Like a Flowing Wind

128 29 17
                                    




Ada yang datang, lalu ada yang pergi.

Penggalan kalimat klise ini nyatanya terjadi juga dalam hidupnya. Meski dirinya bukan penyuka cerita sad atau open ending, tapi bohong kalau dia tidak memendam harap.

Seperti hari ini, wanita berambut bergelombang hitam panjang itu sering kali memeriksa ponselnya. Ia ingin percaya bahwa masih ada secercah kebahagiaan tersisa untuknya. Gambaran penutup cerita seperti yang selama ini dibayangkan.

Kepalanya kontan menoleh sesaat pintu kafe terbuka. Sudut bibirnya yang sempat terangkat, perlahan beringsut turun seiring ketibaan pria. Berambut hitam legam dan berparas terbilang tampan, sedang berjalan ke arahnya. Walau bukan figur itu yang ditunggu, tapi setidaknya pria tersebut bukan sosok asing. Wanita itu mengenalnya.

"Di mana Mingyu?" tanya wanita yang telah menunggu tiga puluh menit pada pria yang lekas memposisikan duduk di depannya.

Lawan bicaranya tidak lekas menyahut. Beberapa saat cuma menyelisik lekat ke wajah wanita tersebut. Terlihat sekali wanita berponi itu kecewa dengan ketibaannya. Tidak perlu dijelaskan dengan kata-kata pun, dari garis wajahnya tergambar jelas. Tergurat sendu.

Ia menyahut tidak berapa lama, "Mingyu yang menyuruhku untuk datang, Hyun. Dia bilang tidak akan datang." Lantas menjeda beberapa detik sebelum pria yang sama melanjutkan ucapannya, "Dia tidak akan menemuimu."

Marah, kecewa, dan perih, semua beraduk di hatinya. Menghadirkan sensasi yang sulit gadis itu jabarkan dalam satu kata. Suaranya menghilang.

Meraih gelas kopi yang masih terisi penuh, wanita bernama Sohyun itu menenggak kopi pahit dingin miliknya hingga habis. Sejujurnya, dia sudah memikirkan kemungkinan untuk terluka. Opsi untuk bersedih, seperti sekarang. Akan tetapi, kenapa susah untuk tersadar dari pengharapannya? Kenapa ia masih mengira Mingyu akan goyah dan mau menemuinya?

Atau memang Mingyu-lah yang pengecut? Seperti kopi pekat yang disesapnya—pahit—hatinya juga berasa sama. Rasanya sia-sia bersedih untuk pria yang sudah membuangnya. Sebenarnya, di mana harga dirinya?

"Kalau begitu aku pulang." Wanita itu berdiri, mengambil tas kecilnya, dan siap beranjak.

Kendati begitu, langkahnya dengan cepat tertahan. Sohyun menatap tangannya yang dicekal pria yang biasa dipanggilnya Kook—Jungkook.

"Setidaknya biarkan aku mengantarmu pulang."

Sohyun menepis tangan Jungkook. Tatapannya ikut meruncing. "Tidak perlu!" ucapnya ketus.

Sederhana alasannya. Bagaimanapun Jungkook adalah sahabat Mingyu. Pria yang tetap akan berdiri di sebelah Mingyu meski tahu sahabatnya telah mendua. Sohyun juga tidak butuh dikasihani. Bukan tidak mungkin Jungkook sebenarnya sedang menertawakan dia dalam hati. Siapa yang tahu?!

"Tidak. Aku tetap akan mengantarmu." Pria berbahu lebar itu bersikukuh, lantas mengeratkan cekalannya. Dengan mudah ia menarik tangan wanita yang diyakininya tak mampu melawan tenaganya keluar dari kafe.

**

"Kita mau ke mana?" Sohyun gusar.

Ini bukan rute menuju rumahnya. Padahal Jungkook sudah beberapa kali berkunjung ke rumahnya. Tentu saja ia datang bersama Mingyu saat keduanya masih larut dalam romansa sebagai kekasih. Jadi, seharusnya tidak mungkin pria Jeon itu belum hapal rute ke rumahnya.

LOVE LETTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang