Kepala Damian terlempar ke samping begitu membisikkan kata-kata itu pada Chloe. Sebuah cetakan jemari terpampang jelas di pipi kanannya. Yang bisa di lakukannya hanyalah memejamkan mata erat, menahan gejolak amarah yang nyaris saja membabi buta. Ia pikir, setidak nya setelah mendapat tamparan ini, kelak Chloe akan berhenti mengharapkannya.
"Teganya kau, Damian! Aku korban di sini. Aku korban yang berusaha bangkit dari keterpurukan masa laluku. Berusaha meraih kebahagiaan di hidupku dengan mengabaikan hinaan orang-orang..." Chloe terisak sembari menatap Damian penuh luka. "...dan kau justru sama egois nya dengan mereka. Apa tidak ada yang bisa memahami posisiku? Bukan mau ku untuk menjadi korban pemerkosaan dan bukan mauku untuk memilihmu sebagai seseorang yang kucintai! Tapi aku mencintaimu, Damian. Aku bahkan rela terlihat seperti jalang agar kau bisa kembali ku rengkuh. Tapi nyata nya?" Chloe menggeleng sendu sambil menitikkan air mata. "Nyata nya kau pun sama dengan mereka. Menghinaku seolah aku wanita murahan dan tidak berharga."
Damian tetap bertahan pada posisi nya. Dalam hati, ia bisa memaklumi kekecewaan Chloe pada sikap nya selama ini.
"Selama ini, aku berpikir untuk menjalin hubungan denganmu sebagai seorang rekan yang baik demi kelancaran bisnis kita berdua. Aku sama sekali tidak menghakimi masa lalumu, karena aku yakin tidak akan ada wanita yang ingin jadi korban pelecehan. Aku hanya menyayangkan sikap egoismu yang terkesan memaksakan kehendak hanya karena kebaikanku di masa lalu. Aku tulus menolongmu saat itu, Chloe. Dan aku ingin kau mengenalku cukup sebagai rekan bisnismu. Jangan meletihkan hatimu sendiri demi mengharapkan keinginan semu. Karena aku, tidak akan pernah bisa mencintaimu. Sampai kapanpun." ucap Damian sambil tersenyum tipis. Lelaki itu mendekati Chloe lalu menumpukan kedua tangannya di masing-masing bahu sempit itu. "Lupakan aku. Lupakan masa lalu kita. Aku tidak bisa menawarkan apapun padamu karena hubungan kita hanya mampu sejauh ini sebagai seorang rekan. Raih kebahagiaanmu sendiri, begitu pun denganku yang sudah menemukan kebahagiaanku."
Lalu hanya isakan sendu yang kemudian mengisi keheningan area dapur rumah minimalis itu. Tangis penuh kesedihan serta penyesalan dari seorang wanita akan masa lalu nya.
Damian mengusap pelan bahu Chloe yang kini berguncang karena tangis. "Sshh, berjanjilah padaku kalau ini akan menjadi air mata terakhirmu. Biarkan takdir yang menuntun jalanmu nanti." ucap Damian yang di balas anggukan lemah Chloe.
☀☀☀☀
Lucy melihat itu semua. Ia melihat bagaimana perpisahan kedua manusia dewasa yang pernah memiliki masa lalu. Tidak ada sedikitpun dendam yang bisa Lucy lihat di kedua mata Damian maupun Chloe. Lucy yang sejak tadi bersembunyi di balik tembok kokoh pemisah dapur juga ikut menitikkan air mata. Begitu haru sekaligus kagum pada sosok Papa tercinta nya yang bagi nya terlihat begitu bijak dalam menyelesaikan sebuah permasalahan.
Menyeka air mata nya, Lucy kemudian memilih untuk kembali menuju kamar nya. Di dalam kamar, Lucy terduduk di tepi ranjang dengan pandangan mata lurus menghadap hamparan awan yang berarak karena tiupan lembut angin.
Ia tersenyum menatap keindahan alam yang tersuguh di depan mata, sampai-sampai ia tak sadar ketika sepasang tangan besar memeluk perut nya dari belakang diiringi sebuah kecupan lembut di sisi pelipis nya.
"Sayang nya Papa, kenapa melamun hm?"
Lucy tak kuasa menahan desir hangat ketika suara lembut dan mendayu Damian tepat berbisik di sisi telinga nya. Gadis itu tersenyum dan menoleh ke belakang yang langsung di sambut dengan kecupan manis Damian tepat di sudut bibir nya. Sontak saja, rona merah tanpa malu-malu muncul di kedua pipi yang kini terlihat semakin tirus.
"Papa sudah pulang?"
Damian terkekeh lalu kembali mengecup pipi milik Lucy. "Anak Papa baru tahu kalau Papa pulang? Lantas, kenapa berani membawa orang asing masuk ke rumah kita, baby?"