Rumaisha membuka matanya, rasa kantuknya hilang seketika digantikan rasa haus yang melanda kerongkongan. Ia meraih ponselnya di atas nakas. Pukul 03.40 pagi. Ia menoleh ke arah ranjang di sebelahnya, tidak ada Araafi di sana. Rumaisha terdiam, kemana Araafi pergi? Ia bangkit dari ranjang dengan sedikit meringis sambil memegang perut.
Seketika mata Rumaisha menangkap sosok Araafi sedang duduk di atas sajadah, tepat di sudut ruangan kamar. Di bawah lampu tidur yang redup, ia melihat Araafi sedang mengadahkan tangannya ke atas. Lalu Araafi tertunduk dengan suara tersedu, berusaha untuk menahan tangisnya. Mungkin agar tak membuat dirinya terbangun. Apa yang membuat Araafi begitu bersedih?
Rumaisha terus memandangi Araafi. Entah kenapa hanya melihat Araafi menangis tertahan seperti itu, hatinya begitu perih. Ia ingin sekali Araafi berbagi kesedihan itu dengannya. Dan ia siap menjadi kehangatan di balik dingin di hatinya.
"Mas?" sahut Rumaisha lirih.
Araafi terkesiap dan segera menghapus air matanya dengan cepat. Ia bangkit sambil melipat sajadahnya.
"Aisha, kamu udah bangun? Ada apa? Perlu sesuatu?" tanya Araafi sambil berjalan mendekat ke arahnya dan duduk di sisi ranjang. Araafi menyunggingkan seulas senyum seolah tak ada yang terjadi dengannya tadi.
"Hanya tiba-tiba terbangun, mas. Terus malah jadi kehausan."
"Yaudah, tunggu di sini ya. Mas ambilkan minum dulu di dapur."
Sebelum Rumaisha sempat menjawab, Araafi bangkit dan berjalan keluar dari kamar. Rumaisha menghela nafas dan tersenyum.
"Benar-benar tipe suami siaga" batinnya.Tak lama kemudian, Araafi kembali dengan segelas air putih ditangannya. Ia berjalan mendekati Rumaisha, duduk kembali di tepi ranjang. Ia menyodorkan gelas itu dan membantu Rumaisha untuk minum.
"Mas tadi shalat tahajud ya? Kok nggak bangunin Aisha?" tanya Rumaisha sambil meletakkan gelas yang sudah kosong di atas nakas.
"Mas nggak tega karena lihat kamu tidurnya nyenyak dari biasanya."
"Iya mas, tumben dia baik banget nggak nendang-nendang malam ini." ujar Rumaisha sambil memandangi perutnya sambil mengelusnya pelan. Lalu Rumaisha mengangkat kepalanya dan menoleh ke Araafi. "Tadi Aisha sempat memperhatikan mas, apa yang membuat mas menangis?"
Araafi mendekatkan wajahnya ke arah Rumaisha. "Ra-ha-si-a." bisiknya seraya tersenyum.
Rumaisha menyipitkan kedua matanya. Lalu ia menundukkan wajahnya sambil mengelus perutnya lagi.
"Tuh kan, nak. Abi kamu udah mulai rahasia-rahasiaan lagi sama kita." bisik Rumaisha pada calon bayi di perutnya. Wajahnya merungut.
Araafi menahan tawanya, lalu ia ikut memegang perut Rumaisha dan berkata, "Nak, cepat lahir ya? Bantuin abi. Ummi kamu kalau lagi marah bisa diamin abi berhari-hari." ujarnya dengan wajah memelas.
Bukannya marah, Rumaisha malah tertawa dengan tingkah Araafi. "Emang gitu ya, mas?" tanya Rumaisha penasaran.
Araafi menoleh sambil mengedikkan bahunya, lalu kembali bergumam tidak jelas dengan calon bayi di perutnya. Rumaisha berusaha menahan diri untuk tidak tertawa.
"Yaudah kalau mas nggak mau bilang, nggak apa kok."
Araafi menatap Rumaisha dengan kedua alis terangkat "Soal kalau kamu marah bisa berhari-hari?"
Rumaisha memukul pelan lengan Araafi. "Ih, bukan. Ah yaudah nggak usah di bahas."
Araafi mendengus. "Oke, oke. Tadi itu mas cuma berdo'a untuk kamu dan calon bayi kita yang akan hadir di dunia ini." ungkapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Hilang (Completed)
General FictionRumaisha Mahira, atau Aisha, harus mengubur impiannya untuk menikah dengan sosok yang sudah sejak lama ia kagumi, Ibnu Abbas, senior di kampusnya. Demi menikah dengan lelaki yang ia ketahui 'berandalan' semasa SMA, Muhammad Araafi Kurniawan Souhail...