DELAPAN

105 11 0
                                    

      Rumaisha telah sampai di taman, tempat ia dan Laila janji bertemu. Ia lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling taman yang rupanya kosong. Laila memberitahunya bahwa ia mungkin akan terlambat karena jalanan macet. Kemudian, ia duduk disalah satu bangku panjang. Ia mengalihkan pandangannya ke bawah, lalu menghela napas.

      Entah reaksi apa yang akan ditunjukkan Laila saat mendengar semuanya. Apa Laila akan kecewa padanya? Apa Laila akan memutuskan persahabatan dengannya? Jika itu benar terjadi, Rumaisha tidak akan siap. Ia tidak ingin kehilangan sahabat seperti Laila. Laila sudah seperti saudara kandungnya sendiri. Tapi ia tidak ingin menutupi apapun. Ia harus mengatakan yang sebenarnya tentang pernikahannya. Meskipun ia sadar kebenaran itu tidak hanya membuat Laila yang kecewa, tapi juga  Ibnu. Sekalipun ia memilih Ibnu, pilihannya tetap saja akan ada yang tersakiti. Lagipula, keputusan yang ia ambil tidak akan terjadi kecuali dengan kehendak-Nya.

      Sebagai seorang yang beriman, ia harus menerima takdir yang datang dalam hidupnya. Baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk. Menikah dengan Araafi itu sudah menjadi takdirnya. Sebab apa yang terjadi di dalam hidupnya telah Allah atur sedemikian rupa. Ia yakin semua yang terjadi pasti ada hikmahnya.

      "Rumaisha."

       Rumaisha mengangkat kepalanya saat seseorang memanggilnya namanya, ia langsung berdiri.

      "Laila."

      Rumaisha segera memeluk Laila, memeluknya dengan erat. Dalam diam air mata yang sudah ia tahan, kini tumpah. Ia sangat merindukan sahabat baiknya itu. Setelah berpelukan cukup lama, Laila menguraikan pelukannya.

      "Aisha, kamu menangis? Kenapa?" tanya Laila bingung.

      Rumaisha menyeka air matanya dengan punggung tangannya sambil tertawa ringan. "Aku menangis karena sangat merindukan sahabatku ini."

      "Aku juga." ujar Laila seraya tersenyum.

      Laila melirik sebuah koper kecil yang terletak di belakang punggung Rumaisha.

      "Kenapa kamu bawa koper? Kamu nggak kabur dari rumah kan?" tanya Laila khawatir.

      Rumaisha mengikuti arah pandang Laila. "Oh, bukan. Aku nggak kabur dari rumah kok."

      "Terus, kenapa kamu bawa koper?" tanya Laila masih penasaran.

      "Oh ini... Ini punya Mamaku." jawab Rumaisha ragu. "Mamaku sedang dirawat dirumah sakit sekarang."

      Laila mengangkat kedua alisnya karena bingung.  "Mama kamu? Mama yang mana?"

      Rumaisha tak segera menjawab pertanyaan Laila. Ia bingung harus memberikan jawaban apa. Sejenak ia terdiam, mengumpulkan semua keberanian akan ucapan yang ia lontarkan.

      "Mama yang kamu maksud itu, mama mertua kamu?" tebak Laila.

      Mata Rumaisha melebar karena kaget. Ia tidak menduga Laila sudah berpikir sejauh itu.

      "Aku benar kan? Karena itu kamu meminta kita bertemu hari ini. Sekarang aku ingin mendengarkannya dari mulut sahabatku ini." ujar Laila. Sikapnya begitu tenang.

      Kemudian Rumaisha duduk dibangku dan diikuti Laila. Dengan wajah tertunduk, ia mulai menceritakan semuanya dari awal, hingga terjadi pernikahannya dengan Araafi. Ia menceritakannya perlahan-lahan. Kadang ia berhenti lalu menoleh ke arah Laila, untuk mendengar tanggapan dari Laila. Tapi Laila hanya mengangguk. Ia melihat sesekali Laila menghapus air matanya yang jatuh.

      "Aku benar-benar minta maaf, Laila. Cuma itu yang bisa aku katakan. Aku nggak tau harus ngomong apa sama kamu." ujar Rumaisha sambil menatap Laila menyesal.

Senja Yang Hilang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang