih ingat, disini ada foto-foto kamu sama papa dulu. Kamu memang sudah cantik dari kecil" Bekti lalu melangkahkan kakinya menuju laci, diambilnya foto-foto album miliknya.
Bekti memperlihatkan foto-foto miliknya. Arin menatap dirinya dipangkuan Bekti, ia terlihat akrab bersama. Arin memaklumi bahwa Rafa memang tidak memiliki saudara perempuan. Pantas saja Bekti selalu memanjakannya. Arin senang mendengar cerita-cerita Bekti. Arin sampai melupakan kehadiran Rafa didekatnya.
Setelah berbagi cerita, Rafa kembali mengantar Arin. Emosinya sudah reda hanya dengan bertemu bekti, wajah tulus itu, membuat emosinya terkontrol baik. Arin menatap kearah jendela, awan itu sudah berubah menjadi gelap.
"Berhenti disini saja, saya hanya perlu berjalan kaki dari sini" ucap Arin.
Rafa lalu menepikan mobilnya, Rafa melepas sabuk pengamannya. Begitu juga Arin.
"Terima kasih, sudah bertemu papa kamu".
"Kamu senang?".
"Ya, tentu saja".
Rafa tersenyum, ia lalu merogoh handphone dibalik saku jasnya. Rafa menyerahkanya kepada Arin, di selipkannya disela-sela jari Arin.
"Hanya ini penghubung diantara kita, kamu jangan pernah melapaskannya" ucap Rafa.
Arin hanya diam, ia menatap Rafa. Rafa penuh kesungguhan, terlihat dari wajah itu. Arin tidak kuasa menolak, ia juga menginginkan pertemuan selanjutnya. Arin memasukkan handphone itu kembali ke dalam tasnya.
Rafa tersenyum, ia mengelus pipi lembut Arin. Wajah Rafa semakin dekat, Rafa mengelus bibir Arin. Ia merindukan bibir tipis itu.
"Boleh kah, saya mencium kamu".
******
KAMU SEDANG MEMBACA
SKANDAL ADIK IPAR (SELESAI)
Romance"Rafael" kata itu meluncur dengan sendirinya. "Kamu tidak apa-apa? Apa ada yang terluka?" Tanya Rafa. Ia memperhatikan tubuh Arin, ia memastikan tidak ada terluka sedikitpun ditubuhnya. Rafa mengenal wanita berparas cantik itu. Pertama kali ia lihat...