Di dalam ruangan ini, Lucy takjub melihat bagaimana cantiknya sosok yang tengah berhadapan dengannya. Sosok cantik itu balik menatapnya, mengikuti segala gerak geriknya tanpa cela. Belum lagi betapa gaun cantik yang membebat tubuh si cantik tersebut semakin menambah kadar memukau yang tidak bisa di elak.
"Kau sangat cantik."
Lucy tersenyum kecil. Cukup canggung menghadapi situasi yang hanya ada dirinya dan juga sang ayah yang kini siap mendampingi nya menuju altar.
"Terima kasih." Balas Lucy pelan.
Mata Ayah nya terlihat berkaca-kaca. Lelaki paruh baya itu menggeleng dan dengan takut-takut menggenggam jemarinya. "Ayah yang harus berterima kasih padamu, nak. Terima kasih karena Ayah sudah diberi kesempatan untuk membawamu menuju altar." Ucap nya bergetar karena haru sekaligus sedih, mengingat setelah ini, ia harus menyanggupi untuk menjauh dari kehidupan putri yang pernah ia sakiti.
Lucy menatap Ayah nya dengan raut berkecamuk. Dari sudut hati terdalamnya, ia ingin sekali memberikan kesempatan. Namun ketika mengingat ulang bagaimana kesakitan yang ia terima tiap harinya, cukup mampu mengeraskan hatinya yang nyaris luluh. Lelaki di hadapannya ini hanyalah merasa kesepian, sebab itulah ia mengemis maaf padanya.
"Pernahkah kau menyesal tiap kali kau selesai melakukan siksaanmu padaku?"
Pertanyaan Lucy jelas sekali mengejutkan. Leonard, ayah Lucy, bahkan nyaris tersedak mendengar pertanyaan putrinya yang bak simalakama.
Lucy masih enggan memutus tatapan dari Leonard yang terlihat serba salah. Baru saja ia hendak kembali mendesak Leonard, namun usaha nya gagal ketika ia diminta bersiap menuju altar.
Leonard menghela napas lega. Ia berusaha menyunggingkan senyum dan menawarkan lengannya untuk digamit Lucy.
Tanpa menunggu lama, Lucy segera menggamit erat lengan sang Ayah. Kedua nya menelusuri lorong yang membawa mereka menuju altar, di mana Damian sudah menunggu nya untuk mengucap janji sehidup semati.
"Apa putri Ayah sangat ingin tahu?"
Tak perlu bertanya, Lucy paham kemana arah ucapan Leonard. Dengan perlahan, ia mengangguk dan tanpa sadar meremas jas Leonard. Gugup sekaligus penasaran, namun juga takut sakit hati ketika nantinya mendengar kebenaran dari sang Ayah.
"Katakan. Kumohon." Bisik Lucy.
Leonard melangkah perlahan dengan mata yang tertambat pada sosok cantik Lucy yang kini wajahnya tersamarkan karena veil yang menutupi wajahnya.
"Setiap saat, setiap menatapmu tertidur, Ayah selalu menangis diam-diam. Menangis karena lagi-lagi Ayah lepas kendali dengan menyiksamu, seolah Ayah menyiksa Ibumu."
Lucy tercekat. "I-Ibu?"
Tangan kanan Ayah nya yang menganggur lantas menepuk lembut punggung tangan Lucy yang mencengkeram erat jas nya. "Kau sangat mirip Ibumu, nak. Wanita yang sepenuh hati kucintai, namun memilih pergi karena ingin mengejar cinta sejatinya. Wanita yang tega meninggalkan suami serta anak nya yang bahkan masih berusia satu minggu."
Langkah mereka terhenti ketika mereka sampai tepat di depan Damian yang menyambut kedua nya dengan bahagia.
Leonard menyerahkan tangan Lucy pada Damian yang diterima lekaki itu penuh suka cita. "Jaga putriku dan bahagiakan dia. Jangan pernah menyakitinya seperti yang pernah kulakukan dulu."
Mendengar wejangan itu, Damian mengangguk mantap, sedangkan Lucy mati-matian menahan tangis nya ketika pada akhirnya mendapati fakta yang selama ini tidak pernah ia ketahui.
Saat Leonard hendak berbalik, Lucy dengan cepat memeluk Leonard dan menangis lirih di balik punggung rapuhnya. Tubuh tua itu terasa menegang, sebelum akhirnya berguncang karena tangis. Dengan cepat Leonard membalikkan tubuh dan memeluk erat sosok putrinya. Mengecupnya tanpa lelah, seolah ingin menebus segala dosa yang pernah ia torehkan pada tubuh mungil dalam dekapannya.
"Ayah." Isak Lucy lirih.
"Ya, sayangku?"
Lucy mendongak dan menatap Leonard penuh permohonan. "Jangan pergi. Tetaplah bersamaku."
☘☘☘
"Dengan ini saya nyatakan kalian sebagai sepasang suami istri."
Isakan bahagia sepasang insan itu terdengar menggema. Kedua nya menatap haru dan penuh cinta. Damian lantas membuka veil yang menyamarkan wajah Lucy dan menangkup pipi istrinya yang sangat ia cintai.
Jemarinya membelai kelembutan kulit pipi istrinya yang memerah karena haru dan bahagia. Mata nya memerah menatap wajah Lucy yang bersimbah air mata kebahagiaan.
"Finally, you're officialy mine, sweetheart." Lirih Damian bahagia.
Lucy mengangguk dan tersedak air mata nya sendiri. "I'm officialy yours, husband."
Damian terbahak dan dengan perlahan mendekatkan wajah mereka, hendak melakukan wedding kiss yang sangat mereka nantikan.
"Tahukah kau betapa cantiknya dirimu?"
Lucy tersenyum. "Tentu. Papa tidak akan menikahiku jika aku tidak cantik." Lirihnya berlagak angkuh.
Damian terkekeh, lantas mendaratkan bibirnya tepat di atas bibir Lucy, istrinya tercinta. Memagutnya lembut dan penuh perasaan, diiringi sorakan bahagia para tamu undangan.
Damian melepas tautan bibir mereka dan memaku tatapan Lucy yang tersenyum suka cita. "Halo istriku." Sapa nya lembut.
Lucy menunduk dengan wajah merona. Lantas dengan malu-malu ia menatap Damian yang tersenyum lembut menatapnya.
"Hai suamiku."
Damian terkekeh. Menyatukan dahi mereka tanpa melepas tatapan. "Siap mengarungi hidup bersamaku?"
Lucy mengangguk mantap. "Whenever you are."
🔶️🔶️🔶️
Aku lupa pernah nyebut sosok ibu kandung nya lucy apa nggak, jadi maafkeun kalo aku typo ya🤣 dan part mereka sah udah kelar yaaa. Tinggal part wikwik aja🤭
17 November 2020