My Song

96 19 1
                                    

Songfic that inspired by the same tittle.
My Song by Sondia.
(Ost. When Devil Calls Your Name)

***

Ia pernah membaca potongan kalimat yang hingga sekarang meninggalkan kesan mendalam. Every great dream begins with a dreamer*1. Bahwa semua mimpi itu semulanya dimulai dengan menjadi pemimpi. Hal yang diyakini Kim So Hyun yang merajut mimpinya sedini mungkin.

Biola, hal yang memediasi selangkah demi selangkah mendekati mimpinya sebagai violis besar. Ketertarikan pada alat musik gesek itu mengantarkan ia pada keberhasilan dan sorotan—dalam arti positif. Mimpinya terus berkembang hingga ia mendambakan suatu hari nanti mampu berdiri di panggungnya sendiri. Melantunkan nadanya sendiri di depan banyak orang.

Singkatnya, ia begitu mencintai panggung. Juga tepuk riuh penonton yang takjub saat gesekkan terakhir membuat mereka merasakan kegembiraan seperti yang ia rasakan. Sensasi yang hanya didapatkan tiap kali menaiki panggung. Namun, itu dulu. Sebelum peristiwa naas menghancurkan mimpi dan hasratnya. Berdiri di atas panggung tak lebih dari sekedar angan, sesaat So Hyun terbangun dengan kaki yang tak lagi mampu digerakkan. Bukan mimpi yang indah, melainkan mimpi buruk yang terwujud untuknya.

Tepat di saat So Hyun menuju ke bandara, kejadian mengenaskan itu mengubah skenario hidup yang sebelumnya terancang apik. Tadinya ia akan berangkat ke Amerika Serikat, guna mengikuti tes masuk di Juliard University. Sangat disayangkan, kecelakaan mobil yang berlangsung singkat, berakibat fatal. Bukan hanya kehilangan daya berjalan, gadis berponi itu pun kehilangan mimpi. Bagaimana mungkin seorang gadis cacat berdiri di atas panggung?

"So Hyun-ah."

Seorang pria masuk dan duduk mendekati gadis berpostur agak kurus yang tengah duduk di luar balkon. Dia adalah Kim Jonghyun, saudara pria So Hyun yang terpaut umur dua tahun lebih dewasa.

"Oppa."

"Bagaimana dengan proyek musik yang Minhyun tawarkan? Apa kau mau mencobanya?"

Ada beberapa saat So Hyun menjeda, diikuti lenguhan panjang. "Apa tidak apa-apa gadis cacat sepertiku ikut berkolaborasi, Oppa?" Ia memberanikan diri bertanya.

Pria berambut sedikit gondrong itu menggengam tangan gadis dengan tingkat kepercayaan diri di titik terendah. Genggaman yang hangat seperti tengah berbagi keberanian untuk kembali pulih.

"Terlepas dari kakimu yang tidak bisa berjalan lagi, masih ada bakat yang tidak bisa terenggut oleh siapa pun," ujar Jonghyun sembari menelisik dalam bola hitam legam milik si lawan bicara, "kau hanya perlu memberikan kesempatan pada diri sendiri untuk bisa tampil kembali. Bahwa seorang Kim So Hyun tetap masih sama berbakatnya seperti dulu."

So Hyun menyungging. Lucu rasanya mendengar pujian Jonghyun. Sematan kata berbakat atau jenius dulu kerap mengusik rungu. Kalimat-kalimat yang dijadikan penyemangat kala So Hyun mengikuti kompetisi di berbagai tingkat. Pencapaian terbaiknya masa itu, ia berhasil meraih kesuksesan di level internasional. Saat itu usianya masih belia—tujuh belas tahun. Kesuksesan yang akhirnya membuka pintu peluang untuk melanjutkan pendidikan di salah satu institusi musik terbesar di dunia, Juliard University.

Sudah setahun berlalu. Kendati demikian, perasaan gamang itu masih ada. Terlebih setelah mendengar ucapan Jonghyun. Berkaca pada kondisinya saat ini, menjadi sorotan tidak lagi seindah dulu. Tak ubah layaknya gambaran gelap dengan sederetan manik yang selalu menatap dengan belas kasihan. Cara mereka memandangnya, sama sekali tidak membantu kepercayaan diri So Hyun untuk pulih.

People don't even know
But they say they know

***

LOVE LETTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang