07

9.7K 1.3K 78
                                    

Dalam seperempat jam terakhir, Park Jihye tak hentinya menggigit bibir bawahnya dengan perasaan risau. Pun tak lupa jemarinya terus saling meremas satu sama lain.

Di hadapannya, Jungkook tengah menenteng tas di bahunya. Dengan pipi tirus dan wajah yang kentara tengah kacau, membuat Jihye segan untuk melepas pria yang beberapa hari ini tinggal menumpang di rumahnya.

“Kau yakin akan pergi, Jungkook?” Seakan lupa bahwa mereka baru saja saling mengenal, Jihye melempar tanya begitu Jungkook berjalan dan mendekat kepadanya. “Setidaknya, pikirkan Chloe. Kau tidak bisa meninggalkannya begitu saja.”

Jungkook mengulas senyum tipis sebelum menangkup pipi Jihye. Manik bulatnya menatap lekat, bersama dengan napas tenangnya yang menerpa kulit wajah Jihye. “Aku sudah memikirkannya.” Sejenak pria itu menjeda kalimatnya, lantas mendongak sembari mengembuskan napas dalam. “Kalau aku tetap di sini dan membiarkan Namjoon mengincarku ... Chloe maupun kau tidak akan berakhir baik.”

Jihye menunduk, meremas jaket yang dikenakan Jungkook. “Kau yakin akan pergi?” tanyanya mengulangi. Jungkook tersenyum tipis sebelum mengangguk untuk meyakinkan wanita sepuluh tahun lebih muda darinya tersebut. “Bagaimana kalau Namjoon mengincarku dan Chloe?”

Termangu dalam beberapa menit, Jungkook kemudian mengusap pipi Jihye dengan ibu jarinya. Pria itu menjilat bibirnya yang mendadak kering, lalu kembali menatap Jihye kian lekat. Suara televisi yang berada di ruang kamar inap Chloe menjadi momok suara satu-satunya yang menyambangi rungu kedua orang dewasa tersebut.

“Kalian aman, aku janji,” ujarnya lirih—nyaris tak terdengar apabila Jihye tak berada di jarak yang sedekat ini dengan Jungkook. “Aku punya satu informan di sini yang akan menjagamu dan Chloe. Namanya Crispin. Dia adalah orang satu-satunya yang bisa kupercaya selain satu informanku yang ada di Amerika.”

Jihye memejamkan mata, lantas memindahkan kedua tangannya untuk memegangi tangan Jungkook yang betah menangkup pipinya.

“Aku tidak akan lama,” kata Jungkook lalu menoleh sejenak ke arah Chloe yang masih tetap terlelap karena obat bius yang bekerja. “Jiya ...”

Hm?” Jihye berdeham singkat sembari menatap sayu pada pria sepuluh tahun lebih tua darinya tersebut. Bibirnya mengerucut cemas lantaran tak ingin Jungkook pergi seorang diri untuk urusan yang dapat membahayakan nyawa pria itu.

Kalau dipikir-pikir kembali, Jihye bahkan tak mengenal Jungkook lebih lama. Hanya dalam hitungan hari mereka bertemu, tapi rasanya Jihye tak mau melepas Jungkook begitu saja setelah mengetahui bahwa Kim Namjoon tak segan melukai Chloe kandatipun putri kecil Jungkook tak tahu apa-apa mengenai masalah sang ayah dan Namjoon. Tidak pantas rasanya jika Jihye terlalu cemas mengingat tidak ada hubungan apa pun di antara dirinya dan Jeon Jungkook. Hanya saja, melihat Jungkook terluka nyatanya mampu membuat Jihye meringis ngilu.

Tapi tunggu. Jihye tidak paham dengan perasaannya sekarang. Usai melihat dengan mata kepalanya sendiri soal kejahatan Namjoon, Jihye mendadak tak dapat merasakan apa-apa pada pria Kim yang sudah masuk ke dalam hati Jihye dua tahun lamanya. Apalagi saat Jihye tak sengaja mendapati foto-foto wajah manusia yang terpampang jelas di dinding kamar apartemen Namjoon waktu itu. Jihye bisa melihat wajahnya di sana setelah potret sang kakak (Park Jimin) telag dicoret menggunakan spidol warna merah.

“Boleh aku mencium keningmu?” tanya Jungkook sedikit malu. Jihye sendiri memilih untuk diam sambil menggigit bibir bawahnya tak kalah malu. Kemudian mendapati Jungkook yang seolah menunggu keputusannya, wanita itu malah mengedikkan bahu—bingung harus menjawab apa. “Baiklah. Kalau begitu ... aku akan mencium keningmu setelah aku pulang—dan setelah kau resmi menjadi kekasihku,” simpul Jungkook kemudian menjauhkan tangannya dari Jihye.

When You Came into My Life ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang