Survive

473 47 26
                                    

Caution :
contain self harm.
Diharapkan kebijakan pembaca 🙏🏻

**

Aku ingin mati.

Aku ingin menghilang selamanya.

"Hyun!"

Gadis yang dipanggil namanya itu tersentak. Spontan ia menoleh ke kiri, lalu mengumbar senyum lebar layaknya hari biasa.

"Kau sudah memilih?"

Pertanyaan lain yang lekas ia jawab dengan gelengan. "Aku bingung. Kau tahu sendiri aku sedang diet," katanya diikuti kekehan ringan.

"Yak, sudah sekurus ini pun kau masih mau diet. Kau sedang mengejekku, ya?"

Gadis bernama Sohyun tersebut tergelak. Ia mendekati Hyanggi, sahabatnya, kemudian merangkul gadis yang lebih pendek beberapa senti darinya itu. Keduanya berjalan beriringan menuju kasir mini market yang berjarak tidak jauh dari kampus.

"Sebagai gantinya, aku akan mentraktir belanjaanmu hari ini. Bagaimana? Apa kau masih berani menggerutu padaku?"

Hyanggi mencebik. Tangannya bersedekap dan berpaling ke arah kaca luar yang berada di sisi kanan kasir. Senyum terulas beberapa detik, sebelum kembali mengulum senyum dan memandang Sohyun. "Baiklah. Ide yang tidak buruk." Terkesan Hyanggi jual mahal.

Sohyun lagi-lagi terbahak. Ini tidak seberapa, pikirnya. Uang sakunya selalu diberikan lebih oleh kedua orang tuanya. Bahkan sebelum ia sempat menghabiskan, ibunya selalu memberikan padanya setiap ia akan kampus. Mereka kerap menyuruh Sohyun untuk membeli makanan yang enak. Namun sayang ... Sohyun tidak berpikir itu yang terpenting.

**

"Kau sudah pulang?"

Langkah gadis yang baru menaiki dua anak tangga hendak menuju kamarnya itu lantas berhenti. Ia menoleh ke belakang. Ada ibunya yang menyapa, mengenakan apron bercorak abstrak.

"Aku pulang, Bu," Sohyun membalas dan mengulas senyum pada wanita paruh baya yang tergurat sendu. Semakin Sohyun menatapnya lekat, ia kian menyadari wanita itu sekarang memiliki banyak kerutan. Bibirnya pun terlihat kering dan pucat. Padahal akan lebih baik kalau dipoles sedikit perona.

"Sudah makan?"

Sohyun mengangguk. "Aku harus ke kamarku, Bu. Ada tugas yang harus kukerjakan." Dan dia pun berpamitan. Membiarkan punggung belakangnya ditatap sang ibu yang meremas kedua tangannya dengan mata yang turut berkaca-kaca.

Pintu kamar langsung terkunci setibanya ia di sana. Ransel cokelat terbuat dari kulit itu dilemparnya asal ke ranjang dan Sohyun mendesah. Tangan kanannya meremat baju di bagian dada.

Sesak. Selalu saja begini. Setiap dia pulang ke rumah, penyakit itu kian menjadi-jadi. Benar saja, detik berikutnya kepalanya berdenyut sengit seolah tiba-tiba terhimpit beban yang begitu besar. Sohyun begegas menuju kamar mandi. Rasa mual yang tertahan beberapa jam lalu tak terbendung.

Sohyun memuntahkan semuanya, walau sejak kemarin malam baru ada sepotong roti dan segelas susu cokelat yang masuk ke perutnya. Ia kira setelah membuang segalanya, maka dia akan baik-baik saja. Kendati begitu, Sohyun masih merasa ganjil. Rasa itu belum sepenuhnya hilang. Ia masih kesakitan dan butuh obat.

Bermodalkan tenaga yang lunglai, Sohyun bergerak menuju wastafel di kamar mandi. Tangannya menjelajahi lemari kecil yang tergantung tepat di atas wastafel. Sohyun ingat menyembunyikan 'obatnya' di sana. Sekarang ... dia butuh. Sangat butuh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 12, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LOVE LETTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang