“Manusia itu enggak ada yang sempurna. Semua mempunyai kelebihan, dan kekurangan masing-masing.”
******************
Arjuna saat ini tengah duduk bersantai di balkon rumahnya sembari melukis sesuatu di kertas kanvas miliknya. Langit sore yang tersapu oleh sang senja, membuat Arjuna tersenyum hangat. Melukis adalah kegiatan sederhana yang mampu membuat Arjuna merasa tenang, dan bahagia.
Bibirnya ketarik ke atas membentuk kurva senyuman yang merekah saat melihat hasil karya yang telah dia buat. Arjuna merasa cukup puas. Siluet perempuan berambut panjang, yang tengah duduk di sebuah kursi sambil mendongak ke langit atas tercetak jelas di kanvasnya. Hanya siluet saja, tetapi tidak tahu siapa yang tengah dilukis oleh Arjuna—karena hanya Arjuna saja lah yang tahu siapa siluet perempuan tersebut.
“Arjuna!”
Suara perempuan yang sangat familiar di telinganya membuat fokusnya teralihkan lalu dengan gerakan cepat dia menutup kanvas itu menggunakan kain. Lalu, Arjuna bernapas dengan begitu lega.
“Dicariin ternyata kamu di sini.” Perempuan itu tiba-tiba saja memeluk leher Arjuna dari belakang, dan menaruh dagunya di atas pundak Arjuna.
“Nya, jangan gini,” kata Arjuna tidak nyaman saat Fanya memeluk lehernya.
“Tapi aku nyaman kalau peluk kamu kayak gini.”
“Dan gue enggak, Fanya.” Arjuna bangkit dari kursi, dan melepaskan diri dari pelukan Fanya. Menatap tidak senang kepada Fanya. Niatnya ingin sendirian malah terganggu oleh kedatangan Fanya.
Fanya memayunkan bibirnya. “Kamu kenapa sih? Emang enggak boleh aku manja-manjaan sama tunangan sendiri? Lagian kan kalau kita udah lulus nanti, kita juga bakalan hidup bersama.”
Arjuna mendengkus. “Just fiance, enggak lebih. Lo emang tunangan gue, tapi belum tentu di masa depan lo yang menjadi pendamping gue, Nya.”
Arjuna membereskan alat-alat lukisnya, dan juga kanvasnya dari sana. Dia lebih baik balik ke kamar, dan enggan sekali berlama-lama bersama dengan Fanya. Yang ada bisa mengubah suasana mood-nya menjadi tidak baik.
“Arjun, mau sampai kapan kamu kayak gini?” tanya Fanya dongkol. “Aku tahu kamu masih belum bisa nerima hubungan ini tapi bukan berarti kamu ngacuhin aku, Arjuna!”
Brak!
Arjuna menggebrak meja kecil yang berada di dekatnya, dan hal itu membuat Fanya langsung terbungkam. Arjuna menarik napas dalam, dan mengeluarkannya perlahan. Fanya benar-benar cerewet.
“Lo bisa diem enggak?” dengkus Arjuna, pening. “Sejak kapan gue ngacuhin lo, ha? Cuma hari ini gue lagi malas ngomong sama lo, dan jangan bikin mood gue anjlok, Nya.”
“Tapi alasan apa yang buat kamu enggak mau ngomong sama aku?” tanya Fanya. “Emang aku habis ngelakuin hal apa yang buat kamu kayak gini?”
Tatapan Fanya seketika berubah menjadi sendu, dan matanya mulai berkaca-kaca. Sepertinya dia akan menangis. Menyadari hal itu, wajah Arjuna yang semulanya datar menjadi luluh dan berjalan mendekat ke arah Fanya.
“Maaf.” Satu kata yang lolos dari bibir Arjuna malah membuat Fanya meloloskan air matanya.
“Jangan marah-marah sama aku, apa kamu lupa kalau aku paling enggak suka dibentak-bentak kayak tadi,” ujar Fanya bergetar ketakutan. “Kalau emang hari ini kamu enggak mau ngomong sama aku ya udah, aku mau pergi aja daripada dibentak kayak tadi,” lanjutnya.
Fanya membalikkan badan membelakangi Arjuna, lalu hendak melangkah pergi dari sana namun dengan gerakan yang cepat Arjuna menahannya.
“Enggak usah pergi,” kata Arjuna.
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Days with Arjuna
أدب المراهقينSEGERA DIFILMKAN🎬🤍 ❝Jika tujuanku adalah kamu, maka aku akan mencapainya.❞