"Bagaimana keadaan putri saya, dok?"
Dokter yang baru saja selesai memeriksa keadaan Lucy menghela napas panjang. "Nona Lucy hanya syok biasa. Namun saya kira, itu juga ditunjang dengan menahan rasa sakit di area dada nya karena ada luka lecet yang cukup parah. Damian, bagaimana bisa Lucy mendapat lecet seperti itu?"
Dokter Ben, dokter keluarga Abraham yang sebagian rambutnya sudah memutih itu menatap Damian dengan tatapan menyelidiknya.
"Saya rasa itu bukan urusan Dokter Ben." ucap Damian sambil membuang wajahnya.
Dokter Ben lagi-lagi menghela napas panjang menghadapi kekeras kepalaan Damian. "Baiklah, itu privasimu. Maafkan aku jika mengganggu kenyamananmu." ucap dokter Ben mengalah. "Berikan salep ini dua kali sehari dengan tipis-tipis. Kusarankan untuk sementara waktu agar membiarkan Lucy tetap dengan keadaan tubuh terbuka. Gesekan dengan pakaian hanya akan memperlambat kering nya luka lecet itu sendiri." jelas Dokter Ben sambil mengasongkan sebuah resep obat pada Damian.
Damian mengangguk. "Baik. Terima kasih, dok. Maaf mengganggu waktu istirahat mu."
Damian lantas mengantar kepergian Dokter Ben sebelum akhirnya kembali memasuki kamar. Ia akan meminta Marry untuk menebus resep obat ke apotik terdekat dan tentu nya terpercaya.
Wajah Damian sendu menatap sosok Lucy yang kini tertidur pulas. Tangannya bergetar ketika ia hendak mengusap surai lembut milik putrinya. Dari hati yang paling dalam, Damian sungguh menyesal. Ia menyesal karena membiarkan emosi menguasai tubuhnya dan berakhir dengan menyakiti Lucy, hal yang sebelumnya sama sekali tidak pernah terlintas di kepala nya.
"Lucy sakit. Dan semua ini karena Papa kan, nak?" monolog Damian dengan suara serak menahan tangis. Ia sedikit menundukkan tubuhnya dan mengecup tiap jengkal wajah Lucy.
"Maafkan Papa, sayangku. Papa tahu kalau perbuatan Papa tidak termaafkan." bisik nya tercekat.
Damian terus menatap dan mengecupi wajah damai Lucy. Lelaki tiga puluh dua tahun itu merebahkan tubuhnya di sisi kanan Lucy dan menarik tubuh indah itu masuk ke dalam dekapannya.
Oh Tuhan, ini lah surga dunia yang sesungguhnya. Aroma Lucy begitu memikat karena campuran sabun mandi miliknya yang berpadu dengan harum alami tubuh putri cantiknya. Hidung Damian mengendus setiap inci tengkuk Lucy, membuat kewarasannya terkikis perlahan. Bibir nya kini ikut menyusuri kelembutan dan keharuman kulit Lucy secara menggila. Lidah nya ikut bermain, tanpa sadar meninggalkan tanda nya di sepanjang sisi samping leher jenjang nan bersih milik Lucy.
"Enghhh."
Kesadaran menghantam Damian seketika. Tubuh kekar nya untuk sesaat kaku, tidak percaya akan perbuatan nya baru saja yang secara tidak langsung berbuat cabul pada Lucy, harta berharga dalam hidupnya.
Dan Damian tidak bisa membendung air mata nya. Lelaki itu menangis dalam diam, menyesali segala nya. Segala kesakitan Lucy yang berakar dari pikiran kotor dan primitif miliknya. Damian menyerukkan wajah nya semakin dalam pada lekukan leher harum itu, menggumamkan maaf dengan pilu dalam hati.
Maafkan Papa, sayangku.
☀☀☀☀
Cahaya matahari yang menelusup masuk ke dalam kamar mengganggu nyenyak tidur Lucy. Gadis itu merintih kesakitan akibat luka lecet hampir pada sebagian tubuh bagian depannya. Dan tubuhnya yang terasa dingin pun semakin mendukung dirinya untuk segera terjaga.
Mata nya menelusuri suasana kamar yang ia tahu milik Damian. Ini bagai kamar kedua bagi Lucy karena sering nya ia terlelap bersama Damian usai bercerita tentang aktivitas mereka seharian.
Dan kamar ini begitu hening. Tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang.
Dengan sekuat tenaga di tengah rasa perih yang menghantam, Lucy bangun dari rebahannya. Gadis itu terkesiap ketika mendapati dirinya yang sepenuhnya telanjang di balik selimut lembut milik Damian.