Lucy asyik menatap Alex dan teman-teman yang hari ini tampak berlatih dengan serius. Tapi walaupun suasana terlihat serius, ada saja kelakuan yang menimbulkan tawa bagi Lucy. Entah itu Alex, ataupun teman-teman yang lain.
Lucy bahkan nyaris menangis karena tak tahan melihat tingkah Alex dan lelaki bernama Jeremy yang terus saja berbenturan, entah itu pinggang ataupun lengan.
Alex mencebik kan bibir sambil menuju ke arah Lucy. Latihan break sejenak untuk sekedar minum dan melepas lelah. Lucy menyambut Alex dengan tawa lepas nya yang terdengar sangat merdu.
"Berhenti lah tertawa, Lu." sungut Alex keki sambil meminum air mineral yang baru saja diberikan Lucy.
"Kau terlihat lucu. Aku sampai menangis melihatmu dan Jeremy yang terus saja bertabrakan." Lucy terkikik senang, yang kini di balas senyum lembut Alex. Tangan pemuda itu mengusap lembut kepala Lucy.
"Senang melihatmu kembali tertawa, Lu. Kau terlihat cantik."
Tawa Lucy mereda, di ganti dengan desahan napas panjang. "Semua terasa berat, Lex. Aku nyaris menyerah. Aku rindu hidupku yang lama." sendu gadis itu dengan mata yang menerawang jauh.
Alex tahu bagaimana kehidupan Lucy yang kini berubah seratus delapan puluh derajat. Tangan besar nya meremas lembut tangan kecil Lucy sebelum menggenggam nya erat. "Bahkan pelangi saja baru muncul setelah hujan lebat, kan? Tidak ada alasan bagimu untuk menyerah, Lu. Ini garis takdir hidup. Selagi raga kita masih bisa bertahan, jangan pernah sekalipun kau berpikir untuk menyerah." Alex tampak serius memberikan wejangan bagi Lucy. "Pikirkan bagaimana perasaan your daddy kalau sampai melihatmu menyerah akan kehidupan."
Ucapan Alex mau tak mau mempengaruhi Lucy. Alex betul. Apa jadi nya kalau sang Papa sampai mengetahui jika dirinya kerap berpikiran untuk mengakhiri hidup? Lucy bahkan sudah nyaris menangis memikirkan kesedihan dan juga rasa bersalah yang pasti nya menggerogoti Damian.
"Kau benar. Aku harus memikirkan Papa. Dia pasti akan sedih jika sampai mengetahui kesedihanku."
Alex tersenyum, diam-diam bersyukur karena ucapan nya di dengarkan dengan baik oleh gadis cantik itu.
"Jadi, sudah yakin untuk survive? C'mon, hidup itu terlalu indah untuk di sia-siakan."
Lagi, Lucy menyetujui ucapan dari Alex. Gadis manis itu tersenyum lebar lalu mengangguk. "Tentu! Aku harus semangat. Setidak nya untuk diriku sendiri dan juga untuk Papa."
Alex mengacungkan kedua jempol nya dan tak lupa mengusak rambut Lucy. "Anak pintar."
☀☀☀☀
"Iya, Papa. Sekarang, Lucy dalam perjalanan pulang."
"....."
"Papa jangan khawatir ya. Lucy pasti akan memberi kabar kalau sudah sampai rumah."
"...."
"Hmm, love you too, Papa."
Lucy tersenyum sendiri begitu menyudahi telepon nya dengan Damian. Gadis itu terus menatap ya, menampilkan gambar Damian yang sedang mengecup pelipis nya dari belakang.
Gambar ini salah satu favoritnya. Di foto itu ia bisa melihat bagaimana bahagia nya wajah sang Papa yang tersenyum lepas dan juga begitu bahagia. Ah, ia pasti selalu saja berkaca-kaca jika mengingat momen itu.
Asyik menatap wallpaper ponsel, gadis itu tak menyadari kalau saat ini ia sudah mulai bergeser dari kawasan pedestrian dan malah berada di pinggiran jalan. Suara klakson nyaring mengejutkan Lucy hingga gadis itu refleks langsung berjongkok sambil menutupi kedua telinga nya.