Terjaga di saat matahari masih enggan menampakkan diri agaknya telah menjadi kebiasaan bagi Jungkook.
Setelah menyingkirkan kepala sang anak gadisnya dari lengan kiri yang dijadikan bantalan, pria jangkung itu menuruni ranjang sempit dan keluar dari kamar.
Meskipun musim panas, angin subuh tetap saja dingin. Akan tetapi, Jungkook tidak merasa keberatan dan tetap memantapkan diri meniti anak tangga tanpa memakai kain untuk menutupi badan bagian atasnya.
Toh, siapa yang mau lihat? Sang pemilik rumah pasti lebih memilih tertidur dengan mimpi manis yang mendatanginya.
Jungkook mengernyit sesaat melihat ruang makan yang menyatu dengan ruang santai itu dibiarkan lampunya menyala. Kemudian dengan gesit ia mematikan salah satu lampu dan meneguk air mineral yang ia tuangkan di atas gelas bening.
Kepalanya mendongak untuk membuka laci atas. Menilik apa saja yang dapat ia buat di tengah perutnya yang keroncongan. Sayangnya, Jungkook hanya mendapati mi instan yang berjajar dengan beberapa saset susu lemak.
Jungkook menggelengkan kepala tidak percaya. Bagaimana bisa wanita sepertinya mengonsumsi makanan dan minuman tidak sehat begini?
Membuang napas pasrah, Jungkook berakhir menjatuhkan pantat di atas kursi kayu yang siang kemarin Chloe duduki.
Giginya menggigit ibu jari dengan pikiran bercabang ke mana-mana. Pasalnya, kejadian kemarin benar-benar mengguncang sang anak sampai gadis kecilnya itu tak mau lepas dari pandangan Jungkook.
Menyugar surai, Jungkook lekas meraba luka tembak di bagian pinggul. Yah, Hoseok sempat membidik pistolnya dan mengenai pinggul Jungkook saat pria Jeon itu hendak keluar dari mobil yang terguling.
Chloe tidak mengetahui karena Jungkook menyembunyikan luka itu agar sang anak tetap tenang. Namun, agaknya tidak bagi wanita yang kini menatapnya terkejut.
Park Jihye berdiri di dekat pantri. Matanya yang terbelalak menatap luka tembak Jungkook dengan mulut yang ia bekap menggunakan kedua telapak tangan.
Sebelum wanita itu berteriak dan membangunkan Chloe yang masih terlelap di kamar, Jungkook lekas menempelkan jari telunjuk pada bibirnya sendiri; bermaksud menyuruh Jihye menutup mulut.
Jihye mengangguk, kemudian menghampiri Jungkook dan berjongkok untuk melihat luka tembak itu. “Kenapa kau tidak bilang padaku, Jungkook-ssi?” tanyanya lirih sekali. Lebih ke arah berbisik.
Jungkook berdeham. “Tidak masalah. Ini hanya luka kecil,” jawabnya sontak membuat Jihye lagi-lagi membelalakkan matanya. “Kenapa? Aku biasa mendapat luka tembak, dan ini termasuk ringan.”
“Sinting! Tidak ada luka tembak yang bisa disepelekan, Tuan.” Jihye berdiri dan berjalan ke arah tempat obat, lalu kembali membawa kapas, kasa, dan beberapa yang lain.
“Kau mau apa?” Jungkook bertanya keheranan. Sebelum Jihye menyentuh lukanya, Jungkook lekas berdiri. “Aku sudah mengeluarkan pelurunya. Oke? Ini akan baik-baik saja. Aku lebih hebat dari dokter, asal kau tahu!”
Jihye memutar bola mata jengah. “Itu bisa infeksi, Tuan!”
“Tidak! Kau diam saja. Kau yang bisa membuatnya infeksi,” jawab Jungkook asal.
Jihye refleks menyerang lengan telanjang pria itu dengan pukulan. “Dasar tua bangka menyebalkan! Tidak tahu di—akh.” Jungkook dengan sigap menarik lengan Jihye yang hendak limbung ke belakang. Sialnya, kini wanita itu limbung di dada telanjang Jungkook.
Jihye menelan saliva susah payah. Maniknya mengerjap lambat manakala mendengar detak jantung Jungkook yang begitu tenang. Baru kali ini ia menyentuh roti sobek tepat di perut Jungkook. Biasanya Jihye hanya bisa melihatnya di serial drama atau film-film barat kesukaannya. Dan menjelang pagi ini, ia bisa menyentuhnya secara langsung.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Came into My Life ✓
Fanfiction[COMPLETED] Pada siang di musim panas, seorang pria berusia tiga puluh delapan mendadak datang membawa anaknya yang masih duduk di bangku awal SMA. Namanya Jeon Jungkook. Park Jihye mengingat bagaimana kepala dari pria jangkung itu yang berdarah, s...