TIGA BELAS

5.3K 392 25
                                    

Bagi Damian, aktivitas nya memandangi Lucy berjam-jam adalah hal yang paling menyenangkan. Ia bisa leluasa menatap tiap inci tubuh dan wajah putrinya itu dengan rakus.

Damian sengaja meliburkan diri karena selain ingin memantau luka di tubuh mungil putrinya, ia juga ingin terus dekat dengan sosok cantik tersebut.

"Sweetheart, bangun sayang." bisik Damian sambil mengecup pelipis Lucy. Gadis yang meringkuk di depan dada nya itu melenguh, terusik oleh kecupan intens yang Damian lancarkan.

"Lucy mengantuk, Pa." lirihnya semakin merangsek ke dalam dekapan sang ayah.

Damian terkekeh. Putrinya sedang dalam mode manja, dan itu terlihat menggemaskan. "Hari sudah siang, sayang. Dan Lucy belum sarapan." bisiknya lembut.

Mata Lucy mengerjap perlahan, masih terasa begitu berat. "Lucy tidak lapar." kata nya serak.

Damian mengusap lembut rambut lembut putrinya. "Tapi Lucy tetap harus sarapan, sayang."

Gadis tujuh belas tahun itu menguap sesaat kemudian mengangguk dengan mata yang kembali terpejam. Berbanding terbalik dengan Damian yang justru terkekeh geli. Bagaimana tidak menggemaskan kalau putrinya ini mengiyakan, tapi tubuhnya seolah belum rela meninggalkan ranjang empuknya?

Lucy tersentak dengan suara tercekat ketika merasakan tangan Damian mengusap lembut salah satu sisi pipinya. Rasanya aneh semenjak ucapan cinta dari Damian. Padahal, sebelum Damian mengatakan sayang dan cintanya, sentuhan Papa nya itu justru sangat ia rindukan.

"Jangan tidur lagi, sayang. Ayo sarapan. Scrambled egg mu pasti sudah dingin." Damian berbisik lembut, menatap Lucy yang kini merona hebat. Lelaki itu tersenyum lembut. Hati nya menghangat melihat Lucy yang merespon baik tiap sentuhannya. Tubuh putrinya begitu sensitif dan ia sangat menyukai fakta itu.

"B-Baik Pa. Tapi..."

Damian mengernyit melihat raut gelisah Lucy. "Ada apa sayang? Apa lukamu sakit lagi?" tanya nya cemas bukan main.

Lucy menggeleng. Ia menatap Damian sesekali, sebelum kembali menunduk dengan pipi yang makin merona.

"Lucy...belum bisa berpakaian, Pa. Bagaimana kalau Lucy makan di sini saja?" cicitnya malu bukan kepalang.

Damian untuk sejenak terdiam. Ia menatap Lucy dengan pandangan yang sulit diartikan. "Baik. Kita makan di sini. Tapi Papa yang akan menyuapimu."

Tanpa mendengar jawaban putrinya, Damian bergegas menuju dapur. Membawakan senampan makanan dan juga buah serta susu.

Lucy menarik perlahan selimutnya, berusaha menutupi tubuh polos nya dengan wajah semerah tomat.

Damian yang mengerti gelagat Lucy hanya bisa mengulum senyum dan berdehem untuk mengusir rasa canggung.

"Buka mulutmu, baby." titah Damian.

Namun bukannya membuka mulut, Lucy justru mencebik menatap Damian yang sejak tadi tidak memutus pandangannya pada sang putri.

"Lucy tidak mau jagung nya."

Mendengar rengekan Lucy akan keberadaan jagung manis di dalam buburnya, Damian pun tersenyum menenangkan lantas berusaha memilah tiap-tiap biji jagung di dalam bubur sang putri.

"Lihat, sudah Papa singkirkan jagung nya. Sekarang, princess Papa buka mulut ya?"

Dengan wajah bersemu karena dipanggil princess, Lucy lantas membuka mulutnya dan menyuap sesendok penuh bubur jagung yang ia tahu buatan ayah nya. Ayah nya selalu mengerti kalau Lucy hanya mau makan masakannya di kala sakit.

The Depth of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang