Lucy menyesali ucapannya yang mengatakan kalau ia mulai menyukai seseorang. Mood Papa nya langsung terlihat buruk, serta wajah murung yang sangat jelas kentara.
Damian bahkan mendadak menjadi sangat pendiam. Ia jarang berbicara dan juga tidak ada senyum untuknya.
Lucy tertunduk sedih. Apa ia sudah membuat suatu kesalahan fatal hingga membuat Damian marah besar seperti hari ini? Padahal, jika saja Damian tahu, lelaki yang ia maksud tak lain dan tak bukan adalah Papa nya sendiri. Seorang Damian Abraham.
Helaan napas panjang terdengar dari bibir Lucy. Tangan gadis tujuh belas tahun itu tidak henti-henti nya mengusap bulu kelinci di depannya. Ya, di rumah mereka, kelinci amatlah banyak tersebar di kebun belakang yang Damian buat khusus untuk kelinci-kelinci peliharaan Lucy.
"Lagi-lagi aku membuat kesalahan. Seharusnya aku tahu kalau mood Papa pasti akan jelek setiap kali membahas tentang kekasih." sesal nya pada diri sendiri.
Hari ini cuaca mendung, namun tidak menunjukkan adanya tanda akan turun hujan. Lucy bersyukur karena itu artinya dia bisa menghirup udara sore yang terasa sejuk di tubuhnya.
Meninggalkan kelinci-kelincinya, ia melangkahlan kaki menuju ke garasi dan keluar dari area garasi sembari menuntun sebuah sepeda pink yang sangat manis dengan keranjang rotan di bagian depan.
Tepat saat itu juga, mobil Damian memasuki kawasan rumah dan berhenti tepat di samping Lucy dan juga sepedanya.
Mata Lucy berbinar, hendak menyambut kepulangan sang Papa yang memang selalu ditunggu nya.
Namun rasa antusias itu seketika sirna ketika melihat Damian yang keluar dari mobil dengan wajah muram. Yang lebih menohoknya adalah, Damian yang hanya melirik nya sekilas sebelum langkah lebar nya membawa tubuh itu menghilang memasuki rumah.
Mata Lucy berkaca-kaca. Selama tujuh tahun kebersamaannya dengan Damian, baru kali ini Lucy mendapat respon dingin dari Damian dan ia tidak suka.
Lucy menyeka sebulir air mata yang turun membasahi pipi. "Papa pasti hanya kelelahan. Ya, Papa hanya kelelahan." ucap Lucy berusaha membangun pikiran positif.
Menguatkan hati, ia pun menaiki sepeda kesayangannya dan menghilang di balik pagar besar rumahnya.
☀☀☀☀
Damian membiarkan tubuhnya terkena guyuran air hampir satu jam lama nya. Seharian ini ia di buat frustasi oleh ucapan Lucy yang mengatakan kalau putri kecilnya itu menyukai seseorang.
Hati Damian di buat gelisah, marah, sekaligus ketakutan di saat yang bersamaan. Ia gelisah akan fakta kalau kini putri nya sudah mulai mengenal dunia percintaan. Ia marah karena kini putri nya sudah mulai menyukai lelaki lain selain dirinya dan ia takut jikalau suatu saat Lucy akan pergi meninggalkannya.
Damian menggelengkan kepala sambil tangannya tidak berhenti memukul dinding kamar mandi hingga buku-buku jemarinya nampak memar. Ia tidak peduli, ia hanya ingin menyimpan Lucy untuk dirinya sendiri.
"Lucy hanya milik Papa. Lucy tidak akan pernah Papa izinkan mencintai lelaki lain selain Papa." lirihnya dengan penuh tekad.
Satu jam kemudian, Damian memilih menyelesaikan mandi nya karena tubuh yang sudah menggigil kedinginan. Ia keluar dari kamar tepat saat waktu makan malam tiba.
Memasuki ruang makan, Damian merasakan hal aneh karena suasana yang menurutnya terlalu hampa. Ia hanya melihat Marry, asisten rumah tangga nya yang sedang sibuk menyiapkan makan malam.
"Kemana Lucy? Kenapa sepi sekali?" tanya Damian dingin.
Asisten rumah tangga nya tampak menunduk hormat. "Nona Lucy belum kembali sejak sore tadi, tuan." jawab nya lugas.
Damian terhenyak. Sejak sore tadi? Jangan bilang kalau sejak pertemuan mereka tadi sore di depan garasi!
"Kemana pergi nya?" tanya Damian penuh kekhawatiran.
"Maaf tuan, tapi saya tidak tahu." jawab Marry penuh sesal.
"Sial!"
Damian mengumpat lalu dengan cepat meraih kunci mobil nya, memilih mencari Lucy kendati ia sama sekali tidak tahu kemana pergi nya sang putri.
Damian menyusuri area perumahan yang ia tempati sejak tiga tahun lalu. Mata tajam nya menatap penuh teliti tiap sudut area perumahan. Namun nihil. Sudah berjam-jam Damian menyusuri area perumahan bahkan hingga ke pinggir kota demi mencari Lucy yang tidak tahu dimana.
"Lucy, kamu di mana, sayang?" lirih Damian sembari menjambak rambutnya. Ia sungguh menyesal sudah bersikap kekanakan dengan mendiamkan Lucy seharian hanya karena ucapan putri kecil nya.
Damian kembali memacu mobilnya perlahan, menyusuri tiap jalan yang ia lewati. Berharap sosok Lucy akan terlihat olehnya.
Waktu menunjukkan pukul delapan malam ketika Damian di buat terkejut luar biasa mendapati Lucy tengah menuntun sepeda nya bersama seorang lelaki muda sebaya.
Tangan Damian mencengkeram erat kemudi. Mata nya berkobar penuh api kemarahan sekaligus kecemburuan. Ia menginjak rem dengan tiba-tiba, hingga menimbulkan bunyi decit yang sangat keras. Hal itu tentu saja mengejutkan Lucy dengan lelaki muda di samping nya.
Tanpa menunggu lama, Damian langsung turun dengan raut wajah yang benar-benar mengerikan.
"Papa?" tanya Lucy dengan raut yang berkebalikan dari Damian. Wajah cantik itu begitu bersinar dan antusias kendati wajah pucat begitu kentara.
Damian menatap lelaki muda di samping Lucy dengan tajam, mengabaikan Lucy yang sejak tadi mengajak nya berbicara.
"Apa yang sudah kau lakukan pada putriku, anak muda?" desis Damian pelan yang justru membuat Lucy bergidik ngeri. Terselip luapan amarah luar biasa di balik nada pelan Damian.
"Papa." lirih Lucy sambil menggamit jemari kekar Damian yang langsung lelaki itu sambut dengan erat. Damian menyembunyikan tubuh Lucy di belakang tubuhnya, seolah takut jika suatu saat lelaki muda itu akan membawa kabur putrinya.
"Selamat malam, Om. Perkenalkan, saya Alex, teman sekelas Lucy." di luar dugaan, lelaki muda bernama Alex itu justru memperkenalkan dirinya dengan ramah kendati respon Damian begitu dingin dan tajam.
"Apa keinginanmu?"
Alex nampak bingung dengan pertanyaan dari Damian. "Maaf, tapi keinginan apa yang Om maksud?"
Damian berdecih. "Jangan pura-pura. Aku tahu ada niat terselubung di balik kebaikanmu pada putriku!" tuduh Damian.
"Papa, Alex tidak...."
"Diam, sweetheart." desis Damian yang langsung ampuh membungkam Lucy.
Alex tampak melongo sesaat sebelum akhirnya berdeham. "Maaf, sebelum nya saya hanya ingin mengatakan kalau saya sama sekali tidak memiliki niat terselubung apapun pada putri Om. Saya hanya kebetulan bertemu Lucy di minimarket depan dan kami mengobrol sambil pulang bersama. Rumah saya tidak jauh dari sini, Om."
Damian masih memicing menatap Alex. "Dan kau pikir aku akan percaya? Jauhi putriku! Jangan pernah lagi kau berani menemui nya atau kau akan tahu akibatnya." ancam Damian lalu segera menyeret Lucy dari hadapan Alex dan memaksa putrinya untuk memasuki mobil tanpa memedulikan sepeda putrinya yang kini diambil alih oleh Alex.
Damian membanting pintu mobil teramat keras, hingga membuat Lucy meringkuk ketakutan di dekat pintu mobil. Damian bahkan tidak peduli dengan kecepatan mobil yang ia kendalikan.
Beberapa menit berlalu akhirnya mobil itu sampai juga di garasi rumah. Tanpa berkata, Damian segera keluar lalu memutar langkah untuk membuka sisi pintu tempat Lucy dan kembali menyeret Lucy.
Marry yang melihat kedatangan tuan serta nona kecilnya tidak mampu menutupi raut lega nya. Ia mendekat namun terhalang oleh ucapan dingin Damian.
"Panaskan lagi makanan itu dan kau boleh beristirahat."
Marry masih menatap tuan dan nona kecilnya dengan tatapan penuh tanya. Ekspresi kedua nya sangat kontras. Wanita paruh baya itu menghela napas panjang. Semoga saja tidak terjadi apa-apa pada kedua nya.
🔶🔶🔶
30 Oktober 2019
Xylinare.