Rumah yang lebih dari sepuluh tahun lalu dikunjungi Rumaisha kini terlihat megah dan mewah, dengan banyak perubahan di sana-sini.
“Sudah banyak yang berubah dari rumahnya ya, ummi?” komentar Rumaisha sambil mengamati sekitar.
Ibu Dewi tersenyum, lalu menyapa salah satu penjaga rumah yang tampaknya sudah dikenalnya.
“Assalamu’alaikum, Pak Bagus. Apa kabar?” sapa Bu Dewi.
“Saya baik, Alhamdulillah. Ibu Dewi gimana kabarnya?"
"Alhamdulillah saya juga baik, Pak. Bu Salma ada di rumah, Pak Bagus?"
"Oh ada bu. Silahkan masuk saja." Jawab Pak Bagus ramah.
Ibu Dewi mengangguk, dan mereka berdua berjalan berdampingan memasuki kediaman Ibu Salma. Ibu Dewi menekan bel, dan tak lama seorang wanita muda dengan logat Jawa yang ramah membukakan pintu.
"Silakan duduk dulu, saya panggilkan Bu Salma sebentar," kata wanita itu sopan, sepertinya sudah tahu kedatangan mereka.
Setelah menunggu beberapa menit, Ibu Salma turun dari kamarnya, dituntun oleh pembantunya. Rumaisha menoleh, memerhatikan sosok Ibu Salma yang dulu ia kenal. Meskipun usia Ibu Salma mendekati enam puluh tahun, wajahnya tetap terlihat awet muda, kulitnya bersih seperti seseorang yang merawat diri dengan baik. Ia memiliki bola mata hitam bulat yang tajam, sesuatu yang selalu dikagumi Rumaisha sejak dulu. Namun, bibirnya tampak pucat, mengisyaratkan bahwa kondisinya memang sedang tidak prima, seperti yang diceritakan Ibu Dewi.
Ibu Salma tersenyum kepada mereka berdua, dan begitu berhadapan, Ibu Dewi dan Ibu Salma saling mengucapkan salam dan berpelukan erat. Rumaisha menyaksikan momen itu dengan perasaan hangat di hatinya. Ia bisa melihat ketulusan persahabatan yang terjalin antara ibunya dan Ibu Salma—persahabatan yang terjaga dengan saling merindukan dan saling mendoakan, meski waktu telah berlalu begitu lama.
"MasyaAllah. Sudah lama aku tidak bertemu denganmu, Dewi. Bagaimana kabarmu?" tanya Ibu Salma setelah meregangkan pelukannya, wajahnya terlihat bahagia.
“Alhamdulillah, aku sehat. Tapi kamu sangat pucat, Salma. Seharusnya kamu berbaring dan istirahat di kamar,” jawab Ibu Dewi dengan nada khawatir.
“Tidak apa-apa. Aku tidak mau memanjakan sakitku, Dewi. Lagi pula, aku senang sekali bisa bertemu denganmu setelah sekian lama. Selama ini kita hanya bisa mengobrol lewat telepon,” jelas Ibu Salma.
“Kamu benar, Salma. Maaf ya aku baru sempat menjengukmu hari ini. Karena putriku tidak sibuk, jadi aku bisa mengajaknya,” kata Ibu Dewi, sambil melirik Rumaisha yang berdiri di sampingnya.
Pandangan Ibu Salma beralih ke arah Rumaisha. “Aisha?” tanyanya sedikit ragu.
Rumaisha maju selangkah, meraih tangan kanan Ibu Salma, dan mencium punggung tangannya. “Iya, Bu. Ini Aisha,” jawabnya dengan senyuman.
“MasyaAllah. Ibu sampai pangling melihat kamu sudah dewasa sekarang. Kamu cantik, seperti ibumu waktu muda dulu,” puji Ibu Salma.
Sebelum Rumaisha sempat menjawab, Ibu Dewi menimpali dengan bangga, “Itulah salah satu kelebihan yang berhasil aku wariskan padanya.”
Mereka semua tertawa, suasana hangat menyelimuti ruangan. Tanpa disadari, pembantu Ibu Salma, Nina, berdeham untuk menarik perhatian.
“Maaf, Bu, kalau saya menyela, tapi bagaimana kalau kita mengobrol sambil minum teh hangat?” usul Nina.
“Ah, saya sampai lupa! Terima kasih, Nina, sudah mengingatkan saya. Kamu boleh pergi ke dapur sekarang,” kata Ibu Salma dengan ramah.
“Baiklah, Bu. Saya ke dapur dulu,” jawab Nina sambil pamit dan berjalan menuju dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Hilang (Completed)
General FictionRumaisha Mahira, atau Aisha, harus mengubur impiannya untuk menikah dengan sosok yang sudah sejak lama ia kagumi, Ibnu Abbas, senior di kampusnya. Demi menikah dengan lelaki yang ia ketahui 'berandalan' semasa SMA, Muhammad Araafi Kurniawan Souhail...