Hari sudah larut malam ketika Jakub dan Alzbeta memutuskan untuk menginap di kediaman Damian atas permintaan Lucy.
Gadis itu merengek sedih ketika melihat Grandma dan Grandpa nya berpamitan. Jakub serta Alzbeta yang sangat menyayangi Lucy pun akhirnya memutuskan untuk menginap, luluh ketika melihat puppy eyes serta kesedihan yang tergambar jelas di wajah cantik sang cucu.
Dan ketika malam hari tiba, Jakub dan Alzbeta di antar Lucy menuju kamar yang sudah gadis itu siapkan. Damian yang sejak tadi terus merasa resah karena sikap Lucy yang ia anggap lain dari biasanya memutuskan untuk menunggu di kamar nya. Ia yakin Lucy akan datang ke kamar nya, karena entah sejak kapan, kamar ini seolah juga menjadi kamar tetap bagi Lucy.
Damian risau apabila mengingat sikap sang putri yang sejak kepulangannya jelas menunjukkan keceriaan yang berlebihan. Gadis cantik nya seolah sekuat mungkin menunjukkan rasa ceria nya untuk menutupi suatu hal. Dan memikirkan Lucy yang memilih duduk berjauhan darinya benar-benar membuat Damian frustrasi.
Setiap hari nya, tidak sekalipun Damian lepas dari tubuh Lucy. Tubuh mungil itu seolah pelengkap kehampaan yang selama ini ia rasakan. Bersama Lucy, semua terasa benar dan menyenangkan.
Oleh sebab itulah, Damian kini semakin frutrasi ketika sudah tiga puluh menit ia menatap pintu dengan nyalang namun tidak ada sedikitpun tanda-tanda akan hadir nya sosok yang ia tunggu-tunggu.
Tak sanggup menahan kerisauan, Damian mengambil langkah lebar menuju kamar sang putri yang terlihat tertutup rapat. Lalu tanpa mengetuk, jemari kokoh itu memutar knop pintu.
Mata nya disuguhkan oleh pemandangan lezat Lucy yang tengah berganti pakaian dengan setelah piyama berwarna kuning tanpa lengan.
Lucy nya tampak sangat terkejut. Ia bahkan cepat-cepat memakai piyamanya kendati mata Damian sudah merekam ketelanjangannya.
"Papa. Ada apa?" tanya gadis itu tenang. Damian nyaris melongo melihat bagaimana pintar nya sang putri mengubah ekspresi di wajah serta suaranya. Ia semakin yakin ada yang salah dengan Lucy.
"Memang nya Papa tidak boleh mengunjungi putri papa?" tanya Damian tenang dengan menekankan kata putri papa. Ia memutuskan untuk mengikuti permainan Lucy.
"Tentu saja boleh. Tapi Lucy sudah mengantuk, Pa. Lebih baik besok saja. Lucy tidak boleh bangun terlambat karena akan ada pertandingan basket antar sekolah."
Damian mengetatkan rahang nya tidak suka. Lucy nya sudah mulai berani membangkang dan lebih memilih pertandingan basket tak bermutu itu ketimbang dirinya.
"Papa tidak pernah mengizinkan Lucy untuk melihat pertandingan itu. Sekolah bahkan tidak mewajibkan kehadiran bagi siswa yang tidak berkepentingan dengan lomba. Lagipula, untuk apa Lucy datang kesana? Apa di sana ada Alex? Atau ada lelaki yang Lucy suka? Sayang, anak basket itu hanya sekumpulan playboy yang suka memainkan hati perempuan. Dan Papa jelas tidak mau putri Papa di permainkan oleh playboy macam mereka." desis Damian tidak suka. Amarah nya semakin menggelegak ketika melihat Lucy yang kini berbaring dengan memunggungi nya. Ia merasa di acuhkan.
"Dan alasan Papa itu tidak masuk akal. Mereka jelas sekumpulan anak berbakat yang mengeksplor bakat mereka secara tepat. Tidak ada secuilpun dari pikiran buruk Papa yang terdapat di diri mereka. Lagipula, tidak semua anggota basket itu seperti apa yang Papa pikirkan" tukas Lucy sambil menghembuskan napas lelah. Ia terkadang sangat kesal jika Damian sudah bersikeras seperti ini. Penjelasan sampai berbusa pun di rasa hanya omong kosong bagi sang ayah.
"Jika memang Lucy merasa ucapan Papa tadi hanya omong kosong, maka jangan datang ke pertandingan tak bermutu itu." geram Damian mulai memunculkan amarahnya.
Lucy yang sebelumnya berusaha menulikan telinga nya sontak berdiri ketika mendengar penilaian sang ayah. Gadis itu menatap Damian dengan pandangan tak percaya nya. "Pa, permainan siswa seperti mereka memang belum sebaik pemain profesional. Tapi setidak nya mereka berjuang untuk saling melatih dan memberi masukan, menerapkan strategi untuk mengharumkan nama sekolah." jelas Lucy yang mulai terpancing amarahnya. Rasa kecewa terhadap sang ayah, di tambah dengan pemikiran yang jelas negatif terhadap anggota basket sekolahnya semakin membumbungkan amarah dara berusia tujuh belas itu.
Damian berdecih penuh ejek. "Oh benarkah? Kenapa Papa merasa kalau ucapan Lucy seakan memiliki makna lain hm? Seperti....Alex tidak termasuk ke dalam golongan orang seperti itu?" ejek Damian yang membuat Lucy tercekat. "Papa tahu kalau Lucy ingin menonton pertandingan itu karena Alex bukan?"
Lucy kini terkesiap ketika melihat angkara Damian yang mata nya jelas menggelap penuh amarah. "Kenapa Papa membawa-bawa nama Alex?" cicit Lucy tidak habis pikir. Ya, Lucy memang ingin menonton pertandingan basket itu karena ajakan dari Alex yang kala itu menemani nya pulang karena kesedihan nya pada sikap Damian.
"Karena lelaki itu bajingan yang akan merebutmu dariku, sialan!" bentak Damian di tengah hening nya malam. Lucy bahkan terlonjak kaget karena kerasnya bentakan sang ayah. Untung nya dinding kamar itu kedap suara, hingga Lucy tidak khawatir akan Grandma dan Grandpa nya yang mendengar pertengkaran mereka.
"Apa yang Papa bicarakan? Alex tidak akan melakukan hal itu. Dia lelaki baik yang bahkan mengantarkan putri mu ini pulang." tukas Lucy berusaha menyadarkan Damian dari gelap mata nya.
"Ya, dia baik karena mengantarmu pulang, bergurau dan bercerita tanpa memikirkan kalau Papa mu ini nyaris mati karena panik dan ketakutan mencarimu!" teriak Damian sambil mengukung tubuh Lucy yang tidak siap akan terjangannya.
Tubuh mungil putrinya sudah menggeliat tak nyaman karena Damian yang memang sepenuhnya menindih Lucy. Ia terlampau marah untuk memikirkan jika saja tindakannya itu akan menyakiti Lucy.
"Tapi bukankah Papa menginginkan itu?" tanya Lucy lirih dengan wajah yang memerah menahan tangis. "Bukankah seharian itu Papa bahkan tidak mempedulikan Lucy?" Lucy semakin mencecar Damian yang kini tampak mematung.
Lelaki tiga puluh dua tahun itu terpekur mendengar ungkapan sang putri. Ia bahkan terlihat brengsek hari itu. Mengacuhkan keberadaan sang putri, mendiamkan sang putri hanya karena emosi dan cemburu buta nya akan ucapan Lucy yang mengatakan kalau putrinya itu tengah mencintai seseorang. Oh Tuhan...
"Dan bukankah sikap Papa hari itu berhubungan dengan kehamilan onty Chloe?"
Kini giliran Damian yang terkesiap. Bagaimana bisa gadis kecilnya menyimpulkan hal seperti itu? Hamil? For god sake!
"Sayang..."
"Lucy bahagia untuk Papa." senyum Lucy yang terlihat seperti ringisan. "Lucy akan memiliki adik kecil dari Papa dan juga onty Chloe. Adik bayi pasti akan sangat menggemaskan."
Damian bak orang linglung ketika tubuhnya dengan mudah di dorong oleh Lucy hingga kini posisi mereka saling berhadapan. Lelaki itu bahkan bisa melihat tubuh mungil nan sekal putrinya yang kini mulai beranjak, berjalan mendekati pintu.
Namun tubuh itu berhenti tepat di depan pintu. Suara putrinya terdengar lirih dan lelah. "Lucy bahagia untukmu, Pa." bisik nya lalu menghilang di balik pintu yang kini sudah kembali tertutup.
🔶🔶🔶
Sorry typos.
24 November 2019
Xylinare.