Double up hari ini!!!
Adakah yang seneng sama part kesembilan belas ini? Mumpung aku libur, juga untuk menyemarakkan hari natal kalian, terpublishlah part kedua di hari ini yang sudah aku up😚😚😚Bicara tentang natal, apa tradisi yang keluarga kalian lakukan saat natal kaya gini dears?
Sorry typos.
25 Desember 2019
Xylinare.
Damian menarik napas lega ketika akhirnya mobil miliknya terparkir manis di carport rumah. Lelaki itu membuka keluar dan membuka pintu belakang mobil tempat tasnya tergeletak. Ia bersiul ringan memasuki rumah yang baru ia sadari tampak sepi.
Kepala lelaki itu celingukan, menelusuri setiap sudut rumah yang tampak lengang.
"Marry, kemana perginya Lucy?" tanya Damian ketika melihat tubuh Marry yang sedang berkutat dengan peralatan masak di dapur.
Marry sempat melonjak kaget karena kedatangan sang tuan secara tiba-tiba. "Nona Lucy sudah pergi sejak siang tadi, tuan. Menemui temannya di sekolah."
Mata Damian seketika menggelap. Sialan, Lucy nya pasti sedang menemui Alex! Bocah itu, geram Damian.
Marry memperhatikan seksama raut wajah Damian yang selalu tampak menggelap jika berhubungan dengan perginya sang nona muda. Hati wanita paruh baya itu tergelitik. Ada yang tidak beres di rumah ini. Begitu lah pikir nya.
"Maaf kalau saya lancang, tapi apa tuan baik-baik saja?"
Damian memejamkan mata erat sembari menghitung angka satu sampai sepuluh dalam hati. Ia tidak mungkin melampiaskan kekesalan nya pada Marry.
"Ya, aku baik, Marry. Hanya saja..." lelaki itu menghembuskan napas lelah.
"Hanya saja?" lanjut Marry penasaran.
"Hanya saja, aku merasa kalau putriku kini sudah beranjak dewasa, dan aku...tidak menyukai fakta itu." lirihnya lelah.
Marry mengerjap sesaat. Oke, hal itu biasa terjadi pada setiap orang tua yang anak nya menginjak fase remaja. Namun di wajah Damian, seperti ada hal tersembunyi lainnya yang Marry ingin sekali pahami.
"Tuan, saya mengerti betul apa yang tuan rasakan, karena dulu, saya dan suami saya pun merasakan hal serupa ketika putri kami beranjak dewasa. Kami selalu khawatir akan tiap hal yang putri kami lakukan." Marry tersenyum, berusaha memberi semangat pada Damian. "Hal itu seperti semacam sindrom yang menimpa tiap orang tua."
Damian menatap Marry dengan wajah kuyu nya. Kepala itu menggeleng lemah. "Bukan itu, Marry. Bukan itu yang aku rasakan."
Melihat tuan besar nya yang lemah seperti saat ini, tentu saja pukulan besar bagi Marry. Walaupun ia belum lama mengabdi pada Damian, namun kebaikan lelaki itu membuatnya menganggap sang tuan layak nya putra sendiri.
"Tuan bisa bercerita pada saya jika tuan sudi." ucap nya keibuan dengan menggenggam tangan Damian.
Lelaki itu tersenyum lembut menatap Marry. "Maukah kau mendengarkan ceritaku tanpa menghakimi, Marry?" tanya Damian.
Marry mengerutkan kening nya bingung. "Atas dasar apa saya berhak menghakimi anda, tuan?"
Damian menuntun Marry untuk menuju ke meja makan yang memang berada di area dapur sekaligus. Lelaki itu duduk berhadapan dengan Marry dan menundukkan kepala layaknya anak yang tengah mengaku dosa pada sang Ibu.
"Apa yang kau pikirkan tentang cinta orang tua pada anak nya, Marry?"
Marry sesaat terpekur. "Tentu saja tentang cinta sejati, cinta yang tak pamrih dan cinta yang seluas lautan. Kebahagiaan melihat suka cita sang putra putri."
Damian mendongak, mengulas sebuah senyum tipis. "Dalam teori nya memang seperti itu. Tapi ada yang salah di sini, dalam kehidupanku, Marry."
Damian bahkan bisa merasakan tubuh Marry yang kini menegang kaku. Lelaki itu tersenyum pedih, menatap Marry yang kini membelalakkan mata sembari menutup bibir dengan kedua tangan nya. Seperti nya Marry mulai memahami kemana arah pembicaraan mereka kini.
"T-tuan...tolong katakan kalau...kalau tuan dan nona tidak..."
Damian mengetatkan genggamannya pada jemari keriput Marry, menatap mata tua wanita itu dalam-dalam. "Sayang nya, aku harus mengatakan kalau apa yang kau pikirkan itu benar, Marry. Ya, aku Damian, mencintai putriku, Lucy Abraham seperti seorang brengsek."
Damian menyandarkan punggung nya pada sandaran kursi makan, membuang pandangannya dari Marry yang nampak jelas terlihat syok selepas pengakuan Damian.
"Tuan, tapi..tapi bukankah..nona Lucy..nona Lucy itu..."
Damian menggeleng, masih sembari menatap ke arah lain. "Lucy bukan putri kandungku. Dia kutemukan tujuh tahun lalu saat usianya sepuluh. Meringkuk kedinginan dan ketakutan di dekat selokan air."
Marry menatap Damian lekat-lekat. Mata tuan besarnya itu terlihat menerawang jauh, seolah kembali ke masa tujuh tahun lalu ketika ia menemukan sang nona kecil mereka.
"Lalu, apa yang tuan risaukan jika kenyataannya nona bukanlah putri tuan?"
Damian seketika menoleh cepat, menatap takjub pada Marry yang raut nya sudah berubah seratus delapan puluh derajat. "A-Apa?"
"Tuan, bolehkah saya bertanya, apa gerangan yang merisaukan tuan jika pada fakta nya nona Lucy bukanlah darah daging anda?"
Damian membuka bibirnya dan berucap lirih. "Tapi semua orang tahu kalau akulah ayahnya. Ayah dari Lucy Abraham, putriku."
Marry terkekeh lembut. Jemari nya kembali menggenggam erat tangan sang tuan besar. "Apa peduli kita pada semua orang? Cinta itu memang butuh perjuangan, tuan. Bagi saya, yang terpenting adalah, cinta tuan bukanlah cinta yang di benci oleh Tuhan. Tidak ada tautan darah apapun antara tuan dan nona. Dan untuk pandangan orang, siapa yang peduli? Bukankah bibir orang akan selalu menghujat, sekalipun hal yang kita lakukan sudah benar?"
Damian mengerjapkan mata. Terkesan tentu saja dengan pola pikir Marry yang sangat rasional dan terbuka kendati usia nya tidak lagi muda. Usia dimana pikiran kolot nan kuno merajai otak manusia seumurannya.
"Jadi...apa cintaku bisa kuperjuangkan?" tanya Damian masih ragu.
Kepala yang sudah di hiasi helai keperakan itu mengangguk mantap. "Tentu saja! Tuan akan jadi manusia paling bodoh jika tuan berhenti memperjuangkan apa kehendak hati tuan." dukung nya keibuan. "Hal besar yang harus tuan perjuangkan saat ini justru bagaimana tanggapan ayah dan ibu tuan, dan juga tanggapan dari nona Lucy sendiri."
Tubuh Damian yang semula rileks kini kembali siaga. Ya Tuhan, ini semua justru tidak akan mudah. Bagaimana reaksi Mommy serta Daddy nya yang selama ini sudah akrab dengan Lucy sebagai cucu, lantas tiba-tiba berubah menjadi menantu keluarga Abraham?
"Aku..."
"Jadi kau mencintai Lucy?!"
Damian dan Marry terlonjak kaget ketika sebuah gelegar suara dari Jakub menggetarkan telinga mereka. Damian nyaris terjungkal andai saja genggaman Marry sudah terlepas.
Namun itu semua tidaklah penting. Justru kini jantung nya yang semakin tidak karuan saat melihat sosok Alzbeta yang tengah terisak hebat serta Lucy yang menatap nya dengan tatapan kosong di dalam pelukan sang nenek.
Damian memejamkan mata sambil mengumpat dalam hati. Ini akan jadi hari yang panjang.
🔶🔶🔶