DUA PULUH SATU

118 14 1
                                    

Bu Dewi meminta Rumaisha untuk tinggal sementara di rumahnya. Karena khawatir kondisi Araafi yang masih dalam perawatan. Sementara Rumaisha sedang hamil besar. Bu Dewi tidak ingin membiarkan mereka tinggal di rumah yang sebesar itu tanpa ada orang yang lebih dituakan mengawasi. Dengan sedikit terpaksa, akhirnya Araafi menyetujui untuk tinggal di rumah mertuanya.

"Assalamu'alaikum, ummi. Kok ummi sama Ali nungguin di luar?" tanya Rumaisha sesampainya di depan teras rumah ibunya.

"Iya, ummi nggak sabar menunggu kepulangan kalian. Alhamdulillah, ummi senang nak Rafi udah diizinkan pulang." ungkap bu Dewi.

"Maaf ya Rafi jadi banyak merepotkan ummi."

Bu Dewi berdecak. "Merepotkan apanya, nak. Kita ini satu keluarga, jadi nggak ada yang merasa direpotkan ya." ujar bu Dewi mengelus pelan lengan Araafi.

"Kok jadi ngobrol di luar sih, mi? Kasian tau mas Rafi. Sini Ali bantuin bawa barang-barangnya ke dalam ya." ujar Ali sambil mengambil tas yang terletak di lantai, lalu dengan cepat membawanya ke dalam rumah.

Mereka sampai menggeleng-geleng kepala melihat tingkah Ali.

Rumaisha menuntun Araafi masuk ke dalam rumah. Meskipun Araafi mampu berjalan tanpa bantuan alat apapun, tapi kakinya masih lemah untuk berjalan sendirian.

®®®®®®®®®®

Rumaisha baru saja keluar dari kamar mandi di kamarnya. Ia melihat Araafi sudah memakai baju koko berwarna merah hati, peci rajut berwarna hitam dan celana panjang hitam.

"Loh, Mas mau kemana?"

"Mas pergi shalat maghrib di mesjid dulu ya."

"Kenapa nggak shalat di rumah aja, mas? Mas kan baru pulang dari rumah sakit, badannya juga masih lemas kan?"

"Nggak apa-apa. Insyaa Allah mas masih kuat kok buat berjalan. Mesjid nya juga dekat."

"Tapi mas ingat kan dokter bilang apa?" ungkap Aisha dengan nada khawatir.

Araafi berjalan mendekati Rumaisha. Ia memegang bahu Rumaisha dan tersenyum.

"Sayang, mas ingat kok soal itu. Tapi kamu nggak perlu khawatir ya. Mas benar baik-baik aja sekarang."

Rumaisha mendengus dengan kesal. "Dengarkan Aisha sekali ini aja ya, mas?"

"Ada salah satu alasan kenapa mas ingin segera keluar dari rumah sakit, mas ingin sekali shalat berjamaah di mesjid. Kemarin mas dengar sebuah kajian tentang kisah Rabi Ibnu Khaitsam, salah satu tokoh tabi'in, meskipun tubuhnya lumpuh, beliau tetap pergi ke mesjid dengan meminta bantuan dari keluarga dan sahabatnya. Satu lagi, kisah Amir bin Abdillah, beliau tetap menyempatkan diri ke mesjid meskipun sedang sakit parah. Itulah alasannya."

Rumaisha terdiam. Ia kehilangan kata-kata untuk membantah ucapan dari suaminya itu. Saat Araafi ingin melakukan sesuatu ia akan tetap melakukannya. Tapi kondisi suaminya saat ini membuatnya khawatir.

"Kamu jangan khawatir lagi ya, mas pergi sama Ali kok. Yaudah, mas berangkat dulu ya. Assalamu'alaikum, istriku." ujarnya sambil mengelus puncak kepala Rumaisha.

Rumaisha menghela nafas lalu mengangguk."Wa'alaikumussalam. Hati-hati dijalan ya, mas." jawabnya sambil tersenyum tipis.

®®®®®®®®®®

Selesai shalat isya di rumah, Rumaisha segera keluar dari kamar menuju ke dapur. Ia membantu ibunya menyiapkan makan malam sebelum Araafi dan Ali pulang dari mesjid.

"Aisha, boleh ummi tanya sesuatu?" tanya bu Dewi sambil berjalan dari arah dapur menuju meja makan.

"Tanyain apa, ummi?" ujar Rumaisha sambil meletakkan piring di atas meja makan.

Senja Yang Hilang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang