TUJUH

130 12 0
                                    

Malam itu, Araafi terpaksa mengikuti keinginan ibunya. Ia harus pulang ke rumah bersama Rumaisha. Sebelumnya ia sudah bersikeras ingin menginap di rumah sakit. Karena ia tidak ingin meninggalkan ibunya sendirian. Ya, ia bertekad tidak akan meninggalkan ibunya kemana pun lagi. Ia ingin tetap berada disamping ibunya. Menemaninya. Tapi ibunya mengancam tak akan menemuinya kalau ia membantah lagi. Akhirnya ia menurut.

Kini ia dan Rumaisha berada di dalam mobil menuju kerumahnya. Selama dalam perjalanan, mereka tidak saling berbicara. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Araafi beberapa kali melirik Rumaisha. Wanita itu tidak hanya menatap keluar jendela disampingnya. Ia melihat Rumaisha menggenggam dan memeras kedua tangannya dengan erat.

Dia terlihat gelisah, batinnya.

"Kamu sedang gelisah?" Araafi menyuarakan isi pikirannya. Tatapannya lurus ke arah jalan.

Rumaisha tersentak dan mengalihkan pandangannya ke arah Araafi. "A-Apa? Gelisah? Nggak. Aku nggak gelisah. Sama sekali".
Ucapan Rumaisha terdengar ragu.

"Kamu terlihat sedang mengkhawatirkan sesuatu." katanya masih menatap lurus ke arah jalan.

Rumaisha mengibaskan sebelah tangannya dengan cepat.

"Nggak. Bukan apa-apa. Kamu salah... Eh." Rumaisha merapatkan kedua bibirnya.

"Maksudku, Mm. Aku.."

"Terserah kamu mau panggil saya apa. Tapi tolong, jangan yang berlebihan." akunya.

Araafi menemukan dirinya tersenyum melihat wanita itu. Kenapa aku tersenyum? Gumamnya dalam hati.

Rumaisha termenung sejenak, seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Kalau begitu "mas", saja."

Ia melirik Rumaisha sebentar lalu mengangguk. Araafi kembali menatap lurus ke arah jalan. Rumaisha juga kembali menatap keluar jendela disampingnya. Araafi melihat Rumaisha kembali menggenggam kedua tangannya dengan erat. Ia langsung menepikan mobilnya ketepi jalan. Ia merasa harus membicarakan sesuatu.

"Ada apa? Kenapa tiba-tiba berhenti?" tanyanya terkejut.

Araafi melepaskan seatbealt dan memalingkan posisi tubuhnya ke arah Rumaisha. Ia menatap lurus ke mata Rumaisha. Ia bisa melihat ada sinar ketakutan dimata wanita itu.

"Kamu kedinginan?"

Kening Rumaisha berkerut. "Nggak."

"Atau sedang lapar?"

"Nggak. Kita sudah makan tadi."
Araafi tidak lupa. Mereka memang sudah makan sebelum pulang kerumah bersama ibunya dan bu Dewi di Rumah sakit.

"Kalau begitu kamu takut sama saya?"

Rumaisha tidak langsung menjawab. Lalu, "Nggak. Kenapa aku harus takut sama suami sendiri?" tanya Rumaisha kembali. Ia merapatkan kedua bibirnya lagi setelah menyadari apa yang dia ucapkan.

"Karena kamu terlihat gelisah."

Araafi menyadari wanita itu sedikit terkejut dengan ucapannya yang spontan.

"Saya tahu apa yang sedang kamu khawatirkan, Aisha." Araafi menghela nafasnya. Lalu ia memalingkan posisi duduknya dari Rumaisha dan menghadap lurus ke depan.

"Dan kamu memang tidak perlu khawatir. Saya tidak akan menyentuh kamu. Karena saya tidak kan berhubungan dengan wanita yang tidak mencintai saya. Dan saya juga tidak akan berhubungan dengan wanita yang tidak saya cintai." akunya.

Araafi memutar kepalanya menatap Rumaisha yang hanya diam menatapnya. Kedua alis Rumaisha terangkat.

"Jadi jangan khawatir. Saya tidak akan pernah menyentuh kamu. Akan saya pastikan itu. Saya juga akan bersikap baik, karena bagaimanapun saya yang harus bertanggungjawab atas apa yang terjadi."

Senja Yang Hilang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang