Malam ini, di ruang keluarga rumah milik Damian, tiga orang dewasa di sana tengah duduk termenung di sofa, dengan pintu samping yang tepat menghadap taman terbuka. Mengalirkan sepoi nya angin malam membelai kulit mereka.
Ketiga orang di sana sama-sama tengah merenung, memikirkan bagaimana baik nya keadaan Lucy yang semenjak di bawa pulang ke rumah, tidak juga mengalami perubahan berarti.
Mereka diam-diam menangis. Menangisi bagaimana iba nya mereka melihat Lucy yang tiap menyantap makanan selalu saja tampak sedih dan juga ingin muntah. Bahkan mereka tahu kalau tiap selesai menyantap makanan, Lucy akan diam-diam menangis di kamar nya dengan membekap kuat bibir nya menggunakan selimut.
Jangan tanya bagaimana hancur nya hati Damian. Ia kira, selepas perawatan yang Lucy nya terima ketika di rumah sakit, bisa sedikit membuat gadisnya tegar menghadapi kenyataan. Namun semua nya salah. Lucy nya tidak akan lagi sama selepas insiden pilu itu terjadi.
Mata berbinar ceria nya seakan musnah, lenyap, tak bersisa. Hanya ada mata sembab nan bengkak yang mengisi kedalaman mata indah itu. Jangan lupakan senyum palsu nya juga yang selalu dapat di baca dengan mudah oleh Damian.
"Mommy tidak sanggup lagi melihat keadaannya. Mommy tidak tega." tangis sedih dari Alzbeta tentu saja di dengar jelas oleh Damian. Namun lelaki itu masih tetap tidak berubah dari posisi nya, yang menyangga wajah dengan kedua tangan yang bertumpu di kedua sisi paha, memandang kosong karpet bulu lembut sebagai alas yang kini tampak lebih menarik dari apapun.
"Sayang, apa tidak ada pengobatan lain yang bisa kita usahakan untuk cucu kita? Tidak mungkin bukan kalau Lucy akan jadi cacat selama nya." rintih Alzbeta yang kali ini langsung meraih atensi penuh dari putera nya.
Sang putera terlihat menatap wajah Alzbeta dengan raut gelap, gigi nya bergemeletuk ketika kata 'cacat' terasa begitu mudah keluar dari bibir seorang wanita yang berstatus sebagai nenek itu.
"Lucy ku tidak cacat! Dia tetap Lucy yang sama, tidak ada yang berubah!" desis Damian, berusaha keras menekan keinginannya untuk berteriak murka dan menahan emosi yang kini meletup-letup hebat di dada. Hati nya perih mendengar kalau Lucy nya 'cacat'.
Tidak! Gadis nya tidak cacat. Gadis nya hanya sedang tidak beruntung karena di pilih Tuhan untuk merasakan cobaan.
"Son, kau tahu betul kalau Mommy mu tidak bermaksud seperti itu." Jakub yang sepertinya mengerti akan amarah Damian lantas segera meralat ucapan Alzbeta yang kini juga sama kacau nya dengan sang putera.
"Lantas apa? Apa yang bisa Mommy jelaskan tentang kata terkutuk yang keluar dari bibir nya itu? Tidak sadar kah kalian kalau sekarang Lucy sedang bergelut dengan dirinya sendiri? Tidak sadar kah kalau sekarang Lucy sedang down dan butuh dukungan? Dan aku tak percaya kalian bisa dengan tega nya memanggil Lucy ku dengan kata cacat seperti itu!" Lepas sudah kendali Damian untuk menahan luapan amarah nya. Tak peduli dengan malam yang semakin larut, tak peduli dengan waktu yang hampir menuju dini hari, dan tidak peduli juga akan sepasang mata yang telah mengintip obrolan mereka sejak beberapa saat lalu.
"Nak, maafkan Mommy. Mommy tidak bermaksud untuk..."
"Shut up, Mom. Sebelum aku kehilangan kendali lebih." Damian mencegat pembelaan Ibu nya mengenai kata cacat itu. Memang, obrolan dengan dominasi kepala panas sekaligus rasa terpuruk bukanlah saat yang tepat. Hanya akan ada amarah, caci, serta saling menyalahkan tanpa memikirkan jalan keluar.
"Aku tidur dulu." pamit nya dan langsung menuju ke kamar putrinya yang selama beberapa hari ini sudah menjadi kamar tetap nya.
Ya, setelah Lucy pulang dari rumah sakit, Damian memutuskan untuk tidur bersama dengan Lucy. Ia seakan tidak ingin lagi jauh-jauh dengan putrinya, tidak ingin putrinya dalam bahaya jika sedetik saja ia jauh dari Lucy.
Tiba di kamar bernuansa feminin itu, Damian lantas menutup pelan pintu kamar dan dengan perlahan ikut merebahkan tubuhnya di sisi kanan ranjang. Tangannya secara refleks langsung meraih tubuh Lucy nya untuk ia dekap dengan erat dengan menyematkan sebuah kecupan panjang di dahi putrinya yang tengah pulas. Tak sadar ia menitikkan air mata yang kini meluncur mulus di dahi sang putri.
"Kau tidak cacat sayang. Tuhan hanya terlalu menyayangimu hingga ingin selalu di dekatmu. Jangan pedulikan ucapan orang. Bagi Papa, Lucy tetap putri, sekaligus gadis kecintaan Papa. Papa mencintaimu sayang, calon istriku." parau Damian lirih yang tanpa sadar juga turut memancing setitik air mata dari sosok yang dipeluknya.
🔆🔆🔆🔆
Pagi itu, ketika Lucy turun menuju meja makan untuk agenda sarapan bersama, ia jelas melihat bagaimana susasana hening menyambut pagi di rumah Abraham. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan sebelum nya.
"Selamat pagi semua nya." sapa Lucy pelan dengan menarik kursi yang tepat berada di sisi Damian.
Ketiga orang di sana sontak menatap ke arah nya dan segera merubah raut mereka menjadi raut ceria, seolah tidak terjadi apapun.
"Selamat pagi, sayang." sapa mereka nyaris berbarengan. Mereka dengan rela bangkit dari kursi mereka dan mengecup pipi nya bergantian. Sedikit berbeda dengan Damian yang mengecup sudut bibir nya begitu lama.
"Selamat pagi, cintaku." sapa Damian penuh kelembutan. Lelaki itu mengusap sayang surai milik Lucy. Memancing rona merah hebat di kedua pipi chubby putrinya.
"Mau susu atau jus, sayang?" tanya Damian yang dengan sigap menanyakan keinginannya.
"Susu putih saja, Papa."
Damian sesaat terdiam, sebelum akhirnya kembali tersenyum dan dengan cepat mengambil kan segelas susu putih permintaan Lucy.
Kau bahkan tidak pernah menyukai susu putih, sayang. Batin Damian kembali merintih ketika melihat perubahan besar yang terjadi pada putrinya.
"Lucy suka susu putih? Bukannya itu amis, sayang?" Alzbeta bertanya pada Lucy dengan kening berkerut, tidak menyadari akan perubahan sang cucu.
Lucy terlihat tersenyum singkat. "Sekarang, bau amis itu tidak akan pernah tercium lagi, Grandma." balas nya.
Seketika itu suasana hening. Alzbeta terlihat sekali menyesal dengan ucapannya. Tidak peka akan alasan Lucy yang kini lebih menyukai susu putih.
"Pagi ini, kau terlihat cantik sekali sayang. Mau kemana hm?" tanya Damian berusaha mengalihkan topik sekaligus mengubah suasana yang seketika terasa sedih.
"Ah iya, Lucy lupa bilang pada Papa semalam. Hari ini, Lucy akan kembali latihan basket dengan Alex, Pa. Nanti dia akan menjemput Lucy pukul sembilan. Boleh kan Pa?"
Damian tidak langsung menjawab pertanyaan putrinya. Ia menatap lekat wajah Lucy yang terlihat sekali cemas, sepertinya takut jika ia menolak.
Damian menarik napas berat. Ia tidak akan mungkin tega menghalangi kesukaan Lucy. Sudah cukup kebahagiaan sang putri terenggut dengan hilang nya daya penciuman dan pengecap nya. Ayah seperti apa yang akan menolak izin sang putri yang sangat manis seperti ini?
Maka, dengan sebuah anggukan mantap serta sebuah senyum lebar, Damian menyetujui kepergian Lucy bersama Alex. "Tentu saja, sayang. Hanya selalu ingat untuk kabari Papa dan juga jangan terlalu lelah. Bisa kan Lucy menjaga kepercayaan Papa?"
Mata indah itu untuk pertama kali nya berbinar tanpa kepalsuan semenjak kepulangan nya dari rumah sakit. Dan Damian seolah lega karena ia menuruti kata logika nya ketimbang hati nya.
"Tentu saja, Papa. Lucy akan terus memberi kabar dan tidak kelelahan." balas nya ceria dan penuh binar.
🔶🔶🔶
Part ini aku dedikasikan buat semua pembaca setia Damian-Lucy. Semoga suka ya😘😘 sorry berantakan, aku bikin ini dalam tempo 30 menit doang, jadi maklumkan kalo banyak kesalahan.
18 Januari 2020
Xylinare.