Arin memilih menghentikan taxi yang letaknya agax jauh dari gedung apartemen miliknya. Arin lebih suka berjalan kaki seperti ini, Arin menatap sepatu boot hitam yang dikanakannya. Arin mengeratkan jaketnya, ia menatap langit, langit itu telah menghitam, bintang-bintang. Arin lalu melirik jam melingkar ditangannya. Jam menunjukkan pukul 20.10 m, Arin menatap lampu-lampu gedung apartemen dihadapannya. Langkah Arin terhenti, ketika iris matanya, menatap Rafa berada dimobil SUV hitam. Arin hanya diam, ia menuruskan langkahnya, berusaha tidak memperdulikan kehadiran Rafa melewati mobil SUV itu.
Beberapa menit kemudian, langkahnya terhenti begitu saja. Arin kembali memutar tubuhnya. Ia diam sesaat, dan melangkahkan kakinya menuju mobil SUV hitam milik Rafa. Rafa masih tampan, wajah itu tidak berubah sedikitpun. Kemeja hitam yang dikanakan Rafa, masih terkancing rapi.
Arin menatap Rafa, Rafa memberinya kode, agar masuk kedalam mobilnya. Arin mengikuti perintah Rafa. Saat ini Arin mengikuti kata hatinya, mungkin emosinya sedang baik. Arin lalu membuka hendel pintu, dan lalu duduk. Arin lalu menatap Rafa, ia masih diam, membalas tatapannya.
"Ada apa lagi kamu mengikuti saya" tanya Arin.
Rafa tidak menjawab pertanyaan Arin, ia mendekatkan tubunya, di putarnya tubuh Arin, agar menghadap dirinya. Rafa membelai rambut Arin, "Rambut kamu berubah".
"Iya" ucap Arin. Kali ini ia sudah berani menatap wajah Rafa.
"Saya lebih suka rambut kamu yang dulu" ucap Rafa pelan. Rafa mengelus pipi Arin, dan ditelusurinya wajah itu.
Arin kembali diam, ia tidak bersuara, karena memang ia tidak bisa mengelak atas pesona Rafa.
"Itu bukan urusan kamu".
Rafa menarik nafas, dan dikeluarkan lagi melalui hidungnya. "Ya, kamu lebih cantik seperti ini" gumam Rafa.
"Siapa laki-laki tadi" tanya Rafa.
Arin mengerutkan dahi, "laki-laki?".
"Iya, laki-laki yang bersama kamu tadi sore".
Arin kembali teringat, ia tahu, laki-laki yang di maksud Rafa. "Kamu mengikuti saya?".
"Sepertinya, itu tidak perlu kamu tanyakan".
Arin menghela nafas, di tatapnya Rafa. "Itu David" ucap Arin.
"David".
"Iya, teman saya di kampus. Jika kamu kesini hanya untuk menanyakan itu. Saya pulang" ucap Arin lalu dengan cepat ia keluar dari pintu.
Rafa menarik tangan Arin, ia mencengkeram tangan itu dan seketika lampu dasbor otomatis menyala. Pencahayaan itu menerangi wajah Arin.
"Duduklah, ada yang ingin saya katakan" ucap Rafa.
Arin lalu duduk kembali, lalu menutup pintu itu. Arin melirik Rafa, "Apa yang ingin kamu katakan?".
Rafa diam, dan dengan cepat Rafa menghidupkan mesin mobil miliknya, meninggalkan area gedung apartemen itu. Sementara Arin terperangah, ia tidak percaya apa yang Rafa lakukan.
"Pakai sabuk pengaman kamu" ucap Rafa.
Arin mengikuti perintah, ia hanya diam ketika Rafa melajukan mobil miliknya.
"Kamu akan membawa saya kemana?" Tanya Arin.
Rafa hanya diam, ia menggengam tangan kiri Arin, diremasnya jemari jemari Arin. Lalu dikecupnya punggung tangan itu.
"Kesuatu tempat".
Arin hanya diam, ia mengalihkan tatapnya ke jendela.
"Saya tidak suka kamu mengikuti saya" ucap Arin, memecahkan kesunyian.
Rafa tidak menanggapi, pernyataan Arin. Rafa diam sejenak, ia melirik Arin. Rafa menyadari emosi Arin sedang stabil, dan terkontrol.
"Semalam kamu demam tinggi" ucap Rafa.
Arin hanya menunduk, ia menatap buku-buku jarinya. Ia mendengar jelas suara berat Rafa.
"Jangan pernah melakukan hal itu lagi, jika ingin menangis, menangislah di tempat yang seharusnya. Saya tahu, saya salah. Jika kamu tidak memaafkan saya tidak apa-apa. Saya memaklumi itu, saya memang tidak pantas dimaafkan".
"Kamu memang tidak pantas dimaafkan" dengus Arin.
"Saya ingin pulang, dan sekarang jangan pernah mengikuti saya lagi" Arin kembali bersuara.
Bibir Rafa terangkat, "Saya tidak berniat untuk mengantar kamu pulang".
"Apa yang ada di kepala kamu, sehingga tidak ingin mengatar saya pulang".
"Untuk memastikan, bahwa kamu tidak membenci saya" ucap Rafa.
Arin menghela nafas, ia tidak bersuara. Arin lebih memilih menatap kearah jendela.
Rafa menghentikan mesin mobilnya di bestmen apartmen miliknya. Arin menatap Rafa, laki-laki itu membuka pintu untuknya lalu menarik tangan Arin, Arin mensejajarkan langkahnya mengikuti Rafa.
Rafa menggenggam tangannya begitu erat, sementara Arin hanya diam, Ia tidak memeberontak. Rafa membawanya menuju apartemen miliknya. Arin tahu ini lah daerah kekuasaan Rafa.
Arin menatap kusen pintu berwarna putih. Rafa membuka pintu itu untuknya.
"Masuklah" ucap Rafa.
Arin lalu masuk, ia menatap ruangan yang didominasi warna abu-abu gelap, sangat rapi dan bersih, itu yang pertama kali ia rasakan. Arin lalu duduk disalah satu sofa. Sementara Rafa menutup pintu kembali, Rafa melangkahkan kakinya mendekati Arin. Rafa lalu duduk disamping Arin.
Rafa kembali manatap wajah Arin, ia mengelus pipi lembut Arin. Ditatapnya iris mata itu, penuh cinta. "Kamu adalah nafas saya" ucap Rafa pelan.
Rafa meraih tubuh Arin, dan dipeluknya dengan segenap perasaanya. Arin tidak kuasa menolak, ia menjatuhkan tubuhnya didada bidang Rafa. Tubuh inilah tempat ternyaman yang pernah ia rasakan selain mamanya.
Arin hanya diam, ia dapat mendengar detak jantuk Rafa, berdetak seirama. Rafa mengelus rambutnya, dikecupnya puncak kepala itu.
"Memeluk kamu seperti ini adalah hal yang ingin saya lakukan setiap hari" ucap Rafa. Ia kembali mengecup puncak kepala Arin.
"Tidurlah, nanti saya akan mengantar kamu pulang" ucap Rafa.
******
KAMU SEDANG MEMBACA
SKANDAL ADIK IPAR (SELESAI)
Romance"Rafael" kata itu meluncur dengan sendirinya. "Kamu tidak apa-apa? Apa ada yang terluka?" Tanya Rafa. Ia memperhatikan tubuh Arin, ia memastikan tidak ada terluka sedikitpun ditubuhnya. Rafa mengenal wanita berparas cantik itu. Pertama kali ia lihat...