"Gimana dengan keadaan Araafi?" tanya bu Dewi setelah Rumaisha menutup pintu dari luar. Bu Dewi hanya berdiri di luar kamar sambil menggendong Mahveen.
"Setelah minum obat mas Rafi langsung tidur, ummi." jawab Rumaisha dengan senyum yang dipaksakan.
"Dokter bilang apa sebelum pulang tadi, nak?" tanya bu Dewi khawatir.
"Sebaiknya kita bicara di ruang tv aja ya, ummi." saran Rumaisha.
Bu Dewi hanya menurut. Ia mengikuti Rumaisha menuruni anak tangga menuju ruang tv. Sesampainya di ruang tv, mereka menemukan Ali yang sedang asyik menonton siaran bola di tv.
"Ali, kamu tolong matikan tv nya sebentar ya?" perintah bu Dewi sambil memberi kode dengan matanya. Ali hanya menurut tanpa bertanya.
Bu Dewi duduk di sofa sebelah Rumaisha. Ali juga memindahkan posisi duduknya berhadapan dengan kakak dan ibunya.
"Jadi apa kata dokter, nak?" tanya bu Dewi mengulang pertanyaan yang belum sempat dijawab Rumaisha.
"Dokter bilang kondisi mas Rafi menurun lagi, ummi. Kalau mas Rafi nggak mau di rawat di rumah sakit, dia harus beristirahat total di rumah. Nggak boleh capek dan kena sinar matahari." ujar Rumaisha dengan tegar.
Bu Dewi menghela napas. "Ya Allah, kasihan nak Rafi."
"Tapi mas Rafi bisa sembuh kan, kak?" tanya Ali cemas.
Rumaisha tersenyum tipis. "Insyaa Allah, mas Rafi akan sembuh. Yang penting, kesehatannya harus selalu di kontrol. Mas Rafi hanya butuh semangat dan do'a dari kita. Jangan ada yang bersedih dihadapannya."
"Mudah-mudahan ya, nak. Ummi juga tak henti-hentinya mendo'akan Rafi, kamu dan juga cucu ummi ini." ujar bu Dewi sambil mengelus puncak kepala Mahveen dengan lembut.
"Tapi, beberapa hari ini mas Rafi bersikap aneh sekali." kata Rumaisha tiba-tiba. Ia menatap lantai dengan tatapan kosong.
Bu Dewi menoleh ke arah Rumaisha. "Aneh gimana maksud kamu?"
Rumaisha mengalihkan pandangannya ke arah ibunya. "Mas Rafi ingin Rumaisha ataupun Ali belajar untuk mengelola restorannya."
"Apa?" bu Dewi dan Ali sama-sama syok.
"Mas Rafi juga bilang, apapun yang terjadi padanya suatu saat nanti, Aisha boleh mengelola aset dan hartanya, asalkan dikeluarkan dijalan yang Allah ridhoi." ucapnya dengan suara gemetar, menahan segala perasaannya.
"Terlalu banyak sampai Aisha sendiri tidak tahu gimana harus mengatakannya, ummi."
Dengan susah payah Rumaisha menelan air matanya yang hampir mengembang dipelupuk matanya. Ia tak sanggup lagi berbicara karena tenggorokannya terasa tercekat.
Bu Dewi menyerahkan Mahveen kepada Ali sebelum kemudian mendekat dan memeluk Rumaisha. Rumaisha yang tidak bisa lagi menahan air matanya, setelah dipeluk ibunya kini tumpah. Bu Dewi mengelus-elus punggungnya dengan lembut.
"Aisha, menangislah kalau kamu tidak bisa menahannya saat ini. Tapi, ummi harap setelah ini kamu bisa kembali tegar. Serahkan segalanya kepada Allah. Mengadulah kepadanya. Saat kamu menyerahkan semuanya kepadaNya, kamu harus yakin, apapun takdir yang Allah gariskan untukmu, kamu harus ikhlas dan ridho. Percayalah dengan janji Allah terhadap hambaNya yang bersabar."
Nasehat ibunya seperti tamparan untuk dirinya. Kenapa ia harus menangis? Bukankah seharusnya ia menyandarkan segalanya kepada Allah? Ia lupa bahwa Allah As-Syafi'i, Maha Menyembuhkan. Ia lupa hanya kepada Allah lah menyandarkan segala harap. Ya Allah, maafkan aku yang selalu lalai dalam mengingatmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Hilang (Completed)
General FictionRumaisha Mahira, atau Aisha, harus mengubur impiannya untuk menikah dengan sosok yang sudah sejak lama ia kagumi, Ibnu Abbas, senior di kampusnya. Demi menikah dengan lelaki yang ia ketahui 'berandalan' semasa SMA, Muhammad Araafi Kurniawan Souhail...