Lucy terengah-engah. Tubuhnya terasa lemas sekaligus mendamba. Gadis belia itu bahkan berpeluh di tengah dinginnya air conditioner yang disetel dengan suhu rendah pada kamar nya.
Gadis itu mengusap wajah frustasi. Lagi-lagi mimpi itu. Lagi-lagi mimpi tentang Papa nya yang selalu membuat jadwal tidurnya terganggu.
Entah setan darimana, yang jelas, Lucy hampir tiap malam selalu mendapatkan mimpi tidak senonoh nya bersama sang Papa. Demi Tuhan itu Papa nya!!
Apakah ada seorang anak yang bermimpi berbagi keintiman dengan Papa nya sendiri? Apa ada seorang anak yang diam-diam memfantasikan Papa nya sendiri? Ada, yaitu dirinya, si anak pungut yang tidak tahu diri.
Semenjak dua tahun terakhir, Lucy memang kerap gelisah sendiri jika memikirkan reaksi tubuhnya tiap berdekatan dengan sang Papa. Tubuhnya selalu tersentak lembut, darah berdesir hangat dan juga pipi yang terasa memanas.
Lucy bahkan diam-diam pergi ke psikolog di sebuah klinik terpercaya karena terlalu frustasi akan tingkah dan pikiran nya sendiri.
Menghela napas, gadis berusia delapan belas tahun itu beringsut dari atas ranjang queen size nya. Ia mencepol asal surainya lalu melakukan ritual pagi yang biasa dilakukan.
Selesai berurusan dengan ritual pagi, kaki jenjang nya membawa diri menuju dapur yang masih remang. Waktu memang masih menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh. Terlampau pagi untuk terjaga sesungguhnya. Namun daripada ia kembali tenggelam pada mimpi terlarangnya, lebih baik ia mengalihkan pikiran pada sejumput bumbu masak yang ada di dapur, area favoritnya.
Memulai dengan membuka kulkas, Lucy lantas berinisiatif membuat roti bawang dengan scramble egg untuk menu sarapan.
Gadis itu memotong dua bagian pada tiap lembar roti tawar dan mengolesi nya dengan mentega yang telah tercampur dengan parsley, bawang putih cincang dan juga sejumput gula pasir.
Dengan telaten, tangan itu mengolesi tiap lembar roti tawar sambil menyenandungkan lagu-lagu dengan lirih, menunggu roti yang tengah ia panggang hingga berubah kuning keemasan. Dirasa cukup, tangannya lalu mengangkat satu per satu roti bawang yang ada di atas pan.
Beralih pada telur, Lucy meraih lima butir telur dan memecahkannya. Ia menambahkan sedikit susu cair dan juga keju parut di dalamnya sebelum kembali mengocok lepas.
Harum aroma telur benar-benar menggoda. Tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan telurnya. Lucy lantas meletakkan telur itu pada piring nya dan juga piring sang Papa.
Mengangguk puas melihat hasil karya nya, Lucy lantas beranjak menuju kamar Damian. Tepat ketika ia hendak meraih kenop pintu, tangan Lucy lantas urung. Ia terdiam sejenak. Jika ia masuk dengan lancang, ia yakin Papa nya tidak akan pernah marah. Lucy justru mengkhawatirkan keadaan jantung dan juga otak nya yang sering berpikir macam-macam jika menatap Damian.
Sambil menghela napas, Lucy lalu mengetuk pintu besar berwarna cokelat susu itu. Cukup lama, hingga tangannya terasa sakit karena harus terus beradu dengan pintu dari kayu jati tersebut.
Tepat ketika ia hampir menyerah, pintu kamar akhirnya terbuka. Menampilkan wajah bantal Damian dengan rambut acak-acakan dan juga bertelanjang dada. Celana piyama yang menggantung rendah di pinggulnya benar-benar menguji keimanan karena V line indah yang mentereng di sana.
Lucy meneguk ludah. Tidak pernah sekalipun Damian tampil cela, meskipun dalam keadaan terburuk sekalipun. Lelaki itu selalu berhasil mempesona di segala kondisi dan situasi.
"H-Hai Papa."
Damian yang sebelumnya masih setengah mengantuk lantas menaikkan sebelah alisnya begitu mendengar sapaan sang putri yang terkesan seperti....gugup?