"Nyonya Abraham terkena anosmia, atau bisa disebut juga kehilangan kemampuan menghidu atau mencium sesuatu. Saraf traktus olfaktorius milik Nyonya Abraham mengalami kerusakan yang saya perkirakan karena terjadinya benturan hebat di hidung nyonya Abraham."
Penjelasan dari dokter mengenai kondisi Lucy seketika membuat seluruh keluarga histeris. Alzbeta sudah meraung-raung, iba dengan keadaan sang cucu. Jakub dengan mata kosong menerawang, sedangkan Damian sendiri sudah merosot hingga terduduk di atas lantai dengan mata yang memerah.
Kenyataan ini merupakan pukulan hebat bagi keluarga Abraham, terlebih bagi Jakub yang secara tidak langsung merupakan penyebab hilang nya kemampuan mencium Lucy saat ini.
"Anda pasti tidak serius kan, dok?" kekeh Damian yang terlihat kacau sekaligus getir. Ketiga orang di sana tampak menatap Damian sendu.
"Maaf sekali tuan, sayang nya itulah fakta yang ada. Saya tidak mungkin berani memberi diagnosa palsu, apalagi sampai berbohong mengenai kondisi pasien."
Kepala Damian menggeleng. Terus ia lakukan sambil menggumamkan kata 'ini tidak mungkin. Lucyku baik-baik saja'.
"Apa bisa di lakukan tindakan lanjutan dok?" tanya Jakub dengan suara parau.
"Sekali lagi, sampai saat ini, belum ada penanganan yang bisa ditemukan untuk penderita anosmia, tuan. Saya mohon maaf. Dan saya juga memberi himbauan untuk Anda sekeluarga agar mengawasi ketat setiap makanan yang akan Nyonya Abraham makan nanti nya. Karena seperti yang kita tahu, seseorang yang kehilangan indera penciumannya, tidak akan mampu membedakan makanan basi dan makanan yang masih segar karena indera perasa nya juga otomatis akan melemah. Tolong awasi terus asupan makanannya."
Alzbeta makin terisak hebat. Ia mengumpat pada suaminya, memukul tubuh kekar yang kini tampak kuyu itu dengan membabi buta. "Apa yang kau lakukan?! Apa yang kau lakukan pada cucuku, Jakub?!" teriak nya histeris hingga memancing perhatian pengunjung serta perawat yang berlalu lalang.
Dokter di hadapan mereka ikut membantu meraih tubuh Alzbeta yang kini meronta hebat di pelukan sang suami. Setelah memanggil seorang perawat, dokter tersebut segera membawa Alzbeta ke ruangan untuk diberi tindakan lanjut.
Damian masih membisu, seolah raungan Ibu nya tidak berarti apapun di telinga nya. Ia masih sulit menghadapi kenyataan yang dipaparkan oleh pihak dokter yang menangani Lucy.
Lelaki itu tinggal berdua dengan Marry yang tadi menghantarkan Alzbeta karena kini nyonya besarnya sedang ditangani ditemani oleh sang suami.
"Tuan." isak Marry sedih. Keadaan ini benar-benar menghancurkan hati Abraham sekeluarga.
"Kenapa ini semua harus terjadi, Marry? Kenapa bukan aku saja yang menanggung semua nya? Kenapa harus dia? Kenapa harus malaikat kecilku?" lirihnya dengan air mata yang menitik.
Damian melingkarkan tangannya di perut Marry yang sebelumnya ikut bersimpuh di hadapan sang majikan.
"Tuan, sadarlah tuan. Tuan tidak boleh seperti ini. Nona Lucy harus terus menerima dukungan demi menghadapi hal ini. Dan saya yakin, dukungan Anda akan sangat berarti bagi nona Lucy."
Damian menumpahkan tangis nya di bahu Marry hingga sweater yang wanita itu kenakan basah akibat cucuran tangis dari lelaki seperti Damian.
"Jika saja...jika saja Lucyku tidak mengorbankan diri untuk melindungi ku. Aku gagal, Marry. Aku gagal sebagai pelindung putri sekaligus wanita yang paling kucintai. Aku pecundang." isak nya tanpa menghiraukan tatapan pengunjung yang nampak melongo karena melihat seorang lelaki menangis bak perempuan patah hati.
Marry menggeleng. Jemari nya mengusap lembut pada rambut Damian, seseorang yang sudah ia anggap seperti putra nya sendiri. "Ini semua bukan salah tuan. Ini takdir hidup yang sudah Tuhan tentukan. Kita sebagai anak Nya hanya bisa terus bertahan dan berjuang."
Damian masih terus memeluk tubuh Marry dengan erat, tidak mempedulikan imej nya sebagai lelaki yang akan terlihat lemah dengan sebuah tangis. Persetan itu semua, karena saat ini yang ada di benak nya adalah, bagaiamana cara nya untuk terus mensupport dan mendampingi Lucy, wanita yang paling dicintai nya.
☀☀☀☀
Mata Lucy tampak kosong menatap pada taman yang langsung berhadapan dengan jendela kamar nya. Gadis itu menikmati saat senja seperti hari ini. Saat yang juga tepat untuk menangisi keadaanya. Lucy memang sudah mengetahui kondisi nya lewat penjelasan dari Damian siang tadi. Ia tidak menangis ataupun meraung. Ia hanya diam membisu dengan tatapan kosong.
Kini ia hanyalah seorang gadis cacat. Seorang gadis yang nanti nya tidak akan bisa menjadi istri idaman bagi suami. Terlintas di benak nya kalau sampai kapanpun, ia tidak akan bisa lagi memasakkan makanan kesukaan Damian. Tidak bisa lagi memanjakan Damian dengan resep-resep yang sudah ia kuasai akibat ketekunannya untuk terus belajar memasak.
Hidupnya kini hambar, dalam artian yang sesungguhnya. Tidak ada lagi sensasi nikmat yang lidah nya kecap jika menyantap suatu makanan. Hari-hari nya akan berjalan bak orang pesakitan yang memakan menu rumah sakit. Menu yang identik dengan kehambarannya.
Tanpa sadar air mata nya menitik. Gadis itu sedih. Tentu saja. Siapa di dunia ini yang tidak sedih jika kondisi cacat nya akan bertahan seumur hidup?
Namun di satu sisi, Lucy bersyukur, karena musibah ini tidak menimpa Damian, orang yang paling ia cintai di muka bumi ini. Pengorbanannya saat itu rupa nya tidak sia-sia.
Sebuah tangan yang melingkari leher nya sontak membuatnya terperanjat. Jika dulu, ia hanya butuh menghirup aroma seseorang untuk bisa mengetahuinya, saat ini ia harus betul-betul menatap sosok tersebut untuk mengetahui siapa pemeluk tubuhnya.
Bibir nya menyunggingkan senyum. "Papa." sapa nya riang, mengabaikan kalau mungkin saja kini di pipi nya masih ada jejak air mata.
Damian yang melihat wajah riang, namun terdapat jejak air mata di wajah Lucy lantas menatap sendu putrinya. "Baby girl." bisiknya dengan menyematkan sebuah kecupan lembut di bibir.
"Rambut Papa basah. Papa pasti baru saja mandi." tebak nya dengan memainkan rambut basah Damian.
Damian tersenyum pilu. Ya, ia memang mendekam di kamar mandi, namun bukan untuk mandi, melainkan untuk menyalurkan tangis sedihnya. Ia sengaja membasahi bagian kepala nya saja agar terlihat seperti baru saja mandi.
Kepala nya mengangguk. "Iya sayang, Papa baru saja mandi." hati nya menangis pilu ketika menghadapi kenyataan kalau Lucy memang sudah tidak bisa lagi menghidu aroma di tubuhnya.
Lucy tersenyum lebar. "Pantas saja Papa lama sekali di kamar mandi nya."
Damian mengusap lembut pipi kemerahan Lucy. "Papa ingin sekali mengajakmu mandi bersama, baby." bisiknya diiringi senyum nakal nya, kendati mata lelaki itu sembab.
Lucy terkekeh sambil memukul tubuh Damian. "Pervert!"
Damian menatap tawa renyah Lucy, menyimpannya jauh ke dalam memori. "Papa selalu suka tawamu, sweetheart." Lucy memejamkan mata, merasakan sentuhan Damian di atas bibirnya.
"Dan Lucy juga suka tawa dan senyum Papa." tukas nya dengan mengusap rahang Damian yang disambut oleh pejaman erat mata lelaki tiga puluh tiga tahun itu. "Jangan menangis lagi, Pa. Lucy tidak apa-apa. Lucy bisa melewati semua ini asalkan Papa tetap di samping Lucy." jelas nya dengan mata yang berkaca-kaca. Pun dengan Damian.
Lelaki itu menyatukan kening nya dengan kening Lucy, juga menggesekkan lembut hidung mereka. "Jangan pernah ragukan Papa, sayang. Sampai kapanpun, Papa akan selalu bersama Lucy." ucap nya lembut yang di sambut anggukan Lucy.
Damian merebahkan tubuhnya tepat di samping tubuh Lucy. Kasur kamar VVIP jelas sangat muat menampung tubuh kedua nya. Damian lantas memeluk erat tubuh Lucy, mengecup puncak kepala nya dan menumpukan dagu di sana.
Lucy memejamkan mata, merasa emosional dengan keintiman yang ayah nya berikan. "I love you, Pa." lirihnya.
Tubuh Damian menegang sesaat, lalu kembali relaks yang diikuti dengan pelukan yang semakin erat. "I love you too, honey. I really really do." bisiknya dengan air mata bahagia di tengah kesedihan mereka.
🔶🔶🔶
Kalau ada yang lebih tau ttg penjelasan mengenai anosmia, aku minta maaf kalo ada kesalahan ya.
01 Januari 2020
Xylinare.